Antara Asa Dan Realita
Karya Hasri
Imroatul Izza
Ketika
bintang mulai menampakan diri, aku masih
tak bergeming dari tempatku. Masih dalam posisi yang sama, menatap lurus tanpa
fokus. Hanya secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan. Lagi-lagi,
aku memikirkan akan seperti apa masa depan aku dan adik-adiku kelak. Tepat
tahun ini aku mulai masuk jenjang masa putih abu-abu, dan dengan bersamaan pula
adik keduaku pun memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Perbedaan umur yang
terpaut 3tahun membuat ibu yang saat ini berstatus single parent semakin
gelisah . Ya, tepat 5tahun lalu ibu melahirkan anak ketiga yang memang memiliki
keterbelakangan mental. Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian
memilih pergi. Semenjak itu hanya ibulah yang kami punya. Ibu membesarkan kami
dengan penuh cinta dan pilu. Ingin rasanya aku tak melanjutkan sekolah dan
membantu ibu. Namun selalu ditolak mentah-mentah olehnya.
Hingga suatu hari, aku menatap
pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku. Dari
pantulan cermin itu, terlihat aku untuk pertama kalinya sedang mengenakan
seragam putih abu-abu. Segera aku berniat menunjukannya pada ibu, namun
seketika niatku terurung tatkala melihat ibu yang berulang kali mengusap keringat
sembari menyiapkan jajanan kecil yang selama ini dijadikan barang untuk
menunjang hidup kami. Tersirat raut pilu penuh derita dari wajah keriputnya.
Kulangkah kan kaki ku menuju ibu..
“ibu,
aku tak ingin melanjutkan sekolah lagi, aku ingin membantu ibu saja”
“kamu
harus sekolah nak, ibu tidak mau kamu menjadi seperti ibu kelak, kamu harus
sukses nantinya”
Aku
kemudian memeluk ibuku dengan erat dan tak sengaja air mata jatuh dari dalam
mataku. Segera aku usap airmata itu.
“bu,
bagaimana kalau Rani bantu ibu jajakan dagangan disekolah? Pasti teman-teman
disekolah baru Rani suka. Jajan buatan ibu kan enak”
Aku
mengatakan itu dengan raut antusias yang menghiasi wajah manisku. Awalnya, ibu
menolaknya karena sekolah ku ini merupakan sekolah elite di kotaku. Aku pun tak
menyangka dapat masuk kesekolah yang berkebalikan dengan kehidupanku ini. Namun
ini bukanlah kemauanku tapi berkat beasiswa yang aku terima. Hingga kemudian rasa
antusiasku ini akhirnya dapat meluluhkan hati ibu. Dan mulai hari ini aku
membawa sebagian jajanan itu untuk aku tawarkan di sekolah nanti.
“Yo
ayo dibeli jajanan kecil buatan ibuku, enak lho coba deh murah lagi”
Hari
pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada
segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak
menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka.
Namun aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang
sebenarnya salah memasuki tempat. Tetapi aku masih bersyukur masih ada orang yang
berbaik hati membeli jajanan kecil buatan ibuku bahkan mau jadi temanku.
Hingga
tak terasa sudah berhari-hari aku melakoni pekerjaan ini. Pekerjaan yang hanya
aku lakukan ketika bel istirahat berbunyi. Aku melakukannya dengan senang hati.
Sebenarnya rasa malu seringkali menghantuiku namun malu itu terasa lenyap
begitu saja ketika raut pilu ibu terputar di otakku. Aku bersyukur karna Allah
memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis.
Hari ini seperti biasa aku
berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan ditangan kananku. Namun
langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini
menggangguku tiba-tiba muncul, ya sekarang aku mengetahui dialah Dimas cs. Ia
menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak jajananku. Aku memberontak namun apa
daya jajananku telah hancur dan mereka pergi meninggalkanku begitu saja dengan
jajanan yang berserakan ditanah. Aku menangis sembari memungutinya. Lalu dengan
langkah gontai aku kembali melanjutkan perjalanan ke sekoah.
Sepulang sekolah segera ku
mencari ibu,berniat meminta maaf karena telah merusak jajan buatannya. Namun kulihat
ibu sedang menangis disebelah Shinta adiku yang memilii keterbelakangan mental.
Kudatanginya hingga aku tau bahwa adiku ini demam tinggi. Aku menangis. Baru
tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat
Shinta demam tinggi. Aku lihat dagangan ibu diluar pun masih utuh, kita tak
punya uang sama sekali untuk biaya pengobatan adiku. Aku memeluk ibu, mencoba
tenang akan musibah yang bertubi-tubi ini.
