Selasa, 17 April 2018

Kisah 45 Detik

Malam ini, otak saya tiba-tiba memutarkan sebuah kisah inspiratif 2014/2015 lalu. Sebuah kisah yang saya dapatkan saat masih duduk dibangku putih abu-abu dulu.
            Saya tidak ingat pasti kapan kejadian pastinya, namun saya ingat betul bagaimana kejadian itu dapat memberikan dampak positif bagi saya.  Hari itu, saya telah melakukan hal baik dan buruk  sebagai siswa dalam waktu bersamaan. Sebagai siswa yang baik, saya tetap berangkat sekolah setelah berhasil mengalahkan kemageran yang luar biasa. Sebagai siswa yang buruk, saya berangkat jam 07.00 dari rumah dan jam 07.15 masih dijalan, menunggu lampu merah berhenti memancarkan cahaya.

Dan, disela-sela kejenuhanku menunggu lampu merahlah kejadian itu bermula. Saat itu, saya menghentikan motor sesaat setelah lampu merah menyala. Tanpa disengaja, motor saya berhenti tepat dibelakang seorang ibu bersepeda dan memboncengkan ketiga anaknya dalam keadaan (maaf) lusuh. Bagi yang bingung bagaimana cara boncengnya, jadi satu anak di depan (dibuat semacam dari kayu gitu), yang dua dibelakang. Ketiga anaknya masih berseragam putih-merah yang mungkin bagi beberapa orang akan mengatakan bahwa seragam yang dikenakan bukanlah putih-merah, melainkan (maaf) kuning-merah. Saya asumsikan, jarak mereka mungkin hanya terpaut 1-2 tahun mengingat besar tubuh mereka tak jauh berbeda.

Semua berjalan biasa saja sampai salah satu anak membuka suara  (percakapan dilakukan dengan menggunakan bahasa tegal, agar lebih mudah dipahami maka akan saya tampilkan hasil translate nya saja)
“Mah kok berhenti?”
“Soalnya lampu merah, sayang. Liat tuh , ada 3 warna, kalau merah artinya berhenti, kuning artinya hati2 kalau hijau baru kita jalan”

Percakapan kemudian terhenti. Lebih tepatnya, saya tidak mendengarkan lagi karena beberapa motor dibelakang saya sudah membunyikan klakson secara lantang dan bergantian. Ok, mari saya jelaskan, jadi posisi pemberhentian dilampu merah adalah si Ibu ini paling depan, paling dekat dengan zebra cross dan mengambil jalur kiri kemudian disusul saya dibelakangnya. Para pengemudi motor dibelakang saya tak henti membunyikan klakson, mencoba membuat kode agar saya (pengemudi motor paling depan) segera menyalip pengemudi sepeda paling depan agar menjadi pelopor menerobos lampu merah. Tidak munafik, biasanya saya juga melakukan itu, menerobos lampu merah dengan dalih ‘belok kiri jalan terus’ padahal jelas ditemukan plang ‘belok kiri mengikuti isyarat lampu lalu lintas’. Namun untuk kala itu, apa yang ada di depan saya lebih jauh menarik dibanding menerobos lampu kembali.
“Sekolah masih bisa masuk kalau telat. Kalaupun gak bisa, masih ada hari esok. Tapi buat ketemu momen ini, mungkin Cuma sekali hari ini”  Fikir saya kala itu yang memang benar terbukti, mengingat sampai sekarang saya tidak lagi dipertemukan dengan beliau.

Ok karena saya tidak ingin menerobos, maka saya hanya menggeser motor saya agak miring kedepan, mencoba memberi ruang dan kode bagi pengendara dibelakang saya untuk berjalan mendahului saya. Saya mendongakan kepala mencoba melihat detik pada lampu lalu lintas. Terpampang 45 detik disana. Ok, ini tak akan lama, fikir saya. Dan, dari sini, ternnyata jarak antara saya dengan ibu ini semakin dekat. Percakapan kembali terdengar, kali ini berasal dari mulut buah hati yang diboncengnya di belakang.
“Katanya merah tanda berhenti, kok om itu jalan mah?” Protes salah satu anaknya ketika melihat pengemudi motor dibelakang saya itu menerobos lampu mersh.
“Mungkin om itu lagi buru-buru, ada keperluan yang gabisa ditunda makanya terpaksa ngelanggar aturan”
DEGG. Entah kenapa hati saya terkagum untuk pertama kalinya. Bagaimana tidak, bahkan Ibu ini bisa menjelaskan kepada anaknya dengan sudut pandang positif.

