Tema : Kota Berbicara Tentang Kenangan.
Pernah
suatu waktu kamu merasa kamu tak lagi kian berharga? Merasa bahwa setiap helaan nafas yang perlahan keluar dari
hidungmu terasa kian menyesakkan? Atau bahkan , derap langkah kakimu terasa
menggantung beban yang begitu dahsyat? Tak apa, tak usah merasa sendiri. Karena
pada dasarnya, kita sama.
Seseorang
menepuk pundakku kala mataku masih tak bergeming pada objek yang sudah sedari
tadi aku tatap.
“Mitaaaaa!
Tau nggak si gue seneng banget besok orang tua gue kesini!!”
“Serius
demi apa?!duh gue nggak tau si harus sedih karena bakal ninggalin gue buat sama mereka atau
seneng karena gue ngga terus-terusan budeg denger tangisan homesick lu”
“Ih
jijik banget gue, lu suka sama gue dah Mit?”
“Kagaklah
bangke. Dah sekarang lu manfaatin bener-bener dah waktu sama orangtua nanti.
Karena
ngga semua orang bisa seberuntung lo”
Entahlah
kata perkata itu keluar dari mulut dengan tulus
“Iye
iye sayang, orangtua lu ngga kesini juga? Kan liburan tuh masa kerja mulu sih
orangtua lu?”
“engga.
Yaudah gih buru balik apartemen beres-beres sama saran gue sih lu kayak ngasih
kejutan kecil-kecilan buat orangtua lu gitu deh. Yaa setidaknya lu masak kek
atau bikin kue sederhana gitu”. Jawabku, seolah berusaha mengalihkan
perbincangan.
“Ye
berasa sama pacar aja masak bikin kue segala romantis amat”
“Jadi
menurut lu romantis Cuma bisa ke pacar? Pacar diatas orangtua dong berarti?
Hati-hati nanti nyesel tau rasa lho”
“Ih
mita iyaiya ahh lu serem amat dah sebel gua. Yaudah gua balik dulu ya. Lu jaga
diri dah bae-bae
nggada gue nggausah aneh-aneh, makan teratur, jangan kecapean
, gausah begadang pokoknya nggausah nglakuin yang ngga penting”
“Din,
jijik gue dah sumpah”
“wakakakak
bersyukur kek gue peduliin. Dah ah gue cabs dulu yak bye”
Seketika,
hanya sebuah anggukan yang mampu aku beri sebagai respon. Lagi-lagi, mataku
menatap kosong pada objek yang selalu sama, l a n g i t. Entah apa yang
membuatnya spesial hingga mampu membuatku nyaman tanpa kedip. Jutaan memori
terputar dengan sistematis. Dan aku, menjadi penikmat akan itu. Mata tak lagi mampu
membendung, bibir tak lagi kuat menahan. Hingga tanpa seizin siempunya, mereka berkolaborasi
dengan indah. Ya, membentuk sebuah tangis, seolah begitu peka akan adanya hati
yang kian teriris.
Akan
aku tegaskan sekali lagi, aku perempuan lemah. Bertahun-tahun menjadi seorang
perantau seringkali membuat aku penat akan semua hal. Bersahabat dengan lampau
adalah hal yang paling aku cinta. Terlarut dalam pedih telah kujadikan rekan
selama beberapa tahun ini. dan merindu adalah hal pokok yang telah aku lantik
sebagai hoby baru.
Aku
bukanlah sosok mandiri. Namun merupakan jiwa yang pandai berpura-pura mandiri. Ya,
setidaknya lebih tepatnya seperti itu.
**
Hari
silih berganti. Waktu berputar seakan tak mau diajak kompromi untuk diundur
atau bahkan sekedar memperlambat jalannya. Kepenatan tak lagi terhempaskan dari
dalam tubuh. Merasa dunia tak lagi berpihak padaku kian terasa. Coba tebak, apa
yang biasa aku lakukan ketika merasa demikian? Ya, mencari motivasi. Sayangnya,
aku bukanlah seorang gadis dengan kecantikan yang membahana, atau gadis dengan
polesan makeup yang membuatnya anggun, atau bahkan bukan pula gadis dengan segudang
prestasi, jadi tak akan mungkin jika motivasiku adalah seorang le-la-ki.