Semenjak
itu, kami semua bekerja lebih giat agar segera dapat uang untuk pengobatan
Shinta. Selama ini shinta hanya diberi obat alakadarnya, adiku yang kedua yang
meracikan obat herbal hasil cariannya di hutan setiap sore. Sedang ibu, kini
bekerja siang malam. Ketika pagi hingga sore menjual jajanan kecil buatannya,
dan ketika malam datang ibu menjadi tukang cuci tetangga. Hasil yang tak
seberapa namun setidaknya cukup untuk makan serta untuk berobat shinta
seadanya. Selain ibu aku pun bekerja lebih giat lagi. Setiap pulang sekolah aku
langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana. Suara ku yang
bisa dibilang merdu membuat aku mendapatkan uang lebih banyak. Aku melakukan
ini tanpa sepengatahuan ibuku. Sepulangnya aku menyerahkan semua uang pada ibu
dan mengatakan aku telah belajar kelompok .Sungguh aku terpaksa berbohong
seperti ini.
Keesokan harinya aku membawa
dagangan lebih banyak dari biasanya. Aku ingin membantu ibu lebih banyak lagi.
Namun lagi-lagi Dimas menggangguku. Ia mulai memporak-porandakan daganganku.
Wajah pilu ibu dan adiku shinta tiba-tiba datang dalam otaku dan membuatku
berontak keras seketika
“kalian
itu apa-apaan sih? Aku salah apa sama kalian sampai kalian jahat sama aku?
Pernah aku nglukain kalian nyakitin kalian? Selama ini aku diam aja karna aku
yakin kalian bakal berubah. Tapi aku salah kalian malah makin menjadi-jadi. Aku
memang orang miskin yang bahkan seharusnya ngga pantas disini. Kalau aku emang
punya salah sama kalian aku minta maaf. Dan kalau kamu benci aku, pukul aku!
Jangan rusak daganganku! Karna aku butuh ini untuk biaya pengobatan adiku!”
Aku
menangis seraya memunguti jajanan yang sudah separuh terhempas dilantai lalu
segera pergi meninggalkan mereka. aku tau pasti mereka teramat kaget melihat
reaksiku yang seperti itu namun aku tak peduli, karna ini memang demi adiku,
demi keluargaku. Dalam hati ku berkata aku benci mereka.
Setelah menyalami ibu, seperti biasa
aku membawa tas kuningku lalu mulai melangkahkan kaki. Namun kali ini, bukanlah
sekolah tujuan ku akan tetapi sebuah warteg dijalan Hanoman lah tujuanku.
Segera aku titipkan daganganku untuk dijual disana lalu bergegas berganti baju
dan segera mengamen. Semenjak ulah Dimas cs kemarin, aku berniat untuk tidak
bersekolah dan memilih merauk uang di jalan Hanoman, aku hanya takut jajanan
yang seharusnya dapat menghasilkan uang justru malah sia-sia tak berhasil
karena ulah Dimas. Telah satu minggu sudah aku melakoni sandiwara ini. Ya Allah
apa yang aku perbuat, aku sudah membohongi ibu selama ini.. tapi Demi Allah aku
melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku. Dalam hati ku menangis,
ibu maafkan Rina
Sore
harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil
bekerjaku seharian ini. Tak lupa juga dengan mengenakan seragam putih abu-abu
yang aku kenakan saat aku pergi tadi pagi. Segera kudatangi ibu dan menyerahkan
uang hasil kerjaku.
“ibu
tidak butuh uang dari cara yang tidak benar”
aku kaget bukan main ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut ibu
ku.
“ibu..”
“kemana
saja kamu satu minggu ini tidak sekolah? Ibu mendapat surat peringatan dari
sekolah bahwa kamu tidak sekolah tanpa keterangan satu minggu ini. sejak kapan
kamu pandai berbohong? Ibu tidak pernah mengajari kamu berbohong.”
“ibuu
Rina minta maaf bu, Rina terpaksa melakukan ini karna Rina ingin bantu ibu
lebih banyak. Rina Cuma ingin Shinta mendapat peengobatan yang layak. Rina
minta maaf bu..” aku menangis tersedu yang kemudian tersungkur di depan ibu
“membantu
itu tidak dengan cara yang salah. Untuk apasih kita punya berjuta-juta uang
tapi didapat dari cara yang salah? Kejujuran itu kunci kehidupan. Tapi kamu
merusaknya. Ibu kecewa Rina”
Sekarang
aku dapat melihat bulir-bulir air mulai jatuh dari dalam mata sayu nya.. dada
ku semakin sakit melihat orang yang paling aku sayang menangis karena sikapku.
