DON’T BE LET GO !!
karya Hasri Imroatul Izza
maaf kalo jelek :D
Aku terdiam
dibalik jendela kelas. Memandangi tetesan air yang jatuh dari langit, tanpa
memperhatikan sepatah kata pun yang diterangkan bu guru didepan. Yaap! Hari ini sedang hujan. Daann..aku suka
air hujan. Rasanya terasa sangat nyaman jika memandangi rintikan air yang jatuh
silih berganti.
Ah
sebenarnya bukan itu alasanku menyukai air hujan. Akan tetapi~ kejadian itu
yang membuatku menyukai hujan. iya kejadian itu.kejadian dimana saat itu awal
aku mengenalnya dan......jatuh cinta kepadanya.
Aku tersenyum mengingat
kejadian itu. Kejadian yang menurutku lucu tetapi juga..mengesankan.
Namun sayang
senyumku lenyap begitu saja setelah sahabatku Diana memberitahuku bahwa si guru
daritadi memperhatikaanku . okeyy~ kita lupakan sejenak kejadian itu.
***
Aku Adinda
Anatasya, biasa disapa ‘dinda’ . sekarang duduk dikelas 2SMA di SMAN favorit di
Bandung. Aku mempunyi sahabat. Dianaa namanya. Aku telah bersahabat dengannya
sejak awal memasuki SMA ini. Namun, tak jarang orang-orang menganggap kita
berdua telah bersahabatan sejak kecil. Bahkan tak jararang ada beberapa orang
yang menganggap kita anak kembarkembar. Mungkin karna kita memang sama sama
memilik hidung yang berlebih alias mancung. Juga penampilan kita yang samasama
mengenakan hijab.
Bel
istirahat telah berbunyi. Semua anak berbondong-bondong menuju kantin. Mencoba
membeli sesuatu yang setidaknya bisa mengganjal perut mereka yang telah
keruyukan. Bahkan ada pula yang menuju kantin hanya karna ingin menghilangkan
penat akibat telah beberapa jam mengikuti pelajaran yang begitu membosankan.
Lain dengan
mereka, aku lebih memilih menghabiskan waktu istirahatku didalam kelas ini.
Tepatnya bangku ini. Bangku yang berada tepat disamping jendela. Jendela yang
langsung menghubungkan dengan lapangan
belakang sana. Aku suka tempat ini. Tempat dimana aku bisa dapat dengan bebas
menikmati indahnya langit beserta awan-awan putih yang memperindahnya. Juga
tempat dimana aku dapat dengan bebas memandangi orang disebrang sana. Orang
yang saat ini sedang berada ditengah lapangan. Memainkan sebuah bola basket dengan piawai.
“ngeliatin
apaan sih?’’ Ucap orang yang sekarang berada disebelahku.
“ngeliatin
langit” jawabku.
“ngeliatin
langit atau orang yang berada ditengah lapangan?” tebak orang tersebut yang
sangat tepat sasaran. Aku terdiam. .
“jadi
pengagum rahasia mulu. Ngga cape?” ucap orang ini yang tak lain diana. Aku
kaget. Aku tau diana, diana adalah typecal orang yang tak begitu mengurusi
kehidupan orang lain, ia selama ini selalu mendukungku dalam setiap apapun yang
kulakukan. Termasuk sekarang, menunggu
seseorang yang tak pernah peduli~ namun kenapa skrg ia berkata seperti ini?
“engga”
jawabku tanpa memalingkan mata dari jendela.
“mau sampai
kaya gini? Aku tau kamu , tau apa yang kamu rasain. Aku tau selama ini aku
memang selalu mendukung apapun yang akan kamu lakukan. Namun untuk sekarang,
ini sudah terlalu lama menurutku dinda. . aku tak tega jika harus melihat kau
terus terusan seperti ini. Melihat kamu terus-terusan memperdulikan orang yang
tak peduli denganmu. Melihatmu terus-terusan mengagumi tanpa digagumi balik.
Buka matamu din, lupakan dia”
Pengakuan
panjang lebar diana ini mampu membuat darahku seakan berhenti mengalir. Aku tak
menyangka Diana akan berkata seperti itu. Aku tau ia berkata seperti karna
memang tak ingin melihatku sperti ini. Aku tau Diana melakukan ini karna memang
ia begitu peduli denganku. Namun apa boleh buat, ini prinsipku. Ini kemauanku.
“aku
nggabisa”
“kenapa?sebelumnya
aku minta maaf karna telah lancang berkata seperti itu”
“tak ada
yang perlu dimaafin na, itu bukan salahmu. Kau benar. Aku memang bodoh. Rela
menghabiskan waktu dua tahun hanya untuk mengagumi seseorang yang tak pernah
peduli denganku. Namun untuk melupakannya? Aku ngga bisa na, itu terlalu sulit.
Aku lebih memilih bodoh daripada harus melupakanya.”