Aku
lantas menatap sebuah foto ukuran 10R yang sengaja aku pampang dalam kamar
kos-ku. Terpampang jelas raut bahagia dari 4 manusia yang telah membentuk
sebuah keluarga kecil nan harmonis. Foto
yang diambil kala aku masih bahagia-bahagia nya menjadi mahasiswa baru menjadi
saksi bisu akan segala kerinduan yang kian menggebu. Tak bisa ku elak, air
mengalir deras dari dalam mataku. Segera aku ketikkan beberapa nomer dari
ponsel, kudekatkan pada telingaku. Lagi-lagi hanya suara wanita yang tak ku
kenal yang kudengar. Segera kututup sambungan itu lantas kembali aku gerakan
jemari pada tombol-tombol yang lain.
”Ada
apa nak?”
“Mita
masih belum bisa adaptasi bu. Mita mau pulang”
“Lho,
namanya pejuang kok menyerah. Percayalah nak, ini Cuma batu kerikil , jalan
kamu untuk jadi sukses baru kamu pijaki. Yuk bersyukur. Yuk semangat. Banyak
yang pengin kayak kamu lho, masa kamu yang udah kesampaian jadi menyerah
begini?”
“Tapi
bu, Mita takut, disini beda sama Jogja bu..”
“Sekarang
ibu nanya, Mita punya Tuhan ngga?”
“Punya”
“Nah.
Kenapa harus takut sedangkan Mita punya Tuhan yang Maha Segalanya? Percayalah
sayang, akan ada kebanggaan tiada terkira setelah ini. Semangat yuk sayang, ibu
aja selalu semangat untuk cari uang buat Mita masa Mita gak semangat. Anak ibu
harus kuat ah. Ok?”
“Ok
ibu”
“Yaudah
setelah ini langsung sholat ya sayang minta perlindungan sama Allah jangan
lupa. Semangat sayang. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam
bu”
Aku
menutup ponsel dengan hati teriris. Linangan air mata tak lagi mampu
terbendung. Bibirku bergetar. Erangan demi erangan terlontar dari mulutku,
seolah mewakili akan adanya separuh jiwa yang telah menghilang. Tak lama, aku
segera bangkit. Menatap diri pada cermin usang yang sengaja dibawakan ibu dari
Jogja beberapa tahun silam. Senyum
kembali terukir pada bibirku, semangat-ku kembali terisi entah bagaimana.
Tidak, aku bukanlah pengidap Bipolar. Hanya saja, inilah aku , beginilah aku, dengan segudang cara unik untuk
mengatasi diri.
Baru
kusadari bahwa waktuku hanya tinggal menghitung bulan. Tidak, bukan waktu hidup
didunia, namun waktuku dengan gelar mahasiswa akan segera berakhir mengingat
ini merupakan tahun terakhirku sebelum mendapat gelar sarjana. Tak kusangka, waktu telah berlalu begitu
cepat. Tak kusangka, aku memiliki hati yang begitu kuat menahan beban dari
berbagai aspek, tak kusangka, otaku mampu bekerja dengan baik mengingat batin
acapkali tertekan akan kelam.
**
Tanganku
masih senantiasa menggenggam kertas yang paling diimpi-impikan bagi semua
mahasiswa tingkat akhir. Kertas bertuliskan undangan untuk orangtua atas
pencapaian gelar cumlade yang telah kuraih. Hatiku diterpa sebuah kedelimaan
batin. Sebuah kedelimaan yang amat menyiksa. Aku tidak tau haruskah aku senang
akan gelar ini, atau bahkan sedih karena itu bahkan tak akan berarti bagi
siapapun? Tak akan lantas membuat orangtuaku sekedar menelfon untuk memberiku
ucapan, dan.. Tak akan mampu mengubah sebuah kekelaman abadi dalam hidupku.