Segera ku peluk kakinya dan menangis tenggelam disana.
“Rina
minta maaf bu.. Rina janji Rina nggak bakal ngulang ini lagi, Rina nggak bakal
ngecewain ibu lagi.. demi Allah bu.. pegang janji Rina”
Ibu
membangunkanku dari kakinya, lalu kemudian memeluku dengan erat. Aku kian
menangis dalam pelukannya. Kata maaf tak hentinya terucap dari bibirku..
“iyaa
nak nggapapaa tak usah menangis lagi.. jangan diulangin yaa.. ibu nggak mau
anak ibu jadi pembohong seperti itu”
“iyaa
bu Rina janji nggak akan ngecewain ibu kedua kalinya”
Semenjak itu, aku selalu
berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya.
Aku beraktivitas seperti biasa lagi berangkat sekolah dengan menenteng tas
kuningku. Namun kali inilangkahku
kembali ke tempatku menimba ilmu sekaligus berniaga, ya itulah
sekolahku. Aku menjalani hari ini dengan ceria tanpa ada pengganggu yang
memporak-porandakan jajananku lagi. Seharian ini aku tak bertemu dengan Dimas
cs, entah kemana mereka aku sama sekali tak peduli.
Langit sudah mulai menghitam seakan
mengajakku untuk segera pulang. Aku melangkahkan kakiku dengan ceria, menuju
gubuk reyot tempatku selama ini tinggal. Namun tak kudapati siapapun
didalamnya. Hanya alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang tersisa. Segera aku
datangi rumah tetangga untuk menanyakan keberadaan ibu. Namun betapa
terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa ibu dan adiku sedang membawa Shinta ke
Rumah Sakit. Senyum tak sengaja tersungging di bibir ku. Dan tanpa basa basi
aku segera berlari menuju Rumah Sakit yang telah ditunjuk tetanggaku.
Sesampainya
di Rumah Sakit segera aku cari atas nama adiku dan menuju ke ruang yang telah
diberi petunjuk resepsionis. Kulihat dari kejauhan wanita tua dengan anak
seusia SMP. Ya, itu ibu dan adik keduaku. Aku kemudian menghampirinya dengan
langkah tak santai.
“ibu,
uang kita sudah cukup untuk biaya berobat Shinta ya bu? Allhamdulillah”
“bukan
ibu yang membawa Shinta kesini, tapi teman-teman kamu”
Keningku
seketika berkerut mendengar ucapan ibu “Teman-temanku?”
“iyaa..
itu mereka dibelakang kamu”
Segera
aku menoleh kearah yang ditunjuk ibu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat
Dimas cs lah yang ibu maksud. Aku masih menatapnya tak percaya. Bagaimana
mungkin mereka melakukannya? Atau ibu yang sedang membohongiku? Tapi ibu tak
mungkin berbohong kepadaku. Kulihat langkah mereka kian mendekat kearahku. Lalu
kulihat pula salah satu diantara mereka mulai mencoba mengeluarkan suara, dia
Dimas.
“ini
sebagai permintaan maaf kita Rin. Kamu tak usah memikirkan biaya karena semua
sudah menjadi tangung jawabku. Aku sadar ggak seharusnya aku ngejahatin kamu
yang tak bersalah sama sekali. Sebenarnya dari awal aku tertarik sama kamu. Dan
inilah yang menjadikan alasan aku untuk terus mengerjai kamu. Hanya karna aku
ingin selalu menjadi sosok yang selalu kamu fikirkan. Tapi cara aku salah. Ini
justru menyiksa kamu, sangat menyiksa. Aku dan teman-temanku minta maaf.. aku
harap kamu bisa memaafkan kami dan mau bersahabat dengan kami”
Darahku
seketika terasa membeku. Aku terpaku. Tak mampu mengatakan apapun, aku telah
dibuatnya mati gaya. Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan
sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
“Rina
anak baik, ia pasti akan memaafkan kalian kok. Iya kan nak?”
Ibu
yang sepertinya menyadari sikapku mencoba mengisi keheningan diantara kita. Aku
yang masih dalam proses pembiasaan diri pun hanya bisa menganggukan kepala, dengan
arti aku meng-iya kan apa yang telah ibu bicarakan.
Mulai
saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya. Dan mereka
senantiasa membantuku menjajakan daganganku ke sekitar sekolah. Sekarang aku
mengerti , keberubahan akan terjadi pada siapapun dan kapanpun waktunya. Dan
setiap musibah pasti ada hikmah yang dapat diambil Mulai sekarang aku selalu
berhati-hati dalam bertindak dan selalu jujur dalam berucap.
