Minggu, 14 Oktober 2018

Aku, Dia dan Cinta.

Sabtu lalu, aku mendapat suatu hal baru kala aku mengikuti kegiatan agenda pekanan. Bahasan kala itu adalah cinta.

Agenda dimulai dengan dilontarkanya pertanyaan perihal ‘bagaimana si ciri orang yang lagi jatuh cinta?’
Tentu beberapa dari kami membuka suara, beberapa jawaban dari kami ; selalu memikirkan, Ingin selalu dekat, dsb.

Tentu saja hal2 yg disebutkan tadi adalah ciri mencinta dengan manusia yg mungkin sj berasal dari pengalaman, buku yang pernah kita baca atau film yang pernah kita tonton. Ternyata, yang dimaksudkan oleh pengisi materi adalah ciri mencinta sama Allah. Wah hampir malu kami.

Tapi, ternyata mencinta Allah ataupun makhluknya ngga ada bedanya lho. Yuk cek biar lebih tau!

Ciri-ciri mencintai Allah itu:
  1. Mengingat
Ketika kita mencintai oranglain, kita akan selalu memikirkan dan selalu mengingatnya, kadang bisa scroll history chat sambil senyum atau bahkan tbtb senyum aja karena mikriin. Hm sehat gatuh?kwkw nah begitu juga nih kalau kita mencintai Allah,  kalau kita cinta sama Allah pasti akan selalu ingat setiap waktu, entah kala kita sedih atau bahkan seneng sekalipun.  
Nah bentuk dari mengingt Allah itu bisa dalam bentuk dzikir atau tilawah nih temen2. Hayoo udah sering ingat Allah belum?

  1. Kagum
Coba ingat2 lagi atau coba lihat sekeliling kita yang lagi jatuh cinta. Pasti punya perasaan kagum pada seseorang yang ‘katanya’ dicintainya. Bisa kagum dengan kepintaranya, cara bicaranya atau apapun deh! Nah begitu juga dengan mencintai Allah, kita tentu akan kagum. Terlebih kalau sadar bahwa segala hal yang ada dibumi adalah tercipta atas kehendak Allah. Tuh Allah Maha Besar banget kan? Pantes dong bayak yang kagum!

  1. Ridho
Pernah denger dong pasti seseorang bilang ‘yaudahlah aku ridho dia sama yang lain asal bahagia’ kala orang yng dicintainya ternyata bertepuk sebelah tangn?haha menyedihkan si tapi ya emang gitu kebanyakan orang yang lagi jatuh cinta, mendadak ridhoooo aja. Nah terus kalau mencinta Allah gimana tuh? Ridho sama Allah adalah ketika kita menerima apapun yang terjadi dengan keyakinan bahwa hal tersebut adalah yang terbaik bagi Allah. Kalau kata Mbak Lola sih, kalau kita sudah Ridho sama Allah akan bisa menikmati manisnya iman. Wah luar biasa ya!!

  1. Pengorbanan
Ah point ini rasanya gaperlu aku perjelas lagi deh. Pasti pembaca semua tau bagaimana pengorbanan ala-ala yang dilakukan oleh muda-mudi yang lagi jatuh cinta. Beberapa lampau lalu aku bahkan menemukan sebuah komentar di salah satu media sosial yang aku asumsikan mereka sedang bertengkar (hm) begini bunyinya “saya akan mengorbankan apapun untukmu, bahkan melepas agama saya bila kamu mau” tentu saja dahiku berkernyit. Rasa-rasanya, pengorbanan dan bodoh terlihat beda tipis kalau tidak tau konteksnya. Kalau kita cinta sama Allah, pasti kita akan melakukan pengorbanan-pengorbanan. Tak perlu berkorban sebesar dan seluar biasa Nabi dan Para Sahabatnya, sekedar meninggalkan kerjaan yang amat menumpuk untuk sholat tepat waktu, atau memasang puluhan alarm dan mengurangi waktu tidur untuk qiyamul lail juga bagian dari pengorbanan kecil yang bisa kita lakukan kok!:p

  1. Takut
Muda-mudi yang lagi terbuai oleh cinta, segala perilakunya pasti dijaga banget. Takut dia yang dicintainya ilfeel. Takut dia ngga suka atau takut nanti diputusin! Haha. Nah lho baru juga diputusin manusia, kalau diputusin Allah gimana tu? Naudzubillah. Nah kalau mencinta manusia aja sampai takut diputusin, begitupun dengan mencinta Allah. Serius deh! Kala kita mencinta Allah pasti jrasa takut2 itu akan muncul; takut Allah marah, takut siksa api neraka, atau takut-takut yang lain. Nah berkaitan dengan poin ini, beberapa dari kami mempertanyakan “bagaimana apabila kita beribadah atas dasar takut atas siksa Allah?” Jawabanya, nggapapa! Itu artinya kita sedang mencinta Allah, itu artinya masih ada iman dihati! Hehe. 
Tambahan dari Mbak Lola, takut itu juga harus didasari karena Ilmu, sehingga takut menjadi sebuah penghormatan dan pengagungan kita kepada Allah.

  1. Ar-Raja
Artinya, penuh harap. Hm bener juga sih kalau lagi jatuh cinta sama manusia, bawaanya berharap apapun sama dia, berharap dia peka tanpa kita ungkapin. hm hadeu. Padahal ada lho yang Maha Peka, yang mengetahui segala isi hati. Nah makanya, orang-orang yang mencinta Allah pasti sadar akan hal itu dan senantiasa menengadahkan tangan, berharap segala sesuatu hanya kepada Nya. 

  1. Taat
Poin terakhir adalah taat. Kalau dilihat-lihat, emang iyasih kalau lagi jatuh cinta bawaanya segala yang diminta di iyain aja, mendadak jadi patuh, jadi taat. Bahkan beberapa lebih taat sama pujaan hati daripada orangtua:( (naudzubillah). Kalau bentuk taat sama Allah adalah ketika sudah secara sadar mematuhi segala perintah dan menjauhi larangan2Nya tanpa paksaan. Nah disini yng ditekankan, bedakan taat karena terpaksa dan taat karena rasa yaa teman2! Karena perbedaannya sangat signifikan

Nah alhamdulillah pembahasan menenai ‘cinta’ yang tidak biasa ini telah selesai. Yey. Semoga bisa senantiasa menjadi bahan refleksi untuk aku, kamu atau siapapun yang membaca yaaa!🙆🏻‍♀️


Rabu, 22 Agustus 2018

Telisik

"Kamu,  menyukainya ya?"
Tanyaku menelisik .

....

"Iya,  kenapa?"
Katanya , setelah diam seperkian detik .

Mataku terbelalak . Jelas saja.

"Tak apa , caramu menatapnya sama seperti aku menatapnya"

"Jadi , kamu juga menyukainya? "

Kubalas dengan seutas senyum . Sedang kamu,  berganti terbelalak. 

Rabu, 11 Juli 2018

Itu, aku.


Aku adalah wanita yang selalu mencintamu tanpa jeda
Wanita yang akan terus menguatkan diri untuk terus bertahan
Dan tak akan berhenti menengadahkan tangan untuk kebaikanmu

Aku adalah  wanita yang tak akan meninggalkanmu
bahkan kala kamu merasa dunia tak lagi berpihak dan kamu tak lagi berarti

Aku, wanita yang tak akan meninggalkan kamu
bahkan ketika lisanmu menhujamku secara perlahan
Namun begitu, aku senantiasa menjaga lisan karena begitu takut membuat kamu teriris walau hanya seperkian detik

Aku juga tidak akan meninggalkanmu
Bahkan ketika kamu tak lagi memprioritaskan aku karena rupa-rupanya, kesibukanmu berhasil membawa lari kamu dari ku

Aku tak akan meninggalkanmu
Bahkan ketika ratusan orang berlomba megungkap keburukan kamu didepanku
Dan aku, cukup saja kuletakkan kedua tanganku pada telinga.

Lagi lagi aku tegaskan
Aku adalah wanita yang tak akan meninggalkanmu
Bahkan ketika jarak membentang yang lantas membuat rindu semakin mencuah

Namun
Aku akan meninggalkan kamu
Ketika kamu tidak bersyukur memiliki aku

Senin, 02 Juli 2018

kamu telah menang, setidaknya atas egomu.


Akan ada suatu waktu dimana realita tak lagi berpihak
Pun kala usaha terbaikmu tak mampu membeli segala ekspektasi
Tak apa, tak perlu risau ataupun galau
Berkacalah!
Setidaknya kamu telah lebih hebat dari ego atas dirimu untuk berontak dari zona nyaman
Pun juga telah menang dari tekanan atas segala akibat yang bertolak belakang dengan ekspektasi

Ya, mungkin kamu telah dengan sadar dinyatakan kalah
Namun percayalah, senyummu akan terukir
Berbangga atas diri sendiri
Akan hal yang telah kamu petik dalam proses pembelajaran menjadi dewasa

Ya, kamu memang telah kalah
Namun kamu pun telah menang, atas egomu
dan kamu,
bahagia.

teruntuk siapapun, para pejuang ulung.


Kutahu lelahmu telah nyaris membuatmu lebur
Tidurmu tak lagi teratur
Seolah diri merasa terbentur
Melihat kawan hidup dengan makmur
Sedang engkau merasa hidup tak lagi mujur

Kau tahu kawan?
Dibalik takdir yang kau olok-olok kehadirannya
Terdapat kado indah tiada tara
Tak perlu risau ataupun gundah
Kau hanya perlu berserah
Bayangkan senyum orangtua merekah
Melihat kegigihanmu peroleh berkah

Ah kawan
Percayalah, aku tengah menengadah dengan indah
Mengucap kata penuh harap
Akan segala hasil terbaik dari si Penguasa

Kawan,
semoga,
lelahmu menjadi lillah.

Depok, 8 Mei 2018


Promise me?


Bola mataku menatap lekat mata indahnya. Menantikan kata demi kata yang akan ia lontarkan padaku. Bibirnya kelu, tak satu patahpun terlontar dari sana. Namun matanya, seolah berbicara hingga beratus kata.

Aku masih menunggu. Namun ia masih tak bergeming. matanya masih tak pergi dari jangkauan mataku. Kami berjarak, namun mata kita seolah memeluk erat.

Lantas kubuka suara; seraya tetap tak bergeming dari matanya.

"jangan pergi ya?"

"iya"

"janji?"

"iya"

"kamu nggabisa janji?"

"perihal janji, itu sangat mudah. aku bisa janji, tapi Tuhan punya kehendak. aku takut kehendak Tuhan berbeda dengan kehendaku, yang justru mengecewakan kamu. aku ga bisa janji, tapi untuk buktii, aku sangat bisa"

perlahan, ujung-ujung bibirku tertarik. terpancar untaian senyum manis disana. Tidak, aku tidak lantas memeluknya. Aku menunduk. mencoba menutup rona merah dipipi seraya berdoa pada Tuhan untuk terus menjaganya untukku.

cintaku, seistimewa itu.

Ibu Pertiwi, maukah kau kembali tersenyum?


-ditulis sebagai luapan atas insiden bom Surabaya-

Ibu Pertiwi
Kami tak sanggup membayangkan menjadi dirimu
Lelahmu menjaga juga menaungi kami seakan tak lagi bernilai
Maafkan bangsa kami, ibu pertiwi
Yang telah membombardir wajah cantikmu
Merusak seluruh tatanan bajumu
Bahkan seakan memperkosamu dengan paksa

Ibu Pertiwi,
Ku tahu betul telah menjadi makanan bagimu bangsa kami
Merontokan perlahan rambut indahmu
Kobaran asap yang perlahan merusak paru-parumu
Bahkan luapan caci seakan telah menjadikanmu pening tiada kira
Segalanya itu telah kau tahan demi rantai yang selalu kau genggam erat keberadaanya
Rantai yang kau jadikan alasan untukmu bertahan
Katamu, rantai persatuan namanya

Ibu Pertiwi,
Dengan deru kami ucapkan maaf
Karena hari ini, penyiksaan bagian dari bangsa kami terhadapmu kian menjadi
Maaf dengan beribu maaf
Rantai persatuan yang telah kau genggam erat itu
Yang telah kau jadikan alasan untuk bertahan itu
Telah sanggup dengan paksa bangsa kami renggut dari mu

Ibu Pertiwi,
Hari ini, wajahmu tak lagi kian berbentuk
Tanganmu bergetar, kutahu betul dirimu telag tak memiliki penopang untukmu bertahan
Karena satu-satunya alasan untukmu bertahan, telah bangsa kami porak-porandakan
Iya, tiap keeping rantai telah terhempas jauh entah kemana
Sedang mata rabunmu itu, tak lagi sanggup untuk menatanya kembali

Ibu Pertiwi,
Bolehkah kami meminta satu harap?
Tolong kuatkan diri untukmu bertahan
Kutahu betul lelahmu tiada terkira
Amarahmu bahkan telah kian memuncak
Namun, bolehkah aku memberi penjelasan?
Maafkan kawan kami yang telah dengan sengaja merusakmu itu
Percayalah, mereka mencintaimu, sama seperti kami
Hanya saja, dangkalnya otak telah membuat mereka dengan berani merusakmu dengan dalih kebaikan
Padahal, kebaikan macam apa?
Namun begitulah bangsa kami, kutahu betul dirimu pasti lebih paham dengan bangsa kami

Ibu Pertiwi,
Kami pun marah, sama sepertimu
Namun bagaimanapun mereka bagian dari kami
Pun bagian dari rantai yang selama ini dijaga erat olehmu
Doakan bangsa kami ditengah umur tuamu itu
Kutahu betul ada banyak dari bangsa kami yang dengan brengsek mencoba memperkosamu
Namun percayalah, ada lebih banyak pula dari bangsa kami yang merindukan wajah jelitamu

Ibu Pertiwi,
Maukah dirimu kembali tersenyum?

-
Depok
13 Mei 2018

Selasa, 17 April 2018

Kisah 45 Detik

Malam ini, otak saya tiba-tiba memutarkan sebuah kisah inspiratif 2014/2015 lalu. Sebuah kisah yang saya dapatkan saat masih duduk dibangku putih abu-abu dulu.
            Saya tidak ingat pasti kapan kejadian pastinya, namun saya ingat betul bagaimana kejadian itu dapat memberikan dampak positif bagi saya.  Hari itu, saya telah melakukan hal baik dan buruk  sebagai siswa dalam waktu bersamaan. Sebagai siswa yang baik, saya tetap berangkat sekolah setelah berhasil mengalahkan kemageran yang luar biasa. Sebagai siswa yang buruk, saya berangkat jam 07.00 dari rumah dan jam 07.15 masih dijalan, menunggu lampu merah berhenti memancarkan cahaya.

Dan, disela-sela kejenuhanku menunggu lampu merahlah kejadian itu bermula. Saat itu, saya menghentikan motor sesaat setelah lampu merah menyala. Tanpa disengaja, motor saya berhenti tepat dibelakang seorang ibu bersepeda dan memboncengkan ketiga anaknya dalam keadaan (maaf) lusuh. Bagi yang bingung bagaimana cara boncengnya, jadi satu anak di depan (dibuat semacam dari kayu gitu), yang dua dibelakang. Ketiga anaknya masih berseragam putih-merah yang mungkin bagi beberapa orang akan mengatakan bahwa seragam yang dikenakan bukanlah putih-merah, melainkan (maaf) kuning-merah. Saya asumsikan, jarak mereka mungkin hanya terpaut 1-2 tahun mengingat besar tubuh mereka tak jauh berbeda.

Semua berjalan biasa saja sampai salah satu anak membuka suara  (percakapan dilakukan dengan menggunakan bahasa tegal, agar lebih mudah dipahami maka akan saya tampilkan hasil translate nya saja)
“Mah kok berhenti?”
“Soalnya lampu merah, sayang. Liat tuh , ada 3 warna, kalau merah artinya berhenti, kuning artinya hati2 kalau hijau baru kita jalan”

Percakapan kemudian terhenti. Lebih tepatnya, saya tidak mendengarkan lagi karena beberapa motor dibelakang saya sudah membunyikan klakson secara lantang dan bergantian. Ok, mari saya jelaskan, jadi posisi pemberhentian dilampu merah adalah si Ibu ini paling depan, paling dekat dengan zebra cross dan mengambil jalur kiri kemudian disusul saya dibelakangnya. Para pengemudi motor dibelakang saya tak henti membunyikan klakson, mencoba membuat kode agar saya (pengemudi motor paling depan) segera menyalip pengemudi sepeda paling depan agar menjadi pelopor menerobos lampu merah. Tidak munafik, biasanya saya juga melakukan itu, menerobos lampu merah dengan dalih ‘belok kiri jalan terus’ padahal jelas ditemukan plang ‘belok kiri mengikuti isyarat lampu lalu lintas’. Namun untuk kala itu, apa yang ada di depan saya lebih jauh menarik dibanding menerobos lampu kembali.
“Sekolah masih bisa masuk kalau telat. Kalaupun gak bisa, masih ada hari esok. Tapi buat ketemu momen ini, mungkin Cuma sekali hari ini”  Fikir saya kala itu yang memang benar terbukti, mengingat sampai sekarang saya tidak lagi dipertemukan dengan beliau.

Ok karena saya tidak ingin menerobos, maka saya hanya menggeser motor saya agak miring kedepan, mencoba memberi ruang dan kode bagi pengendara dibelakang saya untuk berjalan mendahului saya. Saya mendongakan kepala mencoba melihat detik pada lampu lalu lintas. Terpampang 45 detik disana. Ok, ini tak akan lama, fikir saya. Dan, dari sini, ternnyata jarak antara saya dengan ibu ini semakin dekat. Percakapan kembali terdengar, kali ini berasal dari mulut buah hati yang diboncengnya di belakang.
“Katanya merah tanda berhenti, kok om itu jalan mah?” Protes salah satu anaknya ketika melihat pengemudi motor dibelakang saya itu menerobos lampu mersh.
“Mungkin om itu lagi buru-buru, ada keperluan yang gabisa ditunda makanya terpaksa ngelanggar aturan”
DEGG. Entah kenapa hati saya terkagum untuk pertama kalinya. Bagaimana tidak, bahkan Ibu ini bisa menjelaskan kepada anaknya dengan sudut pandang positif.

Percakapan masih berlanjut.
“Berarti kalau lagi buru-buru ngelanggar gapapa ya mah?”
“Ya bukan begitu, selama masih bisa kita taati ya taati.. Itulah gunanya sekolah , selain biar pinter, biar ngerti aturan juga dan bisa ngewujudin cita-cita. Kalian juga pasti punya cita-cita kan”
“Punya dong. Aku kan mau jadi dokter mah”
“ Aku juga pengin jadi itu (salah satu anak menunjuk gambar polwan dalam banner yang terpampang dipinggir jalan)”
“Kalo aku mau jadi guru ngaji” kata anaknya yang lain.
“Aaminn. Nah makanya kalo pengin jadi itu semua harus pinter. Harus sekolah yang bener. Nurut sama ibu guru ya. Harus semangat. Mamah aja semangat nganter jemput kalian tiap hari”
“ok siap mah makasih mamah” Kata anak yang dibonceng paling belakang, saya asumsikan dialah yang tertua karena memiliki ukuran badan yang lebih besar dari dua yang lain.
“Iya, udah tugas mamah. Kalian terlahir miskin itu salah mamah. Karena dulu gak pernah peduli sama pendidikan. Tapi mamah ga bakal membiarkan kalian punya nasib yang sama kayak mamah. Mamah mungkin bodoh. Gak tau apa-apa, tapi bukan berarti kalian harus bodoh kayak mamah. Kalian harus pinter dan berhasil ya”
Ucap ibu itu, seraya mengecup kening anak yang dibonceng di depan lantas menggenggam erat tangan anak yang lain dibelakang.

Tak ada respon apapun dari ketiga anaknya, mungkin mereka belum begitu paham akan apa yang diucapkan oleh ibunya itu. Namun siapa sangka, ucapan ibu itu memang tidak mendapat respon apapun dari anaknya. Namun itu, telah membuat sosok pengemudi motor didekatnya menangis deras entah sejak kapan.
Ya, saya telah dibuat menangis oleh seseorang yang bahkan tidak saya kenal.
Bersamaan dengan itu, lampu telah berganti warna. Saya melajukan motor dengan kecepatan lebih mengingat betapa masih beruntungnya saya masih dapat merasan bangku sekolah dengan berbagai fasilitas. Ya saya dibuat bersyukur karenanya.
Keberuntunganmasih berpihak pada saya, guru pengajar mata pelajaran dikabarkan tidak masuk membuat kesalahan pada diri saya setidaknya berkurang, walau hanya 5%.
Hehe.

Tidak terasa, saya merasakan kejadian hebat hari itu
Yakni 45 detik yang lebih berharga dari biasanya.

Sajak Kepemimpinan

Karya Hasri Imroatul Izza
 

Kepemimpinan tak lebih dari sebuah seni tingkat tinggi
Ia tumbuh dalam jiwa seorang ahli
Yang bersedia mengabdikan diri
Pada hal yang bahkan tak lebih dari menyita energi

Siapapun mungkin mengaku pandai menjadi pimpinan
Namun apalah pemimpin tanpa iman
Yang ada hanya sebuah teori tanpa tujuan
Yang siap menerkam juga membinasakan

Siapapun mungkin pandai menjadi nomer Satu
Namun pemimpin bukan hanya mengenai itu
Ia tahu bagaimana menjadikan utuh
Juga mengetahui kiat-kiat ampuh
Hingga tak dikenal kembali kata rapuh

Ah, pemimpin bukan pula mereka yang pandai bicara
Berkoar kesana kemari tanpa arah
Dengan tanpa henti menggelegarkan suara
Lantas lupa tujuan dan justru mencipta amarah

Namun pemimpin hebat ialah pemimpin inovatif
Yang menggerakan berbagai hal positif
Pun menuntut anggota turut aktif
Hingga tercipta sebuah kesatuan yang kolaboratif.