Percakapan masih berlanjut.
“Berarti kalau lagi buru-buru ngelanggar gapapa ya mah?”
“Ya bukan begitu, selama masih bisa kita taati ya taati.. Itulah gunanya sekolah , selain biar pinter, biar ngerti aturan juga dan bisa ngewujudin cita-cita. Kalian juga pasti punya cita-cita kan”
“Punya dong. Aku kan mau jadi dokter mah”
“ Aku juga pengin jadi itu (salah satu anak menunjuk gambar polwan dalam banner yang terpampang dipinggir jalan)”
“Kalo aku mau jadi guru ngaji” kata anaknya yang lain.
“Aaminn. Nah makanya kalo pengin jadi itu semua harus pinter. Harus sekolah yang bener. Nurut sama ibu guru ya. Harus semangat. Mamah aja semangat nganter jemput kalian tiap hari”
“ok siap mah makasih mamah” Kata anak yang dibonceng paling belakang, saya asumsikan dialah yang tertua karena memiliki ukuran badan yang lebih besar dari dua yang lain.
“Iya, udah tugas mamah. Kalian terlahir miskin itu salah mamah. Karena dulu gak pernah peduli sama pendidikan. Tapi mamah ga bakal membiarkan kalian punya nasib yang sama kayak mamah. Mamah mungkin bodoh. Gak tau apa-apa, tapi bukan berarti kalian harus bodoh kayak mamah. Kalian harus pinter dan berhasil ya”
Ucap ibu itu, seraya mengecup kening anak yang dibonceng di depan lantas menggenggam erat tangan anak yang lain dibelakang.

Tak ada respon apapun dari ketiga anaknya, mungkin mereka belum begitu paham akan apa yang diucapkan oleh ibunya itu. Namun siapa sangka, ucapan ibu itu memang tidak mendapat respon apapun dari anaknya. Namun itu, telah membuat sosok pengemudi motor didekatnya menangis deras entah sejak kapan.
Ya, saya telah dibuat menangis oleh seseorang yang bahkan tidak saya kenal.
Bersamaan dengan itu, lampu telah berganti warna. Saya melajukan motor dengan kecepatan lebih mengingat betapa masih beruntungnya saya masih dapat merasan bangku sekolah dengan berbagai fasilitas. Ya saya dibuat bersyukur karenanya.
Keberuntunganmasih berpihak pada saya, guru pengajar mata pelajaran dikabarkan tidak masuk membuat kesalahan pada diri saya setidaknya berkurang, walau hanya 5%.
Hehe.

Tidak terasa, saya merasakan kejadian hebat hari itu
Yakni 45 detik yang lebih berharga dari biasanya.

Sajak Kepemimpinan

Karya Hasri Imroatul Izza
 

Kepemimpinan tak lebih dari sebuah seni tingkat tinggi
Ia tumbuh dalam jiwa seorang ahli
Yang bersedia mengabdikan diri
Pada hal yang bahkan tak lebih dari menyita energi

Siapapun mungkin mengaku pandai menjadi pimpinan
Namun apalah pemimpin tanpa iman
Yang ada hanya sebuah teori tanpa tujuan
Yang siap menerkam juga membinasakan

Siapapun mungkin pandai menjadi nomer Satu
Namun pemimpin bukan hanya mengenai itu
Ia tahu bagaimana menjadikan utuh
Juga mengetahui kiat-kiat ampuh
Hingga tak dikenal kembali kata rapuh

Ah, pemimpin bukan pula mereka yang pandai bicara
Berkoar kesana kemari tanpa arah
Dengan tanpa henti menggelegarkan suara
Lantas lupa tujuan dan justru mencipta amarah

Namun pemimpin hebat ialah pemimpin inovatif
Yang menggerakan berbagai hal positif
Pun menuntut anggota turut aktif
Hingga tercipta sebuah kesatuan yang kolaboratif.

Minggu, 15 April 2018

Asaku, Si Pencipta Senyum.

            Indonesia merupakan Negara yang kaya. Akan tetapi, hal ini tetap tidaklah mampu untuk membuat seluruh rakyat Indonesia tersenyum. Mungkin bagi sebagian besar orang, senyum merupakan hal sesepele itu. Namun bagaimana bagi mereka yang tak seberuntung kita? Senyum begitu sulit untuk sekedar terukir dari bibir mereka. Terkecuali bagi mereka yang memang telah lihai dalam bersyukur; hingga baginya, semenyedihkan apapun hidupnya tak lepas dari ucapan hamdallah dalam hidupnya. Akan tetapi, tidaklah kemampuan semacam itu dapat dimiliki orang semua manusia. Maka dari itu, saya memiliki mimpi sederhana, sebagai pencipta senyum pada mereka si pemburu senyum. Saya percaya dan yakin bahwa segalanya tercipta sebab-akibat. Beberpa dari kalian mungkin boleh saja berpendapat bahwa keadaan mereka yang kurang beruntung merupakan hasil dari apa yang telah dilakukan semasa hidupnya, atau dengan kata lain, kurangnya bekal semasa hidupnya membuat mereka menjadi sebagaimana mereka saat ini. Akan tetapi, kendati demikian, saya percaya bahwa mereka pun memiliki hal untuk dilindungi oleh Negara seperti halnya bunyi Pasal 34 (1) UUD 1945 : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”

            Sebagai wujud perealisasian Pasal tersebut Pemerintah memang telah banyak berbuat. Akan tetapi, seringkali alokasi yang pelaksanaan alokasi yang dilakukan menyimpang dari apa yang diharapkan. Dalam hal ini tak jarang terdapat oknum-oknum layaknya iblis yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan berbagai hal yang mampu ia kerahkan. Mengenai perilaku biadab ini, kita sebut,  KORUPSI. 