Unsur intrinsik
1.
Tema : Perjuangan
membantu perekonomian keluarga
2.
Penokohan/watak
:
a.
Aku
-
Suka
membantu (dramatik) Hingga kemudian rasa antusiasku ini akhirnya dapat
meluluhkan hati ibu. Dan mulai hari ini aku membawa sebagian jajanan itu untuk
aku tawarkan di sekolah nanti
-
Sabar
(dramatik) : Bahkan ada segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan
daganganku. Aku tak menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi
meninggalkan mereka
-
Giat
Bekerja (analitik) : Selain ibu aku pun bekerja lebih giat lagi. Setiap pulang
sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana.
Suara ku yang bisa dibilang merdu membuat aku mendapatkan uang lebih banyak.
-
Menghalalkan
segala cara (dramatik) : Setiap pulang
sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana.
Suara ku yang bisa dibilang merdu membuat aku mendapatkan uang lebih banyak.
Aku melakukan ini tanpa sepengatahuan ibuku. Sepulangnya aku menyerahkan semua
uang pada ibu dan mengatakan aku telah belajar kelompok .Sungguh aku terpaksa
berbohong seperti ini.
-
Dapat
belajar dari peristiwa (dramatik) : Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam
bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya. Aku beraktivitas
seperti biasa lagi berangkat sekolah dengan menenteng tas kuningku.
b.
Ibu
-
Pekerja
Keras (dramatik): Sedang ibu, kini bekerja siang malam. Ketika pagi hingga sore
menjual jajanan kecil buatannya, dan ketika malam datang ibu menjadi tukang
cuci tetangga. Hasil yang tak seberapa namun setidaknya cukup untuk makan serta
untuk berobat shinta seadanya.keriputnya
-
Sabar
(dramatik) : Ya, tepat 5tahun lalu ibu melahirkan anak ketiga yang memang
memiliki keterbelakangan mental. Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga
kemudian memilih pergi. Semenjak itu hanya ibulah yang kami punya. Ibu
membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu
c.
Dimas
-
Pengganggu
(analitik): Hari ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning
berisi jajanan ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan
lelaki yang akhir-akhir ini menggangguku tibatiba muncul, ya sekarang aku
mengetahui dialah Dimas cs.
-
Baik
hati dan dapat mengakui kesalahan (dramatik dengan tingkah laku): ini sebagai
permintaan maaf kita Rin. Kamu tak usah memikirkan biaya karena semua sudah
menjadi tangung jawabku.
d.
Adik
Kedua
-
Tekun
: Adiku yang kedua yang meracikan obat herbal hasil cariannya di hutan setiap
sore
.
3.
Alur
Alur
maju (Progresif)
Tahapan
Alur:
a.
Pendahuluan
:
Ketika senja mulai
menampakan diri, aku masih tak bergeming dari tempatku. Masih dalam posisi yang
sama, menatap lurus tanpa fokus. Hanya secercah cahaya keajaiban yang
senantiasa aku harapkan. Lagi-lagi, aku memikirkan akan seperti apa masa depan
aku dan adik-adiku kelak. Tepat tahun ini aku mulai masuk jenjang masa putih
abu-abu, dan dengan bersamaan pula adik keduaku pun memasuki jenjang Sekolah
Menengah Pertama. Perbedaan umur yang terpaut 3tahun membuat ibu yang saat ini
berstatus single parent semakin gelisah . Ibu membesarkan kami dengan penuh
cinta dan pilu. Ingin rasanya aku tak melanjutkan sekolah dan membantu ibu. Namun
selalu ditolak mentah-mentah olehnya.
Hingga suatu hari,
aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari
bibirku. Dari pantulan cermin itu, terlihat aku untuk pertama kalinya sedang
mengenakan seragam putih abu-abu. Segera aku berniat menunjukannya pada ibu,
namun seketika niatku terurung tatkala melihat ibu yang berulang kali mengusap
keringat sembari menyiapkan jajanan kecil yang selama ini dijadikan barang
untuk menunjang hidup kami. Tersirat raut pilu penuh derita dari wajah
keriputnya.
b.
Komplikasi/Penanjakan
:
Hari
pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada
segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak
menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka.
Namun aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang
sebenarnya salah memasuki tempat. Tetapi aku masih bersyukur masih ada orang
yang berbaik hati membeli jajanan kecil buatan ibuku bahkan mau jadi temanku.
c.