“buka matamu
na, banyak sekali orang diluar sana yang menyayangimu. Cobalah buka sedikit
hatimu untuk mereka”
“aku
nggabisa. Yang dapat mengisi ruang dalan hatiku hanyalah dia na”
“apa sih
yang kamu lihat dari seorang Rafi hingga kau begitu menyukainya?” Tanya Diana
penasaran. Aku terdiam untuk beberapa saat. Kembali memandangi pemandangan
diluar jendela. Memandangi betapa sempurnanya dia –Yang tak lain Rafi–
dimataku.
“semua yang tak kamu lihat:)” Diana memeluk erat tubuhku. Ia tak bisa melakukan apa apa kali ini.
“aku selalu berdoa demi kebahagianmu dinda”
***
Matahari
telah terbenam yang berarti menandakan bahwa sang mentari telahselesai menjalankan tugasnya. Sekarang giliran sang
bintang dan rembulan lah yang akan bertugas menyinari, menerangi dan
memperindah alam semesta ini.
Aku membolak
balikan ponselku sedari tadi. Menekankan beberapa angka dan sesekali menekankan
tombol ‘call’ lalu mematikannya
kembali . aku melakukan itu berulanag
kali -Bingung- apa yang akan aku katakan jika telah terhubung dengan nomor
tadi? Bertanya ‘kau sedang apa?’ ‘kau sudah makan?’ atau bahkan ‘kau sudah mengerjakan tugas hari ini?’ ah tidak. Itu pertanyaan
yang teramat bodoh menurutku. Aku memandangi nomor tadi i, lalu kuatur nafasku
sejenak dan mulai menekankan tombol ‘call’ kembali. Namun kali ini aku bertekad
untuk tidak mematikannya lagi.
Lagu Heal
The World- Mickael Jacson mengalun . menandakan bahwa aku telah terhubung
dengannya. Aku menikmati lagi yang mengalun ini. Tak lama, alunan lagu ini tak
terdengar lagi. Terdengar suara berat dari seberang sana. Ia menanyakan siapa
aku. Aku menjawabnya dengan suara gugupku. Masih tak menyangka bahwa aku
menelfonnya.
Mataku
melebar. Tak menyangka bahwa Rafi –Orang yang saat ini sedang aku telfon–
mengenalnya. Bahkan masih mengingat kejadian itu. Kejadian beberapa tahun silam
yang menjadi awal perkenalanku dengan dirinya.
#FlashbackOn#
Aku duduk
sendirian memandangi deras air hujan yang mengguyur kota bandung ini. Aku
memandangi tetes demi tetes air . aku
suka hujan . bagiku, hujan adalah tetesan air yang jatuh bergantian .
memperindah bentangan langit dan menenangkan jiwa. Aku menengok ke arah jam tangan pemberian
ibu. Jam 16.00. yang berati sudah 2 jam yang lalu bel pulang dibunyikan. Dan
artinya, telah 2 jam pula aku duduk disini hanya demi untuk menikmati indahnya
hujan~. Aku senang~ aku menikmatinya. Sungguh menikmatinya..
“Kok belum
pulang?” tanya seorang pria yang tiba tiba berada di sampingku”. Aku melirik
sejenak kearah pria itu. Dari sseragam yang ia kenakan, ia satu sekolah dengan
ku. Namun, aku tak pernah melihat pria ini –Pria Cool– ini disekolah.
“Lagi
menikmati hujan” jawabku apa adanya
“menikmati
hujan?”
“iya, aku
suka hujan. bukankah kau juga begitu?”
“tidak. Aku
ngga pernah suka hujan. bahkan aku membencinya:” ujarnya. Aku kaget .aku
menatapnya sejenak~ benci hujan? bagaimana bisa ia membenci anugerah Tuhan yang
begitu membuat nyaman ini?
“kenapa?
Bukankah hujan itu mengasikan?” tanyaku penasaran “mengasikan?cish. bagiku,
hujan hanyalah penghalang bagi manusia. Jalan jadi becek, sungai jadi menguap
dan.. seperti sekarang ini. Aku tak bisa pulang kerumah hanya karna hujan”
“hanya
begitukah alasanmu? Kamu salah dalam mengartikan hujan. Lihatlah tetesan
tetesan air itu, mereka berjatuhan bergantian sesuai tempo. Mereka jatuh silih
berganti membasahi apapun yang ada dibawahnya, menciptakan suara yang begitu
unik. Bukankah itu membuat nyaman? Ayo hujan-hujanan bareng aku. Aku akan
buktikan bahwa hujan tak seburuk apa yang kamu pikirkan” aku menarik cepat
lengan pria ini. Pria ini pasrah saja. Ia tak punya waktu untuk berontak karna
aku langsung menariknya begitu saja
“tak usah
memikirkan kamu akan sakit setelah ini . buatlah kamu nyaman dalam keadaan
ini. Rasakan setiap tetesan yang
membasahimu. Percayalah~ ini sangat menyenangkan “ perintahku pada pria
disampingku. Perlahan, kulihat dia sesekali memejamkan matanya. Mencoba
menuruti apa yang aku perintahkan tadi, mencoba menikmati keadaan ini.
“kau benar!