Hari
yang dinanti telah tiba—tidak.bukan aku yang menanti. Aku justru orang yang
paling tidak menginginkan hari ini—Semua orang telah nampak cantik dengan
kebaya anggun yang melekat pada tubuhnya, juga polesan makeup yang menempel
pada raut bahagianya, ditambah dengan dampingan orangtua yang semakin menambah
aura kebahagiaan pada mereka. Namun, tidak denganku. Aku hanya mampu merutuki
diri mengapa aku sedemikian menyedihkan. Menyandang seorang sarjana bergelar cumlaude
dan tanpa pendamping. Dina—sahabatku— , dia bahkan tidak bisa mendampingi aku
yang lulus lebih dulu darinya karena sedang diluar kota. Tak usah dibayangkan,
bahkan akupun tak sanggup jika diminta melihat sebuah rekaman semesta akan hari
ini.
Seseorang
menepuk pundaku, memintaku untuk memotret beberapa gambar dirinya dengan
keluarganya. Sial. Tak adakah satupun yang berpihak padaku sekali ini saja?
Atau bahkan tak usah berpihak, hanya sekedar diam dan tidak menambah bebanku
kali ini saja. Tidakkah mereka liat ada raut tak kuasa dalam diriku?. Dengan
senyum yang dengan susah payah aku perjuangkan untuk terlihat tulus, kuanggukan
kepala. Potret demi potret telah aku ambil. Matanya berbinar, seolah merasakan
kepuasan atas hasil potretanku yang tak lupa ia iringi dengan ucapan
terimakasih. ‘Sebuah keluarga bahagia tanpa celah’ itu pendeskripsianku untuk
mereka. Nyatanya, hatiku tak sepenuhnya sekuat baja. Benteng pertahanan ku
hancur lebur kala itu juga.
Saat
itu juga, tangisku meledak tak terkontrol. Segera saja ku ambil tas dengan
segala berkas penting kelulusan dan langsung menuju stasiun terdekat dengan
ojek pangkalan. Kutanyakan kereta pemberangkatan Jakarta-Jogja. Alhamdulillah,
kali ini nasib baik berada dipihakku. Orang-orang memandangku dengan tatapan
aneh. Wajar saja. Siapa yang tak menganggap aneh melihat seorang wanita dengan
balutan kebaya biru dipadu polesan makeup yang perlahan luntur karena isak
tangis? Iya. Semenyedihkan itu. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, bahkan
orangtuaku. Karena pada dasarnya, mereka memang tidak mampu untuk datang dihari
yang seharusnya menjadi bahagiaku. Dan
sebagai anak, bukankah harus bisa lebih mengerti?
Perjalanan
8 jam tak terasa olehku yang hanya mampu habiskan dengan sesuatu yang sama,
menatap kosong sang mentari dengan tangan yang masih setia menggenggam kertas
yang akan aku pamerkan nanti pada keluargaku. Kakiku kini telah berbijak ada
tanah yang sama seperti beberapa tahun lalu. Aku berterimakasih pada teknologi karena
dengan adanya fitur ojek online, tak lagi perlu capek bernegosiasi dengan para
angkutan umum yang lain yang hanya mampu memberi ongkos tertinggi.
Aku
telah sampai pada tujuan. Langkahku terhenti. Mataku, tak lagi mampu
mendeskripsikan tempat ini. Dihadapanku, terbentang rumah usang tiada
berpenghuni. Puluhan sarang laba-laba bergelantung pada setiap sisi rumah. Debu
pun menyelimuti setiap sisi hingga tak lagi dikenali sebagai sebuah rumah. Aku
injakan lebih jauh tempat ini. Tanpa perintah, jutaan memori terputar dengan
sistematis bagai film romantis yang beberapa waktu laluku tonton.
Kutatap
ruangan depan yang dahulu dijadikan ruang tamu. Kutatap penuh arti, terlihat
seorang anak kecil berlarian dengan seorang wanita paruh baya yang berusaha
menangkapnya untuk sekedar menyuapkan satu sendok nasi. Suara gelak tawa
memenuhi ruangan kala sang wanita paruh baya berhasil menangkap si gadis kecil.
Dan, itu aku. Belasan tahun lalu.
Kutelusuri
lebih lanjut pada ruangan yang aku kenal betul. Terlihat seorang pria dewasa
memarahi gadis remajanya yang meminta izin untuk pergi pada malam hari. Gadis
itu yang tak terima akan itu lantas
menggebrakan pintu kamarnya dan menangis dibalik selimut hingga tertidur. Saat
itu pula, terlihat seorang pria dewasa masuk dalam kamarnya dengan raut
penyesalan tiada terkira, lantas diam-diam mengecup putrinya yang sedang
terlelap itu. Dan lagi-lagi, itu aku. Beberapa tahun lalu.
Aku
melangkahkan kaki pada teras rumah. Disitu, terlihat jelas bagaimana sebuah
keluarga kecil berusaha melepas kepergian salah seorangnya untuk menuntut ilmu
di kota orang. Sebuah tangis kebahagiaan juga kesedihan menyelimutinya. Dari
matanya, terpancar jutaan kekhawatiran akan anak gadisnya. Kata-kata
penyemangat, berbagai nasihat dan berbagai pengharapan terlontar dari mulutnya.
Sang gadis yang kala itu telah mantap merantau pun kian melangkahkan kaki
meninggalkan keluarga dengan isak tangis. Berharap akan kembali beberapa tahun
kemudian dengan kabar gembira. Sekali lagi, itu aku. Tepat 3,5 tahun sebelum
hari ini.
Dan
lagi, itulah hari ini. hari yang begitu aku nanti beberapa tahun lalu untuk
memberi kabar gembira ini. Hati yang begitu teriris membawa kakiku pada suatu
tempat. Erangan demi erangan tergema dari mulutku. Aku sampai pada suatu tempat
dimana menjadi tempat yang palingku benci. Tempat yang dengan tega memisahkan
seorang gadis remaja dengan keluaraganya. Ya. Aku telah tiba pada pemakaman.
Tempat dimana selama ini mereka yang aku anggap acuh dan tak peduli denganku
tinggali. Tak ada apapun yang spesial. Tak lagi terlihat sebuah gundukan, hanya
ada papan bertuliskan nama Ayah, Ibu dan Adik kecilku yang sekarang serata dengan
tanah disekitarnya. Hari teramat cerah, namun hujan tak mampu elak dari mataku.
Aku menangis deras, merasakan erangan demi erangan yang kian mencekat dada. Melihat
namanya saja, langsung ku ingat betul bagaimana aku pernah hidup teramat
bahagia dalam limpahan kasih yang mereka berikan.
“Mah,
Pah, Dik, coba liat sekarang Mita bawa apa?”
“Bawa
ini pah, Mita sekarang sudah lulus”
“Bahkan
dengan predikat cumlaude”
“Kalian
pasti bangga kan ngeliat Mita nyatanya sanggup menyelesaikan kuliah 3,5 tahun?”
“Tapi
Mita nggak mah pah, wisuda tanpa adanya kalian tak lagi berarti”
“Mungkin
kalau kalian ngga minta Mita untuk sukses kala itu, Mita sudah mengisi disini
pah mah, disebelah kalian. Kita sudah kembali bersama.”
“Mah
Pah Dik, boleh ngga Mita memohon satu hal? Temui Mita sekarang mah, peluk Mita
mah, beri Mita selamat atas keberhasilan Mita hari ini, peluk Mita, Mita mohon.
Jadikan Jogja kembali menjadi saksi seperti beberapa tahun silam mah pah..”
Suaraku
bergetar, rasanya seperti ingin meminta malaikat maut untuk membawaku saat ini
juga agar bertemu dengan mereka. Seperkian detik kemudian, entah hanya
perasaanku saja atau memang demikian adanya, kurasakan kehangatan dalam
tubuhku. Seolah merasa dirangkul walau tak begitu terasa. Entah apapun itu, aku
harap itu mereka. Keluargaku. Dan dengan kesadaran yang lambat laun membaik,
aku mencoba bangkit. Dengan seutas senyum yang aku berikan pada mereka sebagai
ucapan terimakasih atas segalanya.
Aku
kembali menelusuri jalan-jalan kota kelahiranku. Mengingat kembali bagaimana
aku pernah menjadi sosok yang menyenangkan sebelum semenyedihkan ini. Tak ada
rasa yang lain yang kurasa selain merasa kesakitan yang teramat dalam rongga
dadaku. Hingga pada akhirnya, aku memiliki sebuah tekad. Tekad untuk mencoba
kehidupan baru, mencoba merajut segala asa yang kian terbengkalai selama ini.
Ditengah langkah kakiku, aku menekan tombol ‘record’ lalu kudengarkan rekaman
favoritku.
“Ada
apa nak?”
“Mita
masih belum bisa adaptasi bu. Mita mau pulang”
“Lho,
namanya pejuang kok menyerah. Percayalah nak, ini Cuma batu kerikil , jalan
kamu untuk jadi sukses baru kamu pijaki. Yuk bersyukur. Yuk semangat. Banyak
yang pengin kayak kamu lho, masa kamu yang udah kesampaian jadi menyerah
begini?”
“Tapi
bu, Mita takut, disini beda sama Jogja bu..”
“Sekarang
ibu nanya, Mita punya Tuhan ngga?”
“Punya”
“Nah.
Kenapa harus takut sedangkan Mita punya Tuhan yang Maha Segalanya? Percayalah
sayang, akan ada kebanggaan tiada terkira setelah ini. Semangat yuk sayang, ibu
aja selalu semangat untuk cari uang buat Mita masa Mita gak semangat. Anak ibu
harus kuat ah. Ok?”
“Ok
ibu”
“Yaudah
setelah ini langsung sholat ya sayang minta perlindungan sama Allah jangan
lupa. Semangat sayang. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam
bu”
Masih
ingatkah percakapan itu ? Ya. Itu tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah
rekaman. Masih ingat kala aku menyebutkan hanya suara wanita yang selalu
mengangkat ketika aku menelfon orangtua? Ya. Itu hanyalah suara operator dengan
perkataan andalanya, yang menyebutkan tanda nomer tak lagi aktif. Bagaimana mungkin
nomer orangtuaku masih aktif jika hp-nya pun tak lagi ada? Itulah mengapa
orangtuaku tak pernah menanyakan perihal kabar tentangku. Itulah mengapa mereka
tidaklah hadir dalam acara wisudaku. Itulah.. dan perihal percakapan diatas,
itu hanyalah sebuah percakapan lama yang sempat aku rekam. Sebuah
kenang-kenangan terakhir dari Ibuku sebelum kecelakaan pesawat menimpa mereka kala
ingin menjenguk anak gadisnya yang mengharuskan mereka meninggalkan anak
sulungnya . Tak pernah sekalipun aku mengakui kematiannya, yang aku tau, mereka
selalu hidup. Setidaknya, hidup dalam rulung hati yang tiada duanya.
**
Dan..disinilah
aku sekarang berada. Disebuah kota klasik impian banyak orang. Sebuah kota dengan
sejuta kenangan. Seutas senyum terukir kala aku menatap pantulan diriku didepan
cermin. Menatap diri yang nampak terlihat ceria. Ya. Kali ini aku mencoba
mengubah hidup, mengubah pribadi menjadi lebih positif , mencoba membangkitkan
aura ceria ku yang telah lama tertimbun kelam. Terimakasih Jogja telah menjadi
saksi bisu sebuah kebahagiaan tiada terkira. Terimakasih Jogja, telah menjadi
bak penampung sejuta kenangan dari seorang gadis yang kini tak lagi semenyedihkan
itu. Dan.. Selamat Pagi Jogja, Mita-mu yang ceria kini telah bangkit.