Konflik
-
Hari
ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan
ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang
akhir-akhir ini menggangguku tibatiba muncul, ya sekarang aku mengetahui dialah
Dimas cs. Ia menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak daganganku. Aku memberontak
namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi meninggalkanku begitu
saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Ia melakukan itu hampir setiap
hari
-
Baru
tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat
Shinta demam tinggi. Aku lihat dagangan ibu diluar pun masih utuh, kita tak
punya uang sama sekali untuk biaya pengobatan adiku. Aku memeluk ibu, mencoba
tenang akan musibah yang bertubi-tubi ini.
-
Telah
satu minggu sudah aku melakoni sandiwara ini. Ya Allah apa yang aku perbuat,
aku sudah membohongi ibu selama ini.. tapi Demi Allah aku melakukan ini karena
himpitan ekonomi yang memaksaku. Dalam hati ku menangis, ibu maafkan Rina
-
Ibu
pada akhirnya mengetahui kebohonganku karena mendapat surat peringatan dari
pihak sekolah. Ibu sengat kecewa padaku karena aku telah tega membohonginya dan
diriku sendiri.
d.
Peleraian
-
Semenjak
itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk
kedua kalinya
-
Mulai
saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya. Dan mereka
senantiasa membantuku menjajakan daganganku ke sekitar sekolah. Sekarang aku
mengerti , keberubahan akan terjadi pada siapapun dan kapanpun waktunya. Dan
setiap musibah pasti ada hikm ah yang dapat diambil Mulai sekarang aku selalu
berhati-hati dalam bertindak dan selalu jujur dalam berucap.
4. Setting/Latar
a.
Tempat:
-
Kamar
: Hingga suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas
senyum terukir dari bibirku
-
Jalanan
: Aku menangis sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali
melanjutkan perjalanan ke sekoah.
-
Jalan
Hanoman : Setiap pulang sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman
untuk mengamen disana
-
Gubuk
Reyot : Aku melangkahkan kakiku dengan ceria, menuju gubuk reyot tempatku
selama ini tinggal
-
Sekolah
: Namun kali inilangkahku kembali ke
tempatku menimba ilmu sekaligus berniaga, ya itulah sekolahku
-
Rumah
Sakit: Sesampainya di Rumah Sakit segera aku cari atas nama adiku dan menuju ke
ruang yang telah diberi petunjuk resepsionis.
b.
Waktu
-
Malam
: Ketika bintang mulai menampakan diri, aku masih tak bergeming dari tempatku
-
Sore
Hari : Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang
hasil bekerjaku seharian ini.
c.
Suasana
-
Sedih
: Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi.
Semenjak itu hanya ibulah yang kami punya. Ibu membesarkan kami dengan penuh
cinta dan pilu
“Aku
memberontak namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi
meninggalkanku begitu saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Aku menangis
sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali melanjutkan
perjalanan ke sekoah.”
“Aku
menangis tersedu yang kemudian tersungkur di depan ibu”
“Aku
menangis. Baru tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan,
sekarang aku lihat Shinta demam tinggi”
-
Bahagia
“Sore
harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil
bekerjaku seharian ini.”
“Aku
bersyukur karna Allah memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis”
5. Sudut Pandang
Sudut pandang orang pertama : “Hingga
suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum
terukir dari bibirku”
6. Amanat
“Jangan terpaksa menghalalkan
cara yang salah walau dalam keadaan sesulit apapun itu”
“Jujurlah dalam hal sekecil
apapun karena jujur adalah kunci kesuksesan”
“Membantu kecil dengan cara yang
halal akan jauh lebih baik daripada dalam skala besar namun dengan kesalahan
besar pula”
7. Gaya Bahasa
a.
Personifikasi
: “. Dalam hati ku berkata aku benci mereka”
b.
Hiperbola
: “Segera ku peluk kakinya dan menangis tenggelam disana”
“Darahku
seketika terasa membeku. Aku terpaku. Tak mampu mengatakan apapun, aku telah
dibuatnya mati gaya. Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan
sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
Unsur Ekstrinsik
Tidak
ada Latar belakang dan Biografi Pengarang.
Nilai-nilai Sastra :
a.
Agama
: “Aku bersyukur karna Allah memberiku kemudahan sehingga daganganku laris
manis”
b.
Sosial
: “ini sebagai permintaan maaf kita Rin. Kamu tak usah memikirkan biaya karena
semua sudah menjadi tangung jawabku.”
c.
Moral
: “membantu itu tidak dengan cara yang salah. Untuk apasih kita punya
berjuta-juta uang tapi didapat dari cara yang salah? Kejujuran itu kunci
kehidupan. Tapi kamu merusaknya”
Struktur
Kebahasaan Cerpen
1.
Abstrak
Aku hanya tinggal bersama ibuku
dan kedua adiku setelah ayahku memilih pergi meninggalkan kami ketika ibu
melahirkan anak ketiga yang memiliki keterbelakangan mental. Semenjak itu,
hanya ibulah yang membesarkan kami dengan berjualan jajanan kecil buatanya.
Sebenarnya aku tak ingin
melanjutkan sekolah karena ingin membantu ibu, namun ibu selalu menolaknya dan
menyuruhku untuk tetap bersekolah. Akupun kemudian melakoni keduanya,
bersekolah sembari berjualan. Tak jarang aku mendapat cemoohan dari
teman-temanku. Ya wajar karna sekolahku sekolah elite dan aku pun dapat disini
karena beasiswaku.
Suatu hari aku bertemu dengan
segerombolan lelaki yang memang sering menggangguku. Bahkan seringkali ia
dengan sengaja menjatuhkan jajanan jualanku. Lambat laun aku mengenalnya,
dialah Dimas cs. Aku hanya bisa bersabar ketika ia mulai melakukan aksinya.
Saati ini adiku terkena demam
tinggi. Ibuku semakin bingung. Ia kemudian bekerja siang malam. Akupun berniat
membantu ibu lebih giat lagi. Hingga suatu hari aku berbohong dan selalu
menyempatkan diri setiap pulang sekolah untuk mengamen di perempatan hanoman.
Aku terpaksa melakukan ini. Itu aku lakukan berulang-ulang. Hingga suatu ketika
dimas cs kembali berulah. Ia memporak-porandakan jajananku. Kali ini aku tak
lagi sabar. Aku berontak. Sampai keesokan harinya aku memilih untuk tak sekolah
dan menitipkan jajananku diwarteg. Sedangkan aku berlari menuju perempatan
untuk kembali mengamen.
Tak kusangka, seminggu sudah aku
melakoni ini. Hingga pada suatu hari ibu mengetahui kebohonganku itu kecewa
besar terhadapku. Aku hanya sanggup menyesal. Dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi.
Hari-hari kulewati dengan biasa,
ketika aku pulang sekolah aku tak mendapati siapapun dalam rumah. Akupun
bertanya pada tetangga kemana ibu dan adiku sekarang. Mereka mengatakan jika
ibu sedang membawa adik bungsuku berobat di Rumah sakit. Tak sabar aku segera
kesana dan menemui ibu untuk mengungkapkan kebahagiaanku karena dapat membawa
adik berobat. Namun ibu mengatakan jika yang membawa adik kesini ialah Dimas
cs. Aku terkejut bukan main. Lebih terkejut ketika mendengar pengakuan Dimas
yang mengatakan jika ia tertarik denganku sejak awal pertemuan kita. Dan
melakukan semuanya semata-mata ingin menjadi sosok yang senantiasa aku
fikirkan. Aku tak menghiraukan pengakuanya karna aku tak ingin mengenal cinta
dahulu. Dan akhirnya kita pun bersahabat dan Dimas kini tak lagi mengganggu,
tetapi membantuku.
2. Orientasi
a.
Ketika
bintang mulai menampakan diri, aku masih
tak bergeming dari tempatku. Masih dalam posisi yang sama, menatap lurus tanpa
fokus. Hanya secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan. Lagi-lagi,
aku memikirkan akan seperti apa masa depan aku dan adik-adiku kelak.
b.
Hari
pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada
segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak
menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka
c.
Hingga
tak terasa sudah berhari-hari aku melakoni pekerjaan ini. Pekerjaan yang hanya
aku lakukan ketika bel istirahat berbunyi. Aku melakukannya dengan senang hati.
Sebenarnya rasa malu seringkali menghantuiku namun malu itu terasa lenyap
begitu saja ketika raut pilu ibu terputar di otakku. Aku bersyukur karna Allah
memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis.
d.
Langit
sudah mulai menghitam seakan mengajakku untuk segera pulang. Aku melangkahkan
kakiku dengan ceria, menuju gubuk reyot tempatku selama ini tinggal. Namun tak
kudapati siapapun didalamnya. Hanya alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang
tersisa. Segera aku datangi rumah tetangga untuk menanyakan keberadaan ibu.
Namun betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa ibu dan adiku sedang
membawa Shinta ke Rumah Sakit.
3. Komplikasi
Semenjak
ayah pergi meninggalkan kami, hanya ibulah harapan kami. Ingin rasanya aku
berhenti sekolah untuk membantu ibu berjualan. Namun ibu menolak mentah-mentah
dan pada akhirnya aku memutuskan untuk sekolah sembari berjualan. Ketika
berjualan disekolah, aku mendapat tatapan yang tak mengenakan dan cemoohan dari
temanku. Maklum saja sekolahku sekolah favorit. Selama menjajakan dagangan, tak
jarang aku mendapat gangguan dari segerombolan lelaki yang kuketahui Dimas cs.
Ia sering menggangguku bahkan menghancurkan daganganku.
4. Evaluasi
Dimas cs semakin sering
menggangguku hingga menjatuhkan daganganku sampai akhirnya tak dapat dijual.
Aku pasrah saja. Hingga pada suatu hari adiku terkena demam tinggi. Ibu semakin
risau bekerja siang malam mengumpulkan uang. Aku pun begitu. Setiap sekolah aku
selalu menyempatkan diri ke perempatan hanoman untuk mengamen disana, ketika
pulang aku hanya mengatakan usai belajar kelompok.
Dimas kembali menggangguku dan
mengacaukan daganganku. Dan mulai saat itu aku memilih tak masuk sekolah dan menitipkan
daganganku di warteg sekitar jalan Hanoman, sedang aku mengamen disana. Tak
terasa telah seminggu sudah aku membohongi ibu. Dan suatu ketika ibu mengetahui
kebohonganku dari surat pernyataan dari sekolah. Ibu sangat marah dan kecewa
terhadapku.
5.
Resolusi
Semenjak itu, aku selalu
berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya.
Aku beraktivitas seperti biasa lagi berangkat sekolah dengan menenteng tas
kuningku. Namun kali inilangkahku kembali
ke tempatku menimba ilmu sekaligus berniaga, ya itulah sekolahku. Aku menjalani
hari ini dengan ceria tanpa ada pengganggu yang memporak-porandakan jajananku
lagi. Seharian ini aku tak bertemu dengan Dimas cs, entah kemana mereka aku
sama sekali tak peduli.
Suatu hari aku tak menemui ibu
dan adik-adiku. Ketika aku bertanya pada tetangga mereka mengatakan jika ibu
sedang membawa adiku berobat. Aku langsung menuju rumah sakit. Dan betapa
terkejutnya aku ketika mengetahui jika Dimas cs lah dibalik semuanya. Ia yang
membiayai biaya perobatan adiku. Aku lebih terkejut ketika mengetahui
pernyataan Dimas bahwa dia telah menyukaiku sejak awal pertemuan kami. Dan
semua gangguan sengaja ia lakukan untuk menarik perhatianku. Dan pada akhirnya
sekarang kita menjadi sahabat dan ia bukan lagi sosok pengganggu melainkan
sahabat yang senantiasa membantuku.
6.
Koda
“Jangan
terpaksa menghalalkan cara yang salah walau dalam keadaan sesulit apapun itu”
“Jujurlah
dalam hal sekecil apapun karena jujur adalah kunci kesuksesan”
“Membantu
kecil dengan cara yang halal akan jauh lebih baik daripada dalam skala besar
namun dengan kesalahan besar pula”
KAIDAH
KEBAHASAAN
1.
Kosa Kata
a.
single
parent : sebutan untuk orang tua
yang hanya satu (entah cerai atau ditinggal meninggal)
b.
tatkala
: ketika
c.
memporak-porandakan:
menghancurkan
d.
arogan
: berantakan/angkuh
2.
Kata Benda dan Kata Kerja
a.
Kata
benda
1)
Aku : Hari pertama aku jualan disekolah
mendapat puluhan sikap tak mengenakan
2)
Ibu
: Hingga pada
suatu hari ibu mengetahui kebohonganku
3)
Dimas
:Dimas cs semakin sering menggangguku
hingga menjatuhkan daganganku
4)
Seragam
Putih abu-abu : terlihat aku untuk pertama kalinya sedang mengenakan seragam
putih abu-abu
5)
Cermin
usang :Hingga suatu hari, aku
menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku
6)
Alat-alat
rumah tangga : Hanya alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang tersisa
7)
Jajanan : Ia menjatuhkan tas ku dan
menginjak-injak jajananku.
b.
Kata
Kerja
1)
Menatap : Masih dalam posisi yang sama, menatap
lurus tanpa fokus
2)
Membesarkan
: Ibu membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu.
3)
Memilih : Namun ayah tak bisa menerima kenyataan
hingga kemudian memilih pergi
4)
Menoleh : Segera aku menoleh kearah yang ditunjuk ibu
5)
Membawa : seperti
biasa aku membawa tas kuningku itu ..
6)
Melakukan : Tapi
Demi Allah aku melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku.
3.
Makna Denotasi dan Konotasi
a.
Makna
Denotasi
-
Namun
ini bukanlah kemauanku tapi berkat beasiswa yang aku terima
-
Keesokan
harinya aku membawa dagangan lebih banyak dari biasany
-
Semenjak
itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak
-
Mulai
saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya.
b.
Makna
Konotasi
-
Hanya
secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan
-
Langit
sudah mulai menghitam seakan mengajakku untuk segera pulang.
-
Darahku
seketika terasa membeku. Aku terpaku
-
.
Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan sikapnya yang selama ini
ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
4.
Gaya Bahasa
a.
Majas
Perumpamaan/ Asosiasi
-
sikapnya
yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
b.
Personifikasi
-
Dalam
hati ku berkata
aku benci mereka”
c.
Hiperbola
-
Segera
ku peluk kakinya dan menangis tenggelam disana”
-
Darahku
seketika terasa membeku.
-
Aku
terpaku. Tak mampu mengatakan apapun, aku telah dibuatnya mati gaya. Bukan
hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan sikapnya yang selama ini ia
kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
d.
Metonimia
-
Seperti
biasa aku membawa tas kuningku lalu mulai melangkahkan kaki
5.
Kalimat yang menjelaskan
peristiwa terjadi
-
Segera
aku berniat menunjukannya pada ibu, namun seketika niatku terurung tatkala
melihat ibu yang berulang kali mengusap keringat sembari menyiapkan jajanan
kecil yang selama ini dijadikan barang untuk menunjang hidup kami
-
Sepulang
sekolah segera ku mencari ibu,berniat meminta maaf karena telah merusak jajan
buatannya.
-
Sore
harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil
bekerjaku seharian ini.
6.
Konjungsi
a.
Konjungsi
Waktu
-
Sepulang
sekolah segera ku mencari ibu,berniat meminta maaf karena telah merusak jajan
buatannya
-
Sore
harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil
bekerjaku seharian ini.
-
Setelah
menyalami ibu, seperti biasa aku membawa tas kuningku lalu mulai melangkahkan
kaki.
-
Sesampainya
di Rumah Sakit segera aku cari atas nama adiku dan menuju ke ruang yang telah
diberi petunjuk resepsionis
b.
Konjungsi
Sebab
-
Demi
Allah aku melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku
c.
Konjungsi
Akibat
-
Hingga
tak terasa sudah berhari-hari aku melakoni pekerjaan ini
-
Namun
ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi
d.
Konjungsi
Pertentangan
-
Namun
ibu mengatakan jika yang membawa adik kesini ialah Dimas cs.
-
Namun
ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi
-
aku
tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang sebenarnya
salah memasuki tempat.
-
Namun
ini bukanlah kemauanku tapi berkat beasiswa yang aku terima.
7.
Kata Ulang
a.
Kata
ulang asli/utuh
-
Baru
tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat
Shinta demam tinggi
-
Namun
langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini
menggangguku tiba-tiba muncul
-
alat-alat
rumah tangga ala kadarnya yang tersisa
b.
Kata
ulang berimbuhan
-
Mulai
saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya
c.
Kata
ulang sebagian
-
memporak-porandakan
jajananku
-
Aku
memeluk ibu, mencoba tenang akan musibah yang bertubi-tubi ini.
-
Tapi
aku salah kalian malah makin menjadi-jadi.
-
Semenjak
itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak.
8.
Keterangan Waktu
-
“Sore
harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil
bekerjaku seharian ini. Tak lupa juga dengan mengenakan seragam putih abu-abu
yang aku kenakan saat aku pergi tadi pagi. Segera kudatangi ibu dan menyerahkan
uang hasil kerjaku.”
-
“Hari
ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan
ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang
akhir-akhir ini menggangguku tiba-tiba muncul, ya sekarang aku mengetahui
dialah Dimas cs. Ia menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak jajananku. Aku
memberontak namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi
meninggalkanku begitu saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Aku menangis
sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali melanjutkan
perjalanan ke sekoah.
-
“Hari
pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada
segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak
menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka.
Namun aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang
sebenarnya salah memasuki tempat. Tetapi aku masih bersyukur masih ada orang
yang berbaik hati membeli jajanan kecil buatan ibuku bahkan mau jadi temanku”