Ini sangat menyenangkan !” teriak pria disampingku ini. Aku hanya tersenyum
mendengarnya.
“oh iya kita
belum berkenalan. aku Rafi anak X IPA 3” ucap pria ini seraya mengulurkan
tangan
“dinda
anak X IPA1 . jangan benci hujan lagi yaJ“ ucapku seraya membalas uluran
tangan pria yang bernama rafi ini. “oke:)” jawabnya
#FlashbackOff#
Aku terdiam
bak patung. Masih tak menyangka bahwa ia masih mengingat kejadian itu. Namun
segera aku sadar dari lamunanku dan menjelaskan maksd tujuanku menelfonnya. Aku
menjelaskan bahwa aku ingin mengikuti PMR, aku menelfonnya karna memang ia lah
ketuanya. Sebenarnya, bukan itu alasanku menelfonnya malam malam seperti ini.
Aku hanya ingin mendengarnya. Mendengar suara yang begitu menggetarkan hati.
namun , haruskah aku berkata jujur periihal alasanku itu? Tentu sangat tak lucu
jika aku harus jujur. 10 menit sudh aku berbincangbincang dengannya. Percakapan
yang begitu singkat namun begitu berarti.
***
Hari ini hari pertama aku mengikuti
ekstrakulikuler PMR, jujur aku tak begitu suka dengan masalah medis seperti
ini. Namun apa boleh buat, semalam aku telah mengatakan bahwa aku akan
mengikuti PMR, yaaa inilah resikonya. Aku menarik nafasku dalam dalam lalu
kukeluarkan lagi. Aku melakukan itu berlulang-ulang. Aku mengontrol nafasku
agar tak canggung saat memasuki ruang UKS, juga saat berbicaradengan Rafi.
Setelah mengontrol nafas, aku langkahkan kakiku memasuki UKS sedang Diana
memilih untuk kembali ke kelas.
Setelah lama
mengikuti PMR, aku pun kini telah terbiasa~ dan karena PMR lah hubunganku
dengan Rafi semakin dekat. Setidaknya sekarang selalu tegur sapa saat
berpaspasan, seringkali ngobrol yaa walaupun ngobrol masalah “PMR”.
Dalam sela
sela kedekatanku, perbincanganku, aku tak pernah terlepas untuk mencuricuri
waktu untuk memandanginya. Dalam doa
selalu keselipkan namamu , dalam diam ku sebutsebut namamu, dan dalam hati aku
menyimpan namamu lekat lekat. Aku
mencintaimu dan kamu tak pernah tau akan itu!:)
***
Suatu hari
aku mendengar bahwa saat ini telah berlangsung perlombaan basket antar kelas XI
IPA3 vs XII IPS4 . mataku melebar seketika mendengar kata XI IPA3 . aku menarik
lengan Diana, sahaabatku. Aku tak ingin melewati momen ini. Momen dimana aku
bisa memandanginya secara dekat. Disela sela pertandingan, aku merasa akan ada
sesuatu yang mendekat kearahku. Dan sesaat. .”BUK!!” bola basket mengenai tepat
keningku. Sesaat kemudian, semua gelap. Aku pingsan.
Aku mulai
dapat menerima serpihan cahaya dari retina. Mulai dapat mengenali tempat ini.
–UKS– . aku melihat diana disana, dan juga.. Rafi! Ia berada disini. Mungkin
karena memang ia merasa bersalah karna yang menyebabkanku seperti inilah
dirinya. Aku pusing, aku meminta Diana mengambilkan obat darah rendah yang
mamah minta aku meminumnya teratur. Diana tak bergeming dari tempatnya. Ia
malah balik menyuruh Rafi yang mengambilkan.
Sesaat Rafi
kembali. Ia membawakan tas-ku. Tak lama, bel pulang berbunyi. Rafi memintaku
untuk pulang bersamanya sebagai tanda maafnya. Aku pun meng-iya kannya.
Sesampai
dirumah, aku memandangi diri didepan kaca. Aku tersenyum. Tak menyangka bahwa
Rafi akan mengantarkanku pulang. Aku berfikir ini perlu aku tulis dalam buku
diary-ku sebagai kenangan tersendiri.
Aku
mengambil tas-ku. Guna mengambil buku diary yang sedaripagi ku bawa kesekolah.
Aku kaget ketika mengetahui diary ku tak ada dalam tas. Aku mencari disetiap
cela kamarku. Namun nihil. Aku mengambil ponselku. Mengetikan beberapa kalimat
perihal diary-ku pada seseorang yang tak lain diana. Sesaat , ponselku bergetar
menandakan inbox masuk. Aku membukanya. Yang tak lain balasan dari orang yg
tadi telah aku kirimkan sms –Diana. Sama hal’nya, Diana pun tak mengetahui
keberadaan Diaryku. Aku panik. Aku semakin tak tenang. Fikiranku kemana-mana.
Bagaimana jika Diaryku berada ditangan orang yang jail lalu menyebarkannya
kesemua orang?bagaimana jika diaryku sekarang berada ditangan orang yang tak
suka denganku? Bagaimana jika nanti saat disekolah mading penuh dengan kertas
kertas dari diaryku? Dan bagaimana pula jika Rafi mengetahui hal ini? Mau
ditaruh dimana mukaku? Ah.aku benar benar tak tenang. Namun, aku bertekad
mencari diaryku ini sepulang sekolah besok. Terlalu lelah memikirkan ini,
akupun perlahan tertidur.
***
Sepulang
sekolah, aku meminta Diana menemaniku mencari buku Diary’ku. Aku mencari pada
sisi kelas sebelah kanan. Sedang Diana mencari pada sisi kiri. Setelah lumayan
lama mencari, aku bertanya tentang keberadaan Diary’ku. Namun sama hal’nya
dengan aku, ia pun tak menemukannya. Sesaat, ada seorang pria yang memasuki
kelasku.
“kok belum
pada pulang? Lagi pada nyari apa sih?” aku menengok kearah sumber suara. Sempat
kaget mengetahui siapa orang yang ada diambang pintu sekarang.
“lagi nyari
buku yang ketinggalan kemarin” ucapku cepat sebelum Diana mengucapkan yang
sebenarnya.
“kamu nyari
ini?” Aku kaget!Rafi? dia datang tiba
tiba dan dia membawa..buku diaryku! Aku shock! Bagaimana mungkin diaryku berada
ditangan dia?bagaimana mungkin ?aku hanya berharap Rafi belum bahkan tidak
membacanya . karna kalau ia membacanya?ia mengetahuinya?matilah sudah kau
dindaaaaaa !!
“lho.. kok
bisa dikamu Raf?” tanya diana penasaran
“iya,
kemarin pas kamu nyuruh aku buat ngambilin tas Dinda, aku ngga sengaja nemu ini
dilaci meja kalian, aku bawa aja deh”
“belum kamu
baca kan?” tanyaku cepat . Rafi diam untuk beberapa saat. Aku berharap, ia
mengatakan belum. Iya aku harap ia mengatakan apa yang aku inginkan.
“belum kok”
“huh,
syukurlah~” Aku lega mendengar ucapan
rafi .
“belum 2kali
maksdnya:D” sambung Rafi kembali
“HAHH?!!!” aku shock! Aku kaget!aku malu! Mau ditaruh
dimana mukaku ini? Aku hanya bisa melongo. Membuka mulutku lebarlebar. Aku tak
menyangka apa yang aku takutkan semalam ternyata terjadi. Aku sungguh tak
menyangka. Bagaimana aku tidak shock? Dalam diary itu, banyak sekali coretan
coretanku tentang Dirinya , banyak pula puisi yang sengaja ia buat hanya
untuknya, juga fotofoto colongannya yang aku simpan dalam tiap lembar diary.
Dirinya yang tak lain –Rafi– namun orang
yang aku tuliskan dalam diary membacanya
Rafi
menyodorkan tangannya dengan maksud untuk mengembalikan bukuku ini. Namun aku? Aku belum bisa bergeming
sedikitpun dari posisiku sekarang. Masih dalam mata melebar dan mulut yang agak
menganga.
“tak usah
seperti itu, aku udah tau semuanya” ucap
Rafi membangunkanku dari ketidaksadaran itu. Aku diam, aku masih diam .
“kenapa kau
tak pernah bilang padaku?kenapa kau memilih memendam semua?dalam diary itu,
tertulis bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat pertama kali bertemu, yang tak
lain saat kau membuat aku tak lagi benci akan hujan 3tahun yng lalu. Bagaimana
mungkin aku mengetahui bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat itu jika saat
‘kejadian’ itupun kamu begitu cuek, begitu tak banyak bicara? Tenyata memang
benar. Wanita memang begitu ahli dalam masalah menyembunyikan perasaanya..
seperti kamu sekarang ini, dindaa”
Aku masih
terdiam, mendengarkan, mencerna semua kata demi kata yang keluar dari mulut
Rafi. Ingin rasanya aku mengatakan “aku
yang pandai menyembunyikan perasaan atau memang kamu yang tak pernah peduli?
Aku takut jika aku mengatakan ini semua, kamu akan pergi meninggalkanku. Aku
takut itu terjadi rafi..!” namun apa
daya, mulutku sampai sekarang terasa sangat kaku untuk digerakkan. Akupun lebih
memilih untuk diam dan mendengarkan semua apa yang dikatakan Rafi.
“kau tahu
dinda..”
“aku juga
menyimpan rasa padamu semenjak kejadian beberapa tahun silam” ucap Rafi
meneruskan omongannya yang sempat menggantung tadi.
“hanya kamu
yang berhasil membuat aku tak lagi benci air hujan dinda, hanya kamu yang bisa
menyadarkanku betapa Indahnya Hujan, hanya kamu yang berhasil
menyadarkanku betapa nyamannya Hujan .
hanya kamu dinda..itu yang membuatku jatuh cinta padamu”
“Tapi saat
itu kau begitu pandai menyembunyikan semua perasaanmu. Aku tahu aku pengecut
din, aku takut jika aku mengatakan perasaanku padamu, kau akan pergi jauh
meninggalkanku. Aku takut itu terjadi dinda..”
Oh Tuhan!
Bagaimana mungkin?itulah kalimat yang ingin aku katakan paadanya saat ini.
Namun kenapa malah dia juga mengatakanya? Apa yang terjadi Tuhan? Mimpikah ini?
Tuhan! jangan Bangunkan aku sekarang jika memang ini semua mimpi. Aku tak ingin
jika aku bangun harus menerima suatu kenyataan yang berbanding terbalik dengan
ini semua.
“saat kamu
menelfonku malam-malam.. aku tahu bahwa saat itu yang menelfonku kamu dinda.
Aku telah lama menyimpan nomormu sebelum
kamu mengetahui nomorku. Namun aku berusaha berpurapura seperti ibarat aku
benarbenar tak mengetahui nomormu”
“Tahukah
kamu dinda, bukan hanya kamu yang selama ini mencintai dalam diam. Aku
pun! Bukan hanya kamu yang selalu
memerhatikan tapi tak diabaikan. Aku juga!setiap hari sedang hujan, aku tahu
kamu selalu berada dibalik jendela kamarmu , menikmati indahnya hujan. maka
dari itu,setiaphujanlah aku selalu kerumah kaamu, berdiam dibalik pohon mangga
depan rumahmu . Aku memandangi raut wajah kamu saat kamu sedang menikmati
betapa indahnya hujan. aku memerhatikanmu dan kamu tak pernah tau itu!”
Sekujur
tubuhku bergetar hebat mendengar pengakuan Rafi ini. Bagaimana bisa?dia juga
merasakan apa yang aku rasa? Perlahan, benih air menetes dari kelopak mataku.
Aku menangis.
“Dinda..
will you be mine?”
Aku shock. Aku kaget. Mataku melebar kembali. Lebih lebar
dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Seorang rafi , orang yang aku sayang 3tahun
ini sekarang sedang bertekuk lututdidepanku menggengggam tanganku dan
mengatakan kata itu. Perlahan, aku anggukan kepalaku . ia memeluku. Aku terisak
dalam dada bidangnyaa
Tak terasa,
2 bulan sudah hubunganku dengan Rafi
terjalin. Aku senang~ tak lupa bersyukur paada Tuhan Yang maha Esa. Namun,
semakin kesini aku 3x lebih sering pinsan dari sebelumnya. Dan perlahan, aku
rasakan rambutku merontok sedikit demi sedikit. Aku teriak. Aku histeris. Mamah
langsung membawaku ke rumah sakit.
Aku
menangis. Menangis mendengar apa yang dokter katakan padaku tentang penyakitku.
Aku shock mendengar ucapan dokter yang mengatakan bahwa aku menderita Tumor
Otak stadium akhir. Terlebih saat dokter mengatakan bahwa aku telah divonis
menderita penyakit ini 6bulan lalu. Aku kaget, enam bulan yg lalu? Bukankah itu
telah lama? Namun kenapa aku justru malah tak pernah mengetahuinya? Aku teriak
memanggil mamahku. Menanyakan apa yang terjadi sebenarnya, menyanyakan apa yang
selama ini mamah sembunyikan dariku. Mamah menangis.
“maafin
mamah sayang, mamah salah, mamah sengaja menyembunyikan ini semua. Mamah
ngelakuin ini semua demi kamu , mamah tak mau jika kamu harus memikirkan
penyakitmu” mamah memelukku. Mamah tak salah, ia berniat baik melakukan ini
semua dan aku tak berhak marah pada mamah. Inilah takdirku.
Tak lama,
seorang dokter memasuki ruangan ku. Mamah menanyakan perihal penyakitku, namun
sang dokter hanya menggeleng dan menjawab
“maafkan saya bu, saya sudah berusaha
semaksimal mungkin, tapi Tumor pada diri anak ibu telah ganas. Jika kita
mengangkat tumor itu, itu sangat membahayakan putri ibu”
“lalu
bagaimana dengan hidup putri saya dok? Masih bisa dibantu dengan obat yang
kemarin kan?”
“obat yang
mana maah?” tanyaku penasaran
“obat yang
selalu kamu bawa sekolah itu obat penunjang hidup kamu sayang, maaf mamah harus
membohongimu”
Aku terdiam~
jadi selama ini, obat itu obat Tumor ? kenapa aku begitu tak mengerti?
Seharusnya aku tau bahwa darah rendah tak perlu meminum obat setiap saat. Namun
kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Kenapa aku begitu bodoh ?ini semakin
rumit.
“obat itu
hanya bisa digunakan maksimal 6bulan.dan ibu telah menggunakan obatitu selama
6bulan.” Jelas dokter
“jadi, apa
yang harus aku lakukan dok? Sembuhkan anak saya dok saya mohon”'
“kita berdoa
pada yang kuasa aja bu”
Mamah
Histeris, aku pun juga. Terlebih saat dokter mengatakan waktuku hanya tingga
satu minggu. Aku teriak. Aku histeris. Aku mengeluarkan semua airmataku. Aku
memeluk mamah. Aku terisak dalam dekapan mamah. Aku masih belum bisa menerima
ini semua. Bagaimana tidak? Baru 2bulan lalu aku merasa senang karna rafi
membalas cintaku . namun kenapa sekarang malah aku divonis tingal 7hari masa
hidupku? Hidup begitu tak adil menurutku.
Perlahan,
tangisku mulai mereda. Aku mulai tenang.
Aku tahu Allah punya rencana yang baik dibalik ini. Dan inilah takdirku,
Takdir tetaplah Takdir. Aku menyuruh mamah berjanji agar tidak memberitahu ini
terhadap Diana maupun Rafi. Aku memang bertekad untuk menghadapi ini sendiri.
Aku tak ingin membuat mereka khawatir terhadapku. Bukan karna aku jahat aku tak
memberitahu perihal ini kepada mereka. Tapi justru karna aku sayang mereka. Aku
tak ingin mereka terbebani hanya karna masalah penyakitku. .
Semenjak pemvonisan itu, aku menjalani hari
hari dengan semangat seperti biasa. Aku tak ingin membuat sahabatku Diana dan
kekasihku Rafi curiga tentang apa yang
terjadi denganku.
Namun, semenjak kejadian pemvonisan itu, aku jauh lebih
sering menghabiskan waktuku dirumah. Aku lebih senang menghabiskan sisa hidupku
untuk membbantu mamah dan menuliskan coretan-coretan pada diaryku selagi aku
tak bisa lagi membuat coretan coretan lagi.
Aku
memandangi diri didepan cermin, memandangi beberapa helai rambut yang masih
tersisa pada rambutku. Kepalaku telah tak berambut lagi. Hanya tersisa beberapa
helai saja. Aku memandangi foto yang tertempel didinding kamarku, foto diriku
bersama diana. Dalam foto itu, aku tersenyum ceria diatas sepeda kesayanganku
mengenakan baju pink pembelian almarhum ayah, dengan rambut lurus terurai .
kulihat pula foto yang sengaja kutaruh pada meja belajarku. Foto dimana Rafi
sedang merangkulku penuh cinta.
Dan dalam foto itu aku tersenyum , senyuman
yang tanpa beban. airmata ku perlahan
jatuh. Aku rindu saat saat seperti itu. Saat dimana aku dapat tersenyum tanpa memikirkan
penyakitku , saat dimana aku dapat kembali merawat rambut panjangku, saat
dimana aku bisa bermain dengan Diana tanpa memikirkan penyakitku, juga saat
dimana aku bisa menjalankan harihariku dengan penuh keceriaan.
Aku rindu
saat saat itu Tuhan, kenapa begitu cepat kebahagiaan itu berakhir? Aku mengusap
air mataku. Aku tak boleh terusterusan seperti ini. Aku harus kuat. Dinda
wanita Strong! Aku mengambil buku diary, dan kutuliskan beberapa kalimat yang
bisa jadi menjadi coretan akhirku.
*****
Hari ini,
tepat 7hari setelah vonis itu dijatuhkan. Yang berarti, hari ini pula hari
dimana aku terakhir merasakan indahnya hari. Aku ingin menghabiskan waktuku
untuk memandangi, menikmati indahnya langit beserta isinya. Aku ingin
menghabiskan sisa waktuku bersama dengan orang orang tersayangku. Aku
inginmereka berada didekatku saat aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan aku
ingin membuat mereka tersenyum dihari terakhirku.
Rafi
melangkahkan kaki ke arah kelas ku, lalu kemudian menghampiri aku. Rafi
menghampiriku dengan maksud untuk berpamitan dan memintaku untuk mendoakannya
karna hari ini juga ia akan mengikuti LCC di SMA 99 Bandung. Aku memegang erat
tanganya. Aku tak ingin ia pergi. aku ingin dia ada disisiku saat ini. Menemani
sisasisa waktuku.
Aku menggenggam
erat tangan rafi. Tak ingin ia meninggalkanku. Aku tau saat ini aku memang
egois. Tapi, salahkah aku egois dihari terakhir ku ini? Aku hanya ingin
menghabiskan sisa waktu ku dengan mereka. Hanya itu. Aku masih menggenggam erat
lengan Rafi.
“jangan pergi
Rafi! Aku moho:(L selama ini aku tak meminta apapun darimu. Sekarang aku hanya
ingin kamu jangan pergi, aku mohon kabulkan permintaanku ini, aku mohon :'(” Aku memohon agar Rafi tidak pergi.
namun diluar dugaan, Rafi membentakku.
“DINDA! Kamu
ini apa-apaan sih? Hari ini aku harus lomba. Bukankah kemarin kemarin kamu
begitu mendudukungku mengikuti LCC ini? Tapi kenapa sekarang kau malah
melarangku pergi?”
Aku
menangis. Baru pertama kali Rafi membentakku. “Memang, saat itu aku begitu mendukungmu mengikuti lomba ini. Tapi
kenapa pelaksaan lombanya harus sekarang?disisa waktuku? Taukah kamu, ini
adalah hari terakhirku. dan aku Cuma ingin mengahabiskan umurku dengan kalian.
Bagaimana jika saat kau pulang nanti aku sudah tak lagi bernafas? Aku Cuma
ingin kamu menemani sisa sisa hidupku . aku hanya ingin itu” . aku hanya
dapat mengatakan itu dalam hati.
“aku takut
aku tak bisa melihatmu lagi” ucapku dengan terisak. Rafi merasa bersalah. Ia
memegang erat bahuku. Menatap mataku lekat-lekat
“tenanglah
sayang, aku janji aku akan baik baik aja. Aku janji selesai lomba nanti aku
segera kesini membawa medali untukmu. Aku janji dinda.. sekarang, izinkan aku
pergi yaJ”
Mau tak mau,
aku pun melepas genggaman tanganku dari tangan Rafi. Begitu berat aku
melepaskannya. Aku sangat takut jika aku tak bisa melihatnya terakhir kali.
Setelah kepergian Rafi, aku masih menangis. Diana sahabatku lah yang setia
menemaniku, memelukku dengan penuh sayang. Namun sesaat , kepalaku pusing. Dan
perlahan semua hitam dan.. aku terjatuh dalam pelukan diana.
Diana panik,
ia memerintah anak-anak yang lain memopongku ke rumah sakit. Aku memasuki UGD.
Tubuhku dihubungkan oleh selang-selang dokter. Aku terdiam kaku. Sementara sang
dokter sedang berusaha menyelamatkanku. Diluar ruang UGD, ada Diana juga mamah
yang telah diberitahu oleh diana sebelumnya. Mereka menangisiku. Berdoa kepada
sang kuasa demi keselamatanku.
Aku sedang
bergelut dengan penyakitku. Aku tak tahu apakah aku masih akan diberi kesempatan
untuk hidup atau memang Tuhan ingin menemuiku. Monitor medis yang terhubung
dengan tubuhku telah membentuk sebuah garis lurus. Dokter panik, mereka segera
mengambil alat pemancing detak jantung untuk memancing detak jantungku agar
kembali berdetak. Sudah 5kali dokter berusaha. Namun naas. Aku masih tetap
diam. Tak bergeming sedikitpun. Dokter
pun mulai menyerah dan artinya.. Tuhan memang benar benar ingin bertemu
denganku.
Dokter
keluar Ruangan dan segera memberitahu apa yang terjadi terhadapku. Dokter
memberitahu ini dengan wajah menunduk. Ia merasa bersalah karena tak dapat
menyelamatkanku. Namun sekali lagi, takdir tetaplah takdir. Orang-orang
terdekatku menangis histeris mendengar apa yang dikatakan dokter. Terlebih lagi
dengan mamah . mamah langsung down begitu mendengar bahwa aku –anak semata
wayangnya– telah tiada. Ingin sekali aku bangun dan mengusap air mata mereka.
Namun apa daya, alam kita telah berbeda.
Ditempat
lain, Rafi melangkahkan kakinya kearah sekolah menenteng medali yang ia
kalungkan pada leher. Disepanjang
koridor, ia merasakan nuansa duka pada orang2
.Namun, ia tak memikirkannya. Yang
ia fikirkan saat ini hanya satu. “DINDA” . ia mempercepat langkahnya memasuki
kelasku-dinda–. Sesampai dikelas , rafi tak mendapatiku. Yang ia dapati hanya
orang orang sedang terisak. Ia pun penasaran, ia menanyakan dimana dinda. Namun
sayang~ tak ada jawaban apapun dari mereka. Sesaat, ponsel rafi berdering.
1massage dari Diana “Cepet ke Rumah Sakit
Harapan skrg jg Raf! Gusah tnya knp. nanti aku jelasin” seperti itu isi
dari pesan yang dikirimkan diana. Tanpa babibu , ia segera mengambil motornya
dan segera menuju keRumah Sakit.
Sesampainya
dirumah sakit Ia melihat sosok Diana beserta guru2 didepan ruangUGD. Rafi melihat mereka sedang terisak.
Rafi mendekati Diana dan mencoba
menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Diana tak menjawab, ia justru malah
mengajak rafi memasuki ruang UGD.
Disana, Rafi
melihat aku. Melihatku dengan keadaan yang telah dingin kaku.Melihatku dengan
keadaan tak memiliki sehelai rambutpun. Melihatku dengan keadaan yang telah tak
bernyawa. Tubuh rafi bergetar hebat, dan perlahan Air bening menetes dari
kelopak matanya. Rafi menangis, ia tak menyangka bahwa tubuh kaku yang sekarang
berada dihadapannya itu tubuhku.
“Dindaa...inikah
kamu? Bangun din! Nggausah bercanda ah. Nggalucu. Liat nih aku bawa medali, aku
menang lomba din..” ia mengoceh tak karuan. Ia begitu rapuh saat ini
“dindaa..
bangunnn!!”
“dinda udah
pergi Raf” ucap sahabatku diana
“pergi?HAHA
kenapa kamu pergi? kenapa secepat ini? lihat din, lihat! Aku bawa medali buat
kamu! Aku menang din.. aku menang. Ini yang kamu kasih ?ini hadiah kamu?yang
aku ingin itu ucapan selamat dari kamu din, bukan tubuh kaku kamu kayak gini!
Aku nggabutuh! Bangun dindaa bangunnnL”
“Raf, tenang
raf, tenang .. ikhlasin dinda raf, biarkan dinda tenang” ucap Diana sahabatku
“apa yang
terjadi dengan Dinda na? Perasaan waktu aku mau lomba dia baik-baik saja, tapi
kenapa sekarang?aaaah!!”
“ada sesuatu
yang dinda sembunyiin dari kita semua. Kamu baca aja ini . aku nemuin itu di
tas dinda” Diana menyerahkan sesuatu pada Rafi yang tak lain adlah buku
Diaryku. Rafi coba membuka pada bagian paling akhr. Dimana coretan itu aku
tulis tadi pagi saat akan berangkat sekolah.
“Dear diary,
7hari yang lalu, aku divonis dokter menderita
Tumor Otak ganas.
aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menderita penykit
mematikan seperti ini. Seiring berjalannya waktu, rambutku sedikit demi sedikit
rontok . Dan akhirnya.. seperti ini. Seperti yang terjadi saat ini. Aku telah
tak memiliki rambut sehelaipun. Namun tak apa, beruntung aku mengenakan jilbab
kesekolah~ dengan begitu, aku bisa menyembunyikan ini dengan tenang.
Menyembunyikan dari semua orang termasuk Diana dan Rafi. Maaf na, Raf, aku
terpaksa menyembunyikan ini dari kalian. Aku melakukan ini bukan karna aku
jaht. Namun karna aku tak mau kalian menjadi terbebani dengan penyakitku ini.
Aku tak ingin kamu juga merasakan apa yang aku rasa. Biar aku sendiri saja yang
menghadapi ini. Karna inilah takdirku.
Telah 7hari sudah
aku divonis untuk hidup. Dan artinya, hari ini hari dimana aku untuk terakhir
kalinya menikmati udara . Diana sahabatku, Rafi kekasihku dan Mamah malaikatku.
Aku tak ingin meninggalkan kalian secepat ini. Aku ingin terlebih dahulu
membuat kalian bahagia.. aku ingin hari ini, hari terakhirku aku dapat menghabiskan waktuku dengan kalian.
Orang-orang tercintaku.
Aku ingin mereka berada didekatku saat aku
menghembuskan nafasku untuk yang terakhir kalinya. Diana, Rafi.. mungkin
setelah ini aku tak bisa lagi menemani hariharimu, tak bisa bersenda gurau
dengamu, tak bisa lagi menghapus air matamu, namun percayalah.. aku akan selalu
menyayangimu dimanapun aku berada. Terimakasih telah mau mengenalku :)
Salam
sayang.
Adinda Anatasya”
Rafi
menangis, kali ini lebih terisak dari sebelumnya. Aku melihat mereka. Aku
melihat diana Rafi menangis. Aku melihat mereka, namun mereka tak melihatku.
rasanya ingin sekali aku menghapus airmatanya . namun apa daya, itu tak mampu
kulalukan. Alam kita telah berbeda.
Hari ini
juga prosesi pemakamanku dilaksanakan. Setelah dimandikan, Tubuhku dibungkus oleh selembar kain
putih. Yang kemudian disholati. Setelah
disholati, aku segera dibawa dengan menggunakan keranda kearah Rumah Abadiku
–Tempat Pemakaman Umum– Tubuhku dimasukan secara perlahan kearah lubang yang
telah disiapkan. Kemudian ditutup lagi
oleh gundukan tanah. Tak sedikit orang menangis saat tubuhku mulai ditutup oleh
gundukan tanah. Aku pun tak menyangka, bahwa ternyata orang yang menyayangiku
begitu banyak.
Aku melihat
mamah menangis dengan sisi kanan Rafi, dan sisi kirinya Diana. Mereka
menangisiku. Menangisi kepergianku.
Setelah sang
ustad membacakan doa terakhir untukku, bergantian orang meninggalkanku. Tinggal
tersisa Diana dan Rafi. Mereka masih berada digundukan tanahku. Mereka
menangis. Mereka masih ingin berada disini. Ditempat ini, tempat keabadianku~
Aku melihat
mereka, melihat bahwa mereka menangisiku. Ingin sekali aku menghampiri dan
menghapus air mata mereka. Namun aku tak bisa~
“jangan menangis
sayang, saat ini kalian memang tak lagi bisa bersamaku. Tak bisa menikmati hari
bersama. Tak bisa bersenda gurau bersama. Tak bisa lagi menikmati hujan
bersama. Tapi percayalah, aku selalu ada disini. Di relung hati terdalamJ jangan pernah menyesal mengenal aku
ya:)”