Jumat, 20 Oktober 2017

perihal, r i n d u.

"aku punya tips baru, mau tau?"

"mengenai?"

"rindu"

"ah. mau mau mau!"
kataku, sebegitu antusias.

"antusiasnya. biar ku tebak, kamu pasti pecinta rindu"

kali ini, dia menerka. 
dan tak bisa kupingkiri bahwa terkaanya tidaklah meleset. 
aku, memang si pecinta rindu. Namun kali ini hanya diam yang kujadikan jawaban. tak ingin ia mengetahui lebih dalam akan ini.

"rindu itu jahat. kalau rindu, diam saja. jangan berkutik. biar rindunya hilang, kamu juga tidak perlu repot-repot merasa"

"itu tipsnya?"

"iya. untuk kamu kalau-kalau ketemu sesuatu yang jahat itu (re:rindu)"

-
kamu bohong. 
nyatanya, kamu bahkan lebih jahat dari rindu yang kamu deskripsikan jahat. kamu lebih jahat karena telah membuat sesuatu yang kamu anggap jahat itu menggerogotiku.
ya, karena rindu -hal yang kamu anggap jahat- telah menimpaku. 

dan kamu, 
alasan dibalik itu.

bo-doh.

"bodoh" katanya memecah tatapan kosongku.

sementara aku, hanya mampu menatap tanpa sepatah kata untuk meresponya. Masih berkutat pada tatapan yang entah pada siapa aku tujukan.

"sampai kapan?"
tanya-nya yang tak mampu kucerna betul.

"ha?"
kucoba membuka suara, membalas kata demi kata yang terlontar dari mulutnya.

"sampai kapan terus menahan sedang hati ingin berontak?"

"berontak saja. adakalanya hati juga ingin dibela. belajarlah untuk tidak egois, Arsya"
sambungnya lagi.

"tidak bisa"

"lagi-lagi atas dasar cinta?"

"tidak. kau bahkan tak akan mengerti"

kali ini, Reno -sahabatku- yang tak lagi mampu mencerna perkataanku.

"aku justru sedang membela hati. Iya, aku seperti ini untuk menyelamatkannya. karena aku tau, berontak -dan kemudian berpisah- dengannya adalah hal yang amat hati benci. dan aku, sedang berusaha mati-matian menyelamatkannya. doakan aku"

-
kataku,
diiringi helaan nafas
yang kian menyesakkan.

Perihal Pedih Yang Tiada Berujung



Tema : Kota Berbicara Tentang Kenangan.

Pernah suatu waktu kamu merasa kamu tak lagi kian berharga? Merasa bahwa setiap  helaan nafas yang perlahan keluar dari hidungmu terasa kian menyesakkan? Atau bahkan , derap langkah kakimu terasa menggantung beban yang begitu dahsyat? Tak apa, tak usah merasa sendiri. Karena pada dasarnya, kita sama.

Seseorang menepuk pundakku kala mataku masih tak bergeming pada objek yang sudah sedari tadi aku tatap.                                                         

“Mitaaaaa! Tau nggak si gue seneng banget besok orang tua gue kesini!!”

“Serius demi apa?!duh gue nggak tau si harus sedih karena  bakal ninggalin gue buat sama mereka atau seneng karena gue ngga terus-terusan budeg denger tangisan homesick lu”

“Ih jijik banget gue, lu suka sama gue dah Mit?”

“Kagaklah bangke. Dah sekarang lu manfaatin bener-bener dah waktu sama orangtua nanti. Karena 
ngga semua orang bisa seberuntung lo”
Entahlah kata perkata itu keluar dari mulut dengan tulus

“Iye iye sayang, orangtua lu ngga kesini juga? Kan liburan tuh masa kerja mulu sih orangtua lu?”
 
“engga. Yaudah gih buru balik apartemen beres-beres sama saran gue sih lu kayak ngasih kejutan kecil-kecilan buat orangtua lu gitu deh. Yaa setidaknya lu masak kek atau bikin kue sederhana gitu”. Jawabku, seolah berusaha mengalihkan perbincangan.

“Ye berasa sama pacar aja masak bikin kue segala romantis amat”

“Jadi menurut lu romantis Cuma bisa ke pacar? Pacar diatas orangtua dong berarti? Hati-hati nanti nyesel tau rasa lho”

“Ih mita iyaiya ahh lu serem amat dah sebel gua. Yaudah gua balik dulu ya. Lu jaga diri dah bae-bae 
nggada gue nggausah aneh-aneh, makan teratur, jangan kecapean , gausah begadang pokoknya nggausah nglakuin yang ngga penting”

“Din, jijik gue dah sumpah”

“wakakakak bersyukur kek gue peduliin. Dah ah gue cabs dulu yak bye”
Seketika, hanya sebuah anggukan yang mampu aku beri sebagai respon. Lagi-lagi, mataku menatap kosong pada objek yang selalu sama, l a n g i t. Entah apa yang membuatnya spesial hingga mampu membuatku nyaman tanpa kedip. Jutaan memori terputar dengan sistematis. Dan aku, menjadi penikmat akan itu. Mata tak lagi mampu membendung, bibir tak lagi kuat menahan. Hingga tanpa seizin siempunya, mereka berkolaborasi dengan indah. Ya, membentuk sebuah tangis, seolah begitu peka akan adanya hati yang kian teriris.

Akan aku tegaskan sekali lagi, aku perempuan lemah. Bertahun-tahun menjadi seorang perantau seringkali membuat aku penat akan semua hal. Bersahabat dengan lampau adalah hal yang paling aku cinta. Terlarut dalam pedih telah kujadikan rekan selama beberapa tahun ini. dan merindu adalah hal pokok yang telah aku lantik sebagai hoby baru.
Aku bukanlah sosok mandiri. Namun merupakan jiwa yang pandai berpura-pura mandiri. Ya, setidaknya lebih tepatnya seperti itu.

**
Hari silih berganti. Waktu berputar seakan tak mau diajak kompromi untuk diundur atau bahkan sekedar memperlambat jalannya. Kepenatan tak lagi terhempaskan dari dalam tubuh. Merasa dunia tak lagi berpihak padaku kian terasa. Coba tebak, apa yang biasa aku lakukan ketika merasa demikian? Ya, mencari motivasi. Sayangnya, aku bukanlah seorang gadis dengan kecantikan yang membahana, atau gadis dengan polesan makeup yang membuatnya anggun, atau bahkan bukan pula gadis dengan segudang prestasi, jadi tak akan mungkin jika motivasiku adalah seorang le-la-ki.

Aku lantas menatap sebuah foto ukuran 10R yang sengaja aku pampang dalam kamar kos-ku. Terpampang jelas raut bahagia dari 4 manusia yang telah membentuk sebuah keluarga kecil nan harmonis.  Foto yang diambil kala aku masih bahagia-bahagia nya menjadi mahasiswa baru menjadi saksi bisu akan segala kerinduan yang kian menggebu. Tak bisa ku elak, air mengalir deras dari dalam mataku. Segera aku ketikkan beberapa nomer dari ponsel, kudekatkan pada telingaku. Lagi-lagi hanya suara wanita yang tak ku kenal yang kudengar. Segera kututup sambungan itu lantas kembali aku gerakan jemari pada tombol-tombol yang lain.

”Ada apa nak?”

“Mita masih belum bisa adaptasi bu. Mita mau pulang”

“Lho, namanya pejuang kok menyerah. Percayalah nak, ini Cuma batu kerikil , jalan kamu untuk jadi sukses baru kamu pijaki. Yuk bersyukur. Yuk semangat. Banyak yang pengin kayak kamu lho, masa kamu yang udah kesampaian jadi menyerah begini?”

“Tapi bu, Mita takut, disini beda sama Jogja bu..”

“Sekarang ibu nanya, Mita punya Tuhan ngga?”

“Punya”

“Nah. Kenapa harus takut sedangkan Mita punya Tuhan yang Maha Segalanya? Percayalah sayang, akan ada kebanggaan tiada terkira setelah ini. Semangat yuk sayang, ibu aja selalu semangat untuk cari uang buat Mita masa Mita gak semangat. Anak ibu harus kuat ah. Ok?”

“Ok ibu”

“Yaudah setelah ini langsung sholat ya sayang minta perlindungan sama Allah jangan lupa. Semangat sayang. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam bu”

Aku menutup ponsel dengan hati teriris. Linangan air mata tak lagi mampu terbendung. Bibirku bergetar. Erangan demi erangan terlontar dari mulutku, seolah mewakili akan adanya separuh jiwa yang telah menghilang. Tak lama, aku segera bangkit. Menatap diri pada cermin usang yang sengaja dibawakan ibu dari Jogja beberapa  tahun silam. Senyum kembali terukir pada bibirku, semangat-ku kembali terisi entah bagaimana. Tidak, aku bukanlah pengidap Bipolar. Hanya saja, inilah aku ,  beginilah aku, dengan segudang cara unik untuk mengatasi diri.
Baru kusadari bahwa waktuku hanya tinggal menghitung bulan. Tidak, bukan waktu hidup didunia, namun waktuku dengan gelar mahasiswa akan segera berakhir mengingat ini merupakan tahun terakhirku sebelum mendapat gelar sarjana.  Tak kusangka, waktu telah berlalu begitu cepat. Tak kusangka, aku memiliki hati yang begitu kuat menahan beban dari berbagai aspek, tak kusangka, otaku mampu bekerja dengan baik mengingat batin acapkali tertekan akan kelam.

**
Tanganku masih senantiasa menggenggam kertas yang paling diimpi-impikan bagi semua mahasiswa tingkat akhir. Kertas bertuliskan undangan untuk orangtua atas pencapaian gelar cumlade yang telah kuraih. Hatiku diterpa sebuah kedelimaan batin. Sebuah kedelimaan yang amat menyiksa. Aku tidak tau haruskah aku senang akan gelar ini, atau bahkan sedih karena itu bahkan tak akan berarti bagi siapapun? Tak akan lantas membuat orangtuaku sekedar menelfon untuk memberiku ucapan, dan.. Tak akan mampu mengubah sebuah kekelaman abadi dalam hidupku.

Hari yang dinanti telah tiba—tidak.bukan aku yang menanti. Aku justru orang yang paling tidak menginginkan hari ini—Semua orang telah nampak cantik dengan kebaya anggun yang melekat pada tubuhnya, juga polesan makeup yang menempel pada raut bahagianya, ditambah dengan dampingan orangtua yang semakin menambah aura kebahagiaan pada mereka. Namun, tidak denganku. Aku hanya mampu merutuki diri mengapa aku sedemikian menyedihkan. Menyandang seorang sarjana bergelar cumlaude dan tanpa pendamping. Dina—sahabatku— , dia bahkan tidak bisa mendampingi aku yang lulus lebih dulu darinya karena sedang diluar kota. Tak usah dibayangkan, bahkan akupun tak sanggup jika diminta melihat sebuah rekaman semesta akan hari ini.

Seseorang menepuk pundaku, memintaku untuk memotret beberapa gambar dirinya dengan keluarganya. Sial. Tak adakah satupun yang berpihak padaku sekali ini saja? Atau bahkan tak usah berpihak, hanya sekedar diam dan tidak menambah bebanku kali ini saja. Tidakkah mereka liat ada raut tak kuasa dalam diriku?. Dengan senyum yang dengan susah payah aku perjuangkan untuk terlihat tulus, kuanggukan kepala. Potret demi potret telah aku ambil. Matanya berbinar, seolah merasakan kepuasan atas hasil potretanku yang tak lupa ia iringi dengan ucapan terimakasih. ‘Sebuah keluarga bahagia tanpa celah’ itu pendeskripsianku untuk mereka. Nyatanya, hatiku tak sepenuhnya sekuat baja. Benteng pertahanan ku hancur lebur kala itu juga.
Saat itu juga, tangisku meledak tak terkontrol. Segera saja ku ambil tas dengan segala berkas penting kelulusan dan langsung menuju stasiun terdekat dengan ojek pangkalan. Kutanyakan kereta pemberangkatan Jakarta-Jogja. Alhamdulillah, kali ini nasib baik berada dipihakku. Orang-orang memandangku dengan tatapan aneh. Wajar saja. Siapa yang tak menganggap aneh melihat seorang wanita dengan balutan kebaya biru dipadu polesan makeup yang perlahan luntur karena isak tangis? Iya. Semenyedihkan itu. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, bahkan orangtuaku. Karena pada dasarnya, mereka memang tidak mampu untuk datang dihari yang seharusnya menjadi bahagiaku.  Dan sebagai anak, bukankah harus bisa lebih mengerti?

Perjalanan 8 jam tak terasa olehku yang hanya mampu habiskan dengan sesuatu yang sama, menatap kosong sang mentari dengan tangan yang masih setia menggenggam kertas yang akan aku pamerkan nanti pada keluargaku. Kakiku kini telah berbijak ada tanah yang sama seperti beberapa tahun lalu. Aku berterimakasih pada teknologi karena dengan adanya fitur ojek online, tak lagi perlu capek bernegosiasi dengan para angkutan umum yang lain yang hanya mampu memberi ongkos tertinggi.
Aku telah sampai pada tujuan. Langkahku terhenti. Mataku, tak lagi mampu mendeskripsikan tempat ini. Dihadapanku, terbentang rumah usang tiada berpenghuni. Puluhan sarang laba-laba bergelantung pada setiap sisi rumah. Debu pun menyelimuti setiap sisi hingga tak lagi dikenali sebagai sebuah rumah. Aku injakan lebih jauh tempat ini. Tanpa perintah, jutaan memori terputar dengan sistematis bagai film romantis yang beberapa waktu laluku tonton.

Kutatap ruangan depan yang dahulu dijadikan ruang tamu. Kutatap penuh arti, terlihat seorang anak kecil berlarian dengan seorang wanita paruh baya yang berusaha menangkapnya untuk sekedar menyuapkan satu sendok nasi. Suara gelak tawa memenuhi ruangan kala sang wanita paruh baya berhasil menangkap si gadis kecil. Dan, itu aku. Belasan tahun lalu.

Kutelusuri lebih lanjut pada ruangan yang aku kenal betul. Terlihat seorang pria dewasa memarahi gadis remajanya yang meminta izin untuk pergi pada malam hari. Gadis itu  yang tak terima akan itu lantas menggebrakan pintu kamarnya dan menangis dibalik selimut hingga tertidur. Saat itu pula, terlihat seorang pria dewasa masuk dalam kamarnya dengan raut penyesalan tiada terkira, lantas diam-diam mengecup putrinya yang sedang terlelap itu. Dan lagi-lagi, itu aku. Beberapa tahun lalu.

Aku melangkahkan kaki pada teras rumah. Disitu, terlihat jelas bagaimana sebuah keluarga kecil berusaha melepas kepergian salah seorangnya untuk menuntut ilmu di kota orang. Sebuah tangis kebahagiaan juga kesedihan menyelimutinya. Dari matanya, terpancar jutaan kekhawatiran akan anak gadisnya. Kata-kata penyemangat, berbagai nasihat dan berbagai pengharapan terlontar dari mulutnya. Sang gadis yang kala itu telah mantap merantau pun kian melangkahkan kaki meninggalkan keluarga dengan isak tangis. Berharap akan kembali beberapa tahun kemudian dengan kabar gembira. Sekali lagi, itu aku. Tepat 3,5 tahun sebelum hari ini.

Dan lagi, itulah hari ini. hari yang begitu aku nanti beberapa tahun lalu untuk memberi kabar gembira ini. Hati yang begitu teriris membawa kakiku pada suatu tempat. Erangan demi erangan tergema dari mulutku. Aku sampai pada suatu tempat dimana menjadi tempat yang palingku benci. Tempat yang dengan tega memisahkan seorang gadis remaja dengan keluaraganya. Ya. Aku telah tiba pada pemakaman. Tempat dimana selama ini mereka yang aku anggap acuh dan tak peduli denganku tinggali. Tak ada apapun yang spesial. Tak lagi terlihat sebuah gundukan, hanya ada papan bertuliskan nama Ayah, Ibu dan Adik kecilku yang sekarang serata dengan tanah disekitarnya. Hari teramat cerah, namun hujan tak mampu elak dari mataku. Aku menangis deras, merasakan erangan demi erangan yang kian mencekat dada. Melihat namanya saja, langsung ku ingat betul bagaimana aku pernah hidup teramat bahagia dalam limpahan kasih yang mereka berikan.

“Mah, Pah, Dik, coba liat sekarang Mita bawa apa?”

“Bawa ini pah, Mita sekarang sudah lulus”

“Bahkan dengan predikat cumlaude”

“Kalian pasti bangga kan ngeliat Mita nyatanya sanggup menyelesaikan kuliah 3,5 tahun?”

“Tapi Mita nggak mah pah, wisuda tanpa adanya kalian tak lagi berarti”

“Mungkin kalau kalian ngga minta Mita untuk sukses kala itu, Mita sudah mengisi disini pah mah, disebelah kalian. Kita sudah kembali bersama.”

“Mah Pah Dik, boleh ngga Mita memohon satu hal? Temui Mita sekarang mah, peluk Mita mah, beri Mita selamat atas keberhasilan Mita hari ini, peluk Mita, Mita mohon. Jadikan Jogja kembali menjadi saksi seperti beberapa tahun silam mah pah..”

Suaraku bergetar, rasanya seperti ingin meminta malaikat maut untuk membawaku saat ini juga agar bertemu dengan mereka. Seperkian detik kemudian, entah hanya perasaanku saja atau memang demikian adanya, kurasakan kehangatan dalam tubuhku. Seolah merasa dirangkul walau tak begitu terasa. Entah apapun itu, aku harap itu mereka. Keluargaku. Dan dengan kesadaran yang lambat laun membaik, aku mencoba bangkit. Dengan seutas senyum yang aku berikan pada mereka sebagai ucapan terimakasih atas segalanya.
            Aku kembali menelusuri jalan-jalan kota kelahiranku. Mengingat kembali bagaimana aku pernah menjadi sosok yang menyenangkan sebelum semenyedihkan ini. Tak ada rasa yang lain yang kurasa selain merasa kesakitan yang teramat dalam rongga dadaku. Hingga pada akhirnya, aku memiliki sebuah tekad. Tekad untuk mencoba kehidupan baru, mencoba merajut segala asa yang kian terbengkalai selama ini. Ditengah langkah kakiku, aku menekan tombol ‘record’ lalu kudengarkan rekaman favoritku.  

“Ada apa nak?”

“Mita masih belum bisa adaptasi bu. Mita mau pulang”

“Lho, namanya pejuang kok menyerah. Percayalah nak, ini Cuma batu kerikil , jalan kamu untuk jadi sukses baru kamu pijaki. Yuk bersyukur. Yuk semangat. Banyak yang pengin kayak kamu lho, masa kamu yang udah kesampaian jadi menyerah begini?”

“Tapi bu, Mita takut, disini beda sama Jogja bu..”

“Sekarang ibu nanya, Mita punya Tuhan ngga?”

“Punya”

“Nah. Kenapa harus takut sedangkan Mita punya Tuhan yang Maha Segalanya? Percayalah sayang, akan ada kebanggaan tiada terkira setelah ini. Semangat yuk sayang, ibu aja selalu semangat untuk cari uang buat Mita masa Mita gak semangat. Anak ibu harus kuat ah. Ok?”

“Ok ibu”

“Yaudah setelah ini langsung sholat ya sayang minta perlindungan sama Allah jangan lupa. Semangat sayang. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam bu”

Masih ingatkah percakapan itu ? Ya. Itu tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah rekaman. Masih ingat kala aku menyebutkan hanya suara wanita yang selalu mengangkat ketika aku menelfon orangtua? Ya. Itu hanyalah suara operator dengan perkataan andalanya, yang menyebutkan tanda nomer tak lagi aktif. Bagaimana mungkin nomer orangtuaku masih aktif jika hp-nya pun tak lagi ada? Itulah mengapa orangtuaku tak pernah menanyakan perihal kabar tentangku. Itulah mengapa mereka tidaklah hadir dalam acara wisudaku. Itulah.. dan perihal percakapan diatas, itu hanyalah sebuah percakapan lama yang sempat aku rekam. Sebuah kenang-kenangan terakhir dari Ibuku sebelum kecelakaan pesawat menimpa mereka kala ingin menjenguk anak gadisnya yang mengharuskan mereka meninggalkan anak sulungnya . Tak pernah sekalipun aku mengakui kematiannya, yang aku tau, mereka selalu hidup. Setidaknya, hidup dalam rulung hati yang tiada duanya.

**
Dan..disinilah aku sekarang berada. Disebuah kota klasik impian banyak orang. Sebuah kota dengan sejuta kenangan. Seutas senyum terukir kala aku menatap pantulan diriku didepan cermin. Menatap diri yang nampak terlihat ceria. Ya. Kali ini aku mencoba mengubah hidup, mengubah pribadi menjadi lebih positif , mencoba membangkitkan aura ceria ku yang telah lama tertimbun kelam. Terimakasih Jogja telah menjadi saksi bisu sebuah kebahagiaan tiada terkira. Terimakasih Jogja, telah menjadi bak penampung sejuta kenangan dari seorang gadis yang kini tak lagi semenyedihkan itu. Dan.. Selamat Pagi Jogja, Mita-mu yang ceria kini telah bangkit.