            Pada kenyataanya, korupsi yang terjadi di Indonesia telah menjadi suatu tindak pidana yang selalu eksis setiap tahunya. Bahkan lebih mengerikan, korupsi seringkali dianggap sebagai suatu budaya dalam diri Indonesia mengingat keberadaanya yang kian eksis seiring perkembangan zaman. Makan dari itu, melihat realita yang ada, saya pribadi ingin turut serta dalam pemberantasan atau sekedar meminimalisir tindak korupsi di Indonesia. 

            Lantas apa korelasi Korupsi dengan senyum dalam diri masyarakat lapisan bawah? Diatas telah saya jelaskan bahwasanya dalam dana yang dikorupsi, selalu ada hak milik orang lain, maupun milik Negara itu sendiri. Sedangkan, mengenai dana Negara, terdapat hak-hak atas masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya bagi fakir miskin dan anak terlantar yang telah secara tertulis akan mendapat perlindungan oleh Negara. Sehingga, diharapkan dengan menjadi seorang Penyidik KPK yang mampu meminimalisir tindak korupsi, secara tidak langsung penyelewangan hak atas masyarakat tak lagi terganggu dan yah, asaku, telah didepan mata. Sebagai Pencipta Senyum, pada mereka si pencari senyum.

                                                                                                          Desember, 2017.

Senin, 02 April 2018

Kesalahanmu, tak lebih besar dari rasaku.


Aku, mencintaimu.
Kamu adalah sosok yang tak lebih tampan dari kebanyakan orang.
Kamu pun tak lebih dari sosok biasa yang penuh ambisi besar dalam setiap langkah kecilnya
Mengenai kamu,
Caramu memperlakukanku pun tak lebih pantas untuk kuanggap baik.
Caramu mencinta, apalagi.
Namun segala hal yang tersimpan dalam diri kamu, begitu menyorot mata.
Segala hal yang tak terlihat oleh siapapun, begitu memikat untukku.
Seakan membawa ku untuk selalu ingin mengenalmu lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Walau pada dasarnya,
Aku,
Sangat mengenalmu.

Aku memang begitu, selalu begitu.
Selalu mampu melihat sisi yang tak satupun dilihat oleh siapapun.
Kamu menyakitiku sebegitunya,
Dan aku, tetap dalam pendirianku,
Untuk terus mencintai kamu setulus yang aku mampu.

Aku, memang begitu, sekeras kepala itu.
Ribuan kali teman baikku melarang
Ratusan kali hati menjerit memintaku untuk berhenti menyakitinya
Puluhan kali orang tuaku memintaku untuk berhenti
Namun cukup 1x untukku membuat mereka bungkam
Cukup saja kusebut namamu.
Kamu, memang begitu.
Selalu menjadi alasan dibalik sikap egoisku.

Kian hari, paksaan mereka untuk memintaku berhenti semakin hebat
Namun seiring itu pula, banteng hati seakan menebal otomatis
Seolah melindungimu, untuk selalu berada didalamnya.
Bukankah dari situ, dapat terlihat bahwa dengan terus mencintamu, aku harus berkorban?

Logika selalu bergumam tanpa henti tanpa lelah
Bertanya pada sosok dalam pantulan cermin mengenai kebodohan hati kecilnya
“Bukankah, kesalahan yang telah ia perbuat sudah amat besar?”
“Bukankah, kesalahan dia telah tidak mampu kamu beri maaf?”
“Lantas, mengapa kamu selalu batu?”
“Seolah dengan tanpa malu, menjilat ludah yang telah kamu keluarkan dengan jijik kala itu”
Tak sedikit pertanyaan menghujam untukku.

Aku diam seperkian detik.
Lantas menggeleng perlahan.
Air mata tak lupa menampakan diri tanpa perintah.
Bibir lantas kian membuka suara
“Kamu tak akan mengerti” kataku.
“Kesalahanya memang besar, namun rasaku,  jauh lebih besar”
Kataku, kemudian tersernyum getir.
Merasakan betapa pedihnya menjadi sosokku.
Yang memiliki dua rasa berkebalikan
Namun sama hebatnya.
Yah, aku sangat membencimu, 
Pun begitu, aku begitu mencintamu.

Aku sedari tadi mengatakan bahwa aku tetaplah pada pendirianku
Untuk selalu mencinta sosokmu
Untuk selalu teguh pada keegoisanku
Namun dilain hal,
Akupun tetap pada pendirianku yang lain.
Untuk kemudian melepasmu dengan paksa
Seolah lupa akan segala rasa

Ah, aku memang mencintaimu.
Namun mencinta bukanlah menjadi penghalang untukku menepati janji pada diri sendiri
Aku telah berjanji untuk melepasmu kala kamu berulah
Dan,
Sekaranglah waktunya.

Bagaimana?
Aku sangat hebat bukan,
Telah sanggup mencinta dan melepas dalam waktu yang sama?

Depok, 2 April 2018