Saya tidak ingat pasti kapan kejadian pastinya,
namun saya ingat betul bagaimana kejadian itu dapat memberikan dampak positif
bagi saya. Hari itu, saya telah melakukan
hal baik dan buruk sebagai siswa dalam
waktu bersamaan. Sebagai siswa yang baik, saya tetap berangkat sekolah setelah
berhasil mengalahkan kemageran yang luar biasa. Sebagai siswa yang buruk, saya
berangkat jam 07.00 dari rumah dan jam 07.15 masih dijalan, menunggu lampu merah
berhenti memancarkan cahaya.
Dan,
disela-sela kejenuhanku menunggu lampu merahlah kejadian itu bermula. Saat itu,
saya menghentikan motor sesaat setelah lampu merah menyala. Tanpa disengaja,
motor saya berhenti tepat dibelakang seorang ibu bersepeda dan memboncengkan
ketiga anaknya dalam keadaan (maaf) lusuh. Bagi yang bingung bagaimana cara
boncengnya, jadi satu anak di depan (dibuat semacam dari kayu gitu), yang dua
dibelakang. Ketiga anaknya masih berseragam putih-merah yang mungkin bagi
beberapa orang akan mengatakan bahwa seragam yang dikenakan bukanlah
putih-merah, melainkan (maaf) kuning-merah. Saya asumsikan, jarak mereka
mungkin hanya terpaut 1-2 tahun mengingat besar tubuh mereka tak jauh berbeda.
Semua
berjalan biasa saja sampai salah satu anak membuka suara (percakapan dilakukan dengan menggunakan
bahasa tegal, agar lebih mudah dipahami maka akan saya tampilkan hasil
translate nya saja)
“Mah kok
berhenti?”
“Soalnya lampu
merah, sayang. Liat tuh , ada 3 warna, kalau merah artinya berhenti, kuning
artinya hati2 kalau hijau baru kita jalan”
Percakapan
kemudian terhenti. Lebih tepatnya, saya tidak mendengarkan lagi karena beberapa
motor dibelakang saya sudah membunyikan klakson secara lantang dan bergantian.
Ok, mari saya jelaskan, jadi posisi pemberhentian dilampu merah adalah si Ibu
ini paling depan, paling dekat dengan zebra cross dan mengambil jalur kiri kemudian
disusul saya dibelakangnya. Para pengemudi motor dibelakang saya tak henti
membunyikan klakson, mencoba membuat kode agar saya (pengemudi motor paling
depan) segera menyalip pengemudi sepeda paling depan agar menjadi pelopor
menerobos lampu merah. Tidak munafik, biasanya saya juga melakukan itu,
menerobos lampu merah dengan dalih ‘belok kiri jalan terus’ padahal jelas
ditemukan plang ‘belok kiri mengikuti isyarat lampu lalu lintas’. Namun untuk
kala itu, apa yang ada di depan saya lebih jauh menarik dibanding menerobos
lampu kembali.
“Sekolah masih bisa
masuk kalau telat. Kalaupun gak bisa, masih ada hari esok. Tapi buat ketemu
momen ini, mungkin Cuma sekali hari ini” Fikir saya kala itu yang memang benar terbukti,
mengingat sampai sekarang saya tidak lagi dipertemukan dengan beliau.
Ok
karena saya tidak ingin menerobos, maka saya hanya menggeser motor saya agak
miring kedepan, mencoba memberi ruang dan kode bagi pengendara dibelakang saya
untuk berjalan mendahului saya. Saya mendongakan kepala mencoba melihat detik
pada lampu lalu lintas. Terpampang 45 detik disana. Ok, ini tak akan lama,
fikir saya. Dan, dari sini, ternnyata jarak antara saya dengan ibu ini semakin
dekat. Percakapan kembali terdengar, kali ini berasal dari mulut buah hati yang
diboncengnya di belakang.
“Katanya merah
tanda berhenti, kok om itu jalan mah?” Protes salah satu anaknya ketika melihat
pengemudi motor dibelakang saya itu menerobos lampu mersh.
“Mungkin om itu
lagi buru-buru, ada keperluan yang gabisa ditunda makanya terpaksa ngelanggar
aturan”
DEGG. Entah kenapa
hati saya terkagum untuk pertama kalinya. Bagaimana tidak, bahkan Ibu ini bisa menjelaskan
kepada anaknya dengan sudut pandang positif.
Percakapan
masih berlanjut.
“Berarti kalau
lagi buru-buru ngelanggar gapapa ya mah?”
“Ya bukan begitu,
selama masih bisa kita taati ya taati.. Itulah gunanya sekolah , selain biar
pinter, biar ngerti aturan juga dan bisa ngewujudin cita-cita. Kalian juga
pasti punya cita-cita kan”
“Punya dong. Aku
kan mau jadi dokter mah”
“ Aku juga
pengin jadi itu (salah satu anak menunjuk gambar polwan dalam banner yang
terpampang dipinggir jalan)”
“Kalo aku mau
jadi guru ngaji” kata anaknya yang lain.
“Aaminn. Nah makanya
kalo pengin jadi itu semua harus pinter. Harus sekolah yang bener. Nurut sama
ibu guru ya. Harus semangat. Mamah aja semangat nganter jemput kalian tiap hari”
“ok siap mah
makasih mamah” Kata anak yang dibonceng paling belakang, saya asumsikan dialah
yang tertua karena memiliki ukuran badan yang lebih besar dari dua yang lain.
“Iya, udah tugas
mamah. Kalian terlahir miskin itu salah mamah. Karena dulu gak pernah peduli
sama pendidikan. Tapi mamah ga bakal membiarkan kalian punya nasib yang sama
kayak mamah. Mamah mungkin bodoh. Gak tau apa-apa, tapi bukan berarti kalian
harus bodoh kayak mamah. Kalian harus pinter dan berhasil ya”
Ucap ibu itu,
seraya mengecup kening anak yang dibonceng di depan lantas menggenggam erat
tangan anak yang lain dibelakang.
Tak
ada respon apapun dari ketiga anaknya, mungkin mereka belum begitu paham akan
apa yang diucapkan oleh ibunya itu. Namun siapa sangka, ucapan ibu itu memang
tidak mendapat respon apapun dari anaknya. Namun itu, telah membuat sosok
pengemudi motor didekatnya menangis deras entah sejak kapan.
Ya, saya telah
dibuat menangis oleh seseorang yang bahkan tidak saya kenal.
Bersamaan dengan
itu, lampu telah berganti warna. Saya melajukan motor dengan kecepatan lebih
mengingat betapa masih beruntungnya saya masih dapat merasan bangku sekolah
dengan berbagai fasilitas. Ya saya dibuat bersyukur karenanya.
Keberuntunganmasih
berpihak pada saya, guru pengajar mata pelajaran dikabarkan tidak masuk membuat
kesalahan pada diri saya setidaknya berkurang, walau hanya 5%.
Hehe.
Tidak terasa, saya
merasakan kejadian hebat hari itu
Yakni 45 detik yang
lebih berharga dari biasanya.