Senin, 23 Desember 2013

Cerpen :Don't Be Let Go!!



                                                DON’T BE LET GO !!
                              karya Hasri Imroatul Izza
                                  maaf kalo jelek :D
                                   

Aku terdiam dibalik jendela kelas. Memandangi tetesan air yang jatuh dari langit, tanpa memperhatikan sepatah kata pun yang diterangkan bu guru didepan.  Yaap! Hari ini sedang hujan. Daann..aku suka air hujan. Rasanya terasa sangat nyaman jika memandangi rintikan air yang jatuh silih berganti.
Ah sebenarnya bukan itu alasanku menyukai air hujan. Akan tetapi~ kejadian itu yang membuatku menyukai hujan. iya kejadian itu.kejadian dimana saat itu awal aku mengenalnya dan......jatuh cinta kepadanya.
 Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Kejadian yang menurutku lucu tetapi juga..mengesankan.
Namun sayang senyumku lenyap begitu saja setelah sahabatku Diana memberitahuku bahwa si guru daritadi memperhatikaanku . okeyy~ kita lupakan sejenak kejadian itu.


***
Aku Adinda Anatasya, biasa disapa ‘dinda’ . sekarang duduk dikelas 2SMA di SMAN favorit di Bandung. Aku mempunyi sahabat. Dianaa namanya. Aku telah bersahabat dengannya sejak awal memasuki SMA ini. Namun, tak jarang orang-orang menganggap kita berdua telah bersahabatan sejak kecil. Bahkan tak jararang ada beberapa orang yang menganggap kita anak kembarkembar. Mungkin karna kita memang sama sama memilik hidung yang berlebih alias mancung. Juga penampilan kita yang samasama mengenakan hijab.

Bel istirahat telah berbunyi. Semua anak berbondong-bondong menuju kantin. Mencoba membeli sesuatu yang setidaknya bisa mengganjal perut mereka yang telah keruyukan. Bahkan ada pula yang menuju kantin hanya karna ingin menghilangkan penat akibat telah beberapa jam mengikuti pelajaran yang begitu membosankan.
Lain dengan mereka, aku lebih memilih menghabiskan waktu istirahatku didalam kelas ini. 
Tepatnya bangku ini. Bangku yang berada tepat disamping jendela. Jendela yang langsung menghubungkan dengan  lapangan belakang sana. Aku suka tempat ini. Tempat dimana aku bisa dapat dengan bebas menikmati indahnya langit beserta awan-awan putih yang memperindahnya. Juga tempat dimana aku dapat dengan bebas memandangi orang disebrang sana. Orang yang saat ini sedang berada ditengah lapangan. Memainkan  sebuah bola basket dengan piawai. 

“ngeliatin apaan sih?’’ Ucap orang yang sekarang berada disebelahku.

“ngeliatin langit” jawabku. 

“ngeliatin langit atau orang yang berada ditengah lapangan?” tebak orang tersebut yang sangat tepat sasaran.  Aku terdiam. .

“jadi pengagum rahasia mulu. Ngga cape?” ucap orang ini yang tak lain diana. Aku kaget. Aku tau diana, diana adalah typecal orang yang tak begitu mengurusi kehidupan orang lain, ia selama ini selalu mendukungku dalam setiap apapun yang kulakukan. Termasuk sekarang, menunggu seseorang yang tak pernah peduli~ namun kenapa skrg ia berkata seperti ini?

“engga” jawabku tanpa memalingkan mata dari jendela.

“mau sampai kaya gini? Aku tau kamu , tau apa yang kamu rasain. Aku tau selama ini aku memang selalu mendukung apapun yang akan kamu lakukan. Namun untuk sekarang, ini sudah terlalu lama menurutku dinda. . aku tak tega jika harus melihat kau terus terusan seperti ini. Melihat kamu terus-terusan memperdulikan orang yang tak peduli denganmu. Melihatmu terus-terusan mengagumi tanpa digagumi balik. Buka matamu din, lupakan dia” 

Pengakuan panjang lebar diana ini mampu membuat darahku seakan berhenti mengalir. Aku tak menyangka Diana akan berkata seperti itu. Aku tau ia berkata seperti karna memang tak ingin melihatku sperti ini. Aku tau Diana melakukan ini karna memang ia begitu peduli denganku. Namun apa boleh buat, ini prinsipku. Ini kemauanku. 

“aku nggabisa” 

“kenapa?sebelumnya aku minta maaf karna telah lancang berkata seperti itu”

“tak ada yang perlu dimaafin na, itu bukan salahmu. Kau benar. Aku memang bodoh. Rela menghabiskan waktu dua tahun hanya untuk mengagumi seseorang yang tak pernah peduli denganku. Namun untuk melupakannya? Aku ngga bisa na, itu terlalu sulit. Aku lebih memilih bodoh daripada harus melupakanya.”

“buka matamu na, banyak sekali orang diluar sana yang menyayangimu. Cobalah buka sedikit hatimu untuk mereka”

“aku nggabisa. Yang dapat mengisi ruang dalan hatiku hanyalah dia na”
 
“apa sih yang kamu lihat dari seorang Rafi hingga kau begitu menyukainya?” Tanya Diana penasaran. Aku terdiam untuk beberapa saat. Kembali memandangi pemandangan diluar jendela. Memandangi betapa sempurnanya dia –Yang tak lain Rafi– dimataku.

semua yang tak kamu lihat:)” Diana memeluk erat tubuhku. Ia tak bisa melakukan apa apa kali ini. “aku selalu berdoa demi kebahagianmu dinda”


***
Matahari telah terbenam yang berarti menandakan bahwa sang mentari telahselesai  menjalankan tugasnya. Sekarang giliran sang bintang dan rembulan lah yang akan bertugas menyinari, menerangi dan memperindah alam semesta ini. 
Aku membolak balikan ponselku sedari tadi. Menekankan beberapa angka dan sesekali menekankan tombol ‘call’ lalu mematikannya kembali  . aku melakukan itu berulanag kali -Bingung- apa yang akan aku katakan jika telah terhubung dengan nomor tadi? Bertanya ‘kau sedang apa?’  ‘kau sudah makan?’ atau bahkan ‘kau sudah mengerjakan  tugas hari ini?’ ah tidak. Itu pertanyaan yang teramat bodoh menurutku. Aku memandangi nomor tadi i, lalu kuatur nafasku sejenak dan mulai menekankan tombol ‘call’ kembali. Namun kali ini aku bertekad untuk tidak mematikannya lagi.
Lagu Heal The World- Mickael Jacson mengalun . menandakan bahwa aku telah terhubung dengannya. Aku menikmati lagi yang mengalun ini. Tak lama, alunan lagu ini tak terdengar lagi. Terdengar suara berat dari seberang sana. Ia menanyakan siapa aku. Aku menjawabnya dengan suara gugupku. Masih tak menyangka bahwa aku menelfonnya.
Mataku melebar. Tak menyangka bahwa Rafi –Orang yang saat ini sedang aku telfon– mengenalnya. Bahkan masih mengingat kejadian itu. Kejadian beberapa tahun silam yang menjadi awal perkenalanku dengan dirinya.

#FlashbackOn#

Aku duduk sendirian memandangi deras air hujan yang mengguyur kota bandung ini. Aku memandangi tetes demi tetes air . aku suka hujan . bagiku, hujan adalah tetesan air yang jatuh bergantian . memperindah bentangan langit dan menenangkan jiwa.  Aku menengok ke arah jam tangan pemberian ibu. Jam 16.00. yang berati sudah 2 jam yang lalu bel pulang dibunyikan. Dan artinya, telah 2 jam pula aku duduk disini hanya demi untuk menikmati indahnya hujan~. Aku senang~ aku menikmatinya. Sungguh menikmatinya..
“Kok belum pulang?” tanya seorang pria yang tiba tiba berada di sampingku”. Aku melirik sejenak kearah pria itu. Dari sseragam yang ia kenakan, ia satu sekolah dengan ku. Namun, aku tak pernah melihat pria ini –Pria Cool– ini disekolah. 

“Lagi menikmati hujan” jawabku apa adanya
“menikmati hujan?”

“iya, aku suka hujan. bukankah kau juga begitu?”

“tidak. Aku ngga pernah suka hujan. bahkan aku membencinya:” ujarnya. Aku kaget .aku menatapnya sejenak~ benci hujan? bagaimana bisa ia membenci anugerah Tuhan yang begitu membuat nyaman ini? 

“kenapa? Bukankah hujan itu mengasikan?” tanyaku penasaran “mengasikan?cish. bagiku, hujan hanyalah penghalang bagi manusia. Jalan jadi becek, sungai jadi menguap dan.. seperti sekarang ini. Aku tak bisa pulang kerumah hanya karna hujan”

“hanya begitukah alasanmu? Kamu salah dalam mengartikan hujan. Lihatlah tetesan tetesan air itu, mereka berjatuhan bergantian sesuai tempo. Mereka jatuh silih berganti membasahi apapun yang ada dibawahnya, menciptakan suara yang begitu unik. Bukankah itu membuat nyaman? Ayo hujan-hujanan bareng aku. Aku akan buktikan bahwa hujan tak seburuk apa yang kamu pikirkan” aku menarik cepat lengan pria ini. Pria ini pasrah saja. Ia tak punya waktu untuk berontak karna aku langsung menariknya begitu saja

“tak usah memikirkan kamu akan sakit setelah ini . buatlah kamu nyaman dalam keadaan ini.  Rasakan setiap tetesan yang membasahimu. Percayalah~ ini sangat menyenangkan “ perintahku pada pria disampingku. Perlahan, kulihat dia sesekali memejamkan matanya. Mencoba menuruti apa yang aku perintahkan tadi, mencoba menikmati keadaan ini.

“kau benar! Ini sangat menyenangkan !” teriak pria disampingku ini. Aku hanya tersenyum mendengarnya. 

“oh iya kita belum berkenalan. aku Rafi anak X IPA 3” ucap pria ini seraya mengulurkan tangan

“dinda anak  X IPA1 . jangan benci hujan lagi yaJ“ ucapku seraya membalas uluran tangan pria yang bernama rafi ini. “oke:)” jawabnya
#FlashbackOff#

Aku terdiam bak patung. Masih tak menyangka bahwa ia masih mengingat kejadian itu. Namun segera aku sadar dari lamunanku dan menjelaskan maksd tujuanku menelfonnya. Aku menjelaskan bahwa aku ingin mengikuti PMR, aku menelfonnya karna memang ia lah ketuanya. Sebenarnya, bukan itu alasanku menelfonnya malam malam seperti ini. Aku hanya ingin mendengarnya. Mendengar suara yang begitu menggetarkan hati. namun , haruskah aku berkata jujur periihal alasanku itu? Tentu sangat tak lucu jika aku harus jujur. 10 menit sudh aku berbincangbincang dengannya. Percakapan yang begitu singkat namun begitu berarti.

***
 Hari ini hari pertama aku mengikuti ekstrakulikuler PMR, jujur aku tak begitu suka dengan masalah medis seperti ini. Namun apa boleh buat, semalam aku telah mengatakan bahwa aku akan mengikuti PMR, yaaa inilah resikonya. Aku menarik nafasku dalam dalam lalu kukeluarkan lagi. Aku melakukan itu berlulang-ulang. Aku mengontrol nafasku agar tak canggung saat memasuki ruang UKS, juga saat berbicaradengan Rafi. Setelah mengontrol nafas, aku langkahkan kakiku memasuki UKS sedang Diana memilih untuk kembali ke kelas.
Setelah lama mengikuti PMR, aku pun kini telah terbiasa~ dan karena PMR lah hubunganku dengan Rafi semakin dekat. Setidaknya sekarang selalu tegur sapa saat berpaspasan, seringkali ngobrol yaa walaupun ngobrol masalah “PMR”. 
Dalam sela sela kedekatanku, perbincanganku, aku tak pernah terlepas untuk mencuricuri waktu untuk memandanginya. Dalam doa selalu keselipkan namamu , dalam diam ku sebutsebut namamu, dan dalam hati aku menyimpan namamu lekat lekat. Aku mencintaimu dan kamu tak pernah tau akan itu!:)

***
Suatu hari aku mendengar bahwa saat ini telah berlangsung perlombaan basket antar kelas XI IPA3 vs XII IPS4 . mataku melebar seketika mendengar kata XI IPA3 . aku menarik lengan Diana, sahaabatku. Aku tak ingin melewati momen ini. Momen dimana aku bisa memandanginya secara dekat. Disela sela pertandingan, aku merasa akan ada sesuatu yang mendekat kearahku. Dan sesaat. .”BUK!!” bola basket mengenai tepat keningku. Sesaat kemudian, semua gelap. Aku pingsan.

Aku mulai dapat menerima serpihan cahaya dari retina. Mulai dapat mengenali tempat ini. –UKS– . aku melihat diana disana, dan juga.. Rafi! Ia berada disini. Mungkin karena memang ia merasa bersalah karna yang menyebabkanku seperti inilah dirinya. Aku pusing, aku meminta Diana mengambilkan obat darah rendah yang mamah minta aku meminumnya teratur. Diana tak bergeming dari tempatnya. Ia malah balik menyuruh Rafi yang mengambilkan.
Sesaat Rafi kembali. Ia membawakan tas-ku. Tak lama, bel pulang berbunyi. Rafi memintaku untuk pulang bersamanya sebagai tanda maafnya. Aku pun meng-iya kannya.

Sesampai dirumah, aku memandangi diri didepan kaca. Aku tersenyum. Tak menyangka bahwa Rafi akan mengantarkanku pulang. Aku berfikir ini perlu aku tulis dalam buku diary-ku sebagai kenangan tersendiri.
Aku mengambil tas-ku. Guna mengambil buku diary yang sedaripagi ku bawa kesekolah.

 Aku kaget ketika mengetahui diary ku tak ada dalam tas. Aku mencari disetiap cela kamarku. Namun nihil. Aku mengambil ponselku. Mengetikan beberapa kalimat perihal diary-ku pada seseorang yang tak lain diana. Sesaat , ponselku bergetar menandakan inbox masuk. Aku membukanya. Yang tak lain balasan dari orang yg tadi telah aku kirimkan sms –Diana. Sama hal’nya, Diana pun tak mengetahui keberadaan Diaryku. Aku panik. Aku semakin tak tenang. Fikiranku kemana-mana. Bagaimana jika Diaryku berada ditangan orang yang jail lalu menyebarkannya kesemua orang?bagaimana jika diaryku sekarang berada ditangan orang yang tak suka denganku? Bagaimana jika nanti saat disekolah mading penuh dengan kertas kertas dari diaryku? Dan bagaimana pula jika Rafi mengetahui hal ini? Mau ditaruh dimana mukaku? Ah.aku benar benar tak tenang. Namun, aku bertekad mencari diaryku ini sepulang sekolah besok. Terlalu lelah memikirkan ini, akupun perlahan tertidur.


***
Sepulang sekolah, aku meminta Diana menemaniku mencari buku Diary’ku. Aku mencari pada sisi kelas sebelah kanan. Sedang Diana mencari pada sisi kiri. Setelah lumayan lama mencari, aku bertanya tentang keberadaan Diary’ku. Namun sama hal’nya dengan aku, ia pun tak menemukannya. Sesaat, ada seorang pria yang memasuki kelasku.

“kok belum pada pulang? Lagi pada nyari apa sih?” aku menengok kearah sumber suara. Sempat kaget mengetahui siapa orang yang ada diambang pintu sekarang.

“lagi nyari buku yang ketinggalan kemarin” ucapku cepat sebelum Diana mengucapkan yang sebenarnya.

“kamu nyari ini?” Aku kaget!Rafi?  dia datang tiba tiba dan dia membawa..buku diaryku! Aku shock! Bagaimana mungkin diaryku berada ditangan dia?bagaimana mungkin ?aku hanya berharap Rafi belum bahkan tidak membacanya . karna kalau ia membacanya?ia mengetahuinya?matilah sudah kau dindaaaaaa !!

“lho.. kok bisa dikamu Raf?” tanya diana penasaran

“iya, kemarin pas kamu nyuruh aku buat ngambilin tas Dinda, aku ngga sengaja nemu ini dilaci meja kalian, aku bawa aja deh” 

“belum kamu baca kan?” tanyaku cepat . Rafi diam untuk beberapa saat. Aku berharap, ia mengatakan belum. Iya aku harap ia mengatakan apa yang aku inginkan.

“belum kok”

“huh, syukurlah~”  Aku lega mendengar ucapan rafi .

“belum 2kali maksdnya:D” sambung Rafi kembali

“HAHH?!!!”  aku shock! Aku kaget!aku malu! Mau ditaruh dimana mukaku ini? Aku hanya bisa melongo. Membuka mulutku lebarlebar. Aku tak menyangka apa yang aku takutkan semalam ternyata terjadi. Aku sungguh tak menyangka. Bagaimana aku tidak shock? Dalam diary itu, banyak sekali coretan coretanku tentang Dirinya , banyak pula puisi yang sengaja ia buat hanya untuknya, juga fotofoto colongannya yang aku simpan dalam tiap lembar diary. Dirinya yang tak lain –Rafi–  namun orang yang aku tuliskan dalam diary membacanya
Rafi menyodorkan tangannya dengan maksud untuk mengembalikan bukuku ini.  Namun aku? Aku belum bisa bergeming sedikitpun dari posisiku sekarang. Masih dalam mata melebar dan mulut yang agak menganga.

“tak usah seperti itu, aku udah tau semuanya”  ucap Rafi membangunkanku dari ketidaksadaran itu. Aku diam, aku masih diam .

“kenapa kau tak pernah bilang padaku?kenapa kau memilih memendam semua?dalam diary itu, tertulis bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat pertama kali bertemu, yang tak lain saat kau membuat aku tak lagi benci akan hujan 3tahun yng lalu. Bagaimana mungkin aku mengetahui bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat itu jika saat ‘kejadian’ itupun kamu begitu cuek, begitu tak banyak bicara? Tenyata memang benar. Wanita memang begitu ahli dalam masalah menyembunyikan perasaanya.. seperti kamu sekarang ini, dindaa”

Aku masih terdiam, mendengarkan, mencerna semua kata demi kata yang keluar dari mulut Rafi. Ingin rasanya aku mengatakan “aku yang pandai menyembunyikan perasaan atau memang kamu yang tak pernah peduli? Aku takut jika aku mengatakan ini semua, kamu akan pergi meninggalkanku. Aku takut itu terjadi rafi..!”  namun apa daya, mulutku sampai sekarang terasa sangat kaku untuk digerakkan. Akupun lebih memilih untuk diam dan mendengarkan semua apa yang dikatakan Rafi.

“kau tahu dinda..”

“aku juga menyimpan rasa padamu semenjak kejadian beberapa tahun silam” ucap Rafi meneruskan omongannya yang sempat menggantung tadi.

“hanya kamu yang berhasil membuat aku tak lagi benci air hujan dinda, hanya kamu yang bisa menyadarkanku betapa Indahnya Hujan, hanya kamu yang berhasil menyadarkanku  betapa nyamannya Hujan . hanya kamu dinda..itu yang membuatku jatuh cinta padamu”

“Tapi saat itu kau begitu pandai menyembunyikan semua perasaanmu. Aku tahu aku pengecut din, aku takut jika aku mengatakan perasaanku padamu, kau akan pergi jauh meninggalkanku. Aku takut itu terjadi dinda..”

Oh Tuhan! Bagaimana mungkin?itulah kalimat yang ingin aku katakan paadanya saat ini. Namun kenapa malah dia juga mengatakanya? Apa yang terjadi Tuhan? Mimpikah ini? Tuhan! jangan Bangunkan aku sekarang jika memang ini semua mimpi. Aku tak ingin jika aku bangun harus menerima suatu kenyataan yang berbanding terbalik dengan ini semua.

“saat kamu menelfonku malam-malam.. aku tahu bahwa saat itu yang menelfonku kamu dinda. Aku telah  lama menyimpan nomormu sebelum kamu mengetahui nomorku. Namun aku berusaha berpurapura seperti ibarat aku benarbenar tak mengetahui nomormu”

“Tahukah kamu dinda, bukan hanya kamu yang selama ini mencintai dalam diam. Aku pun!  Bukan hanya kamu yang selalu memerhatikan tapi tak diabaikan. Aku juga!setiap hari sedang hujan, aku tahu kamu selalu berada dibalik jendela kamarmu , menikmati indahnya hujan. maka dari itu,setiaphujanlah aku selalu kerumah kaamu, berdiam dibalik pohon mangga depan rumahmu . Aku memandangi raut wajah kamu saat kamu sedang menikmati betapa indahnya hujan. aku memerhatikanmu dan kamu tak pernah tau itu!”

Sekujur tubuhku bergetar hebat mendengar pengakuan Rafi ini. Bagaimana bisa?dia juga merasakan apa yang aku rasa? Perlahan, benih air menetes dari kelopak mataku. Aku menangis.
“Dinda.. will you be mine?”
Aku shock. Aku kaget. Mataku melebar kembali. Lebih lebar dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Seorang rafi , orang yang aku sayang 3tahun ini sekarang sedang bertekuk lututdidepanku menggengggam tanganku dan mengatakan kata itu. Perlahan, aku anggukan kepalaku . ia memeluku. Aku terisak dalam dada bidangnyaa



Tak terasa, 2 bulan sudah hubunganku dengan  Rafi terjalin. Aku senang~ tak lupa bersyukur paada Tuhan Yang maha Esa. Namun, semakin kesini aku 3x lebih sering pinsan dari sebelumnya. Dan perlahan, aku rasakan rambutku merontok sedikit demi sedikit. Aku teriak. Aku histeris. Mamah langsung membawaku ke rumah sakit. 

Aku menangis. Menangis mendengar apa yang dokter katakan padaku tentang penyakitku. Aku shock mendengar ucapan dokter yang mengatakan bahwa aku menderita Tumor Otak stadium akhir. Terlebih saat dokter mengatakan bahwa aku telah divonis menderita penyakit ini 6bulan lalu. Aku kaget, enam bulan yg lalu? Bukankah itu telah lama? Namun kenapa aku justru malah tak pernah mengetahuinya? Aku teriak memanggil mamahku. Menanyakan apa yang terjadi sebenarnya, menyanyakan apa yang selama ini mamah sembunyikan dariku. Mamah menangis.

“maafin mamah sayang, mamah salah, mamah sengaja menyembunyikan ini semua. Mamah ngelakuin ini semua demi kamu , mamah tak mau jika kamu harus memikirkan penyakitmu” mamah memelukku. Mamah tak salah, ia berniat baik melakukan ini semua dan aku tak berhak marah pada mamah. Inilah takdirku.
Tak lama, seorang dokter memasuki ruangan ku. Mamah menanyakan perihal penyakitku, namun sang dokter hanya menggeleng dan menjawab 
“maafkan saya bu, saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tumor pada diri anak ibu telah ganas. Jika kita mengangkat tumor itu, itu sangat membahayakan putri ibu”
“lalu bagaimana dengan hidup putri saya dok? Masih bisa dibantu dengan obat yang kemarin kan?”

“obat yang mana maah?” tanyaku penasaran

“obat yang selalu kamu bawa sekolah itu obat penunjang hidup kamu sayang, maaf mamah harus membohongimu”
Aku terdiam~ jadi selama ini, obat itu obat Tumor ? kenapa aku begitu tak mengerti? Seharusnya aku tau bahwa darah rendah tak perlu meminum obat setiap saat. Namun kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Kenapa aku begitu bodoh ?ini semakin rumit.

“obat itu hanya bisa digunakan maksimal 6bulan.dan ibu telah menggunakan obatitu selama 6bulan.” Jelas dokter
“jadi, apa yang harus aku lakukan dok? Sembuhkan anak saya dok saya mohon”'
“kita berdoa pada yang kuasa aja bu”

Mamah Histeris, aku pun juga. Terlebih saat dokter mengatakan waktuku hanya tingga satu minggu. Aku teriak. Aku histeris. Aku mengeluarkan semua airmataku. Aku memeluk mamah. Aku terisak dalam dekapan mamah. Aku masih belum bisa menerima ini semua. Bagaimana tidak? Baru 2bulan lalu aku merasa senang karna rafi membalas cintaku . namun kenapa sekarang malah aku divonis tingal 7hari masa hidupku? Hidup begitu tak adil menurutku.
Perlahan, tangisku mulai mereda. Aku mulai tenang.  Aku tahu Allah punya rencana yang baik dibalik ini. Dan inilah takdirku, Takdir tetaplah Takdir. Aku menyuruh mamah berjanji agar tidak memberitahu ini terhadap Diana maupun Rafi. Aku memang bertekad untuk menghadapi ini sendiri. Aku tak ingin membuat mereka khawatir terhadapku. Bukan karna aku jahat aku tak memberitahu perihal ini kepada mereka. Tapi justru karna aku sayang mereka. Aku tak ingin mereka terbebani hanya karna masalah penyakitku. .


 Semenjak pemvonisan itu, aku menjalani hari hari dengan semangat seperti biasa. Aku tak ingin membuat sahabatku Diana dan kekasihku Rafi  curiga tentang apa yang terjadi denganku.
 Namun, semenjak kejadian pemvonisan itu, aku jauh lebih sering menghabiskan waktuku dirumah. Aku lebih senang menghabiskan sisa hidupku untuk membbantu mamah dan menuliskan coretan-coretan pada diaryku selagi aku tak bisa lagi membuat coretan coretan lagi.

Aku memandangi diri didepan cermin, memandangi beberapa helai rambut yang masih tersisa pada rambutku. Kepalaku telah tak berambut lagi. Hanya tersisa beberapa helai saja. Aku memandangi foto yang tertempel didinding kamarku, foto diriku bersama diana. Dalam foto itu, aku tersenyum ceria diatas sepeda kesayanganku mengenakan baju pink pembelian almarhum ayah, dengan rambut lurus terurai . kulihat pula foto yang sengaja kutaruh pada meja belajarku. Foto dimana Rafi sedang merangkulku penuh cinta.
 Dan dalam foto itu aku tersenyum , senyuman yang tanpa beban.  airmata ku perlahan jatuh. Aku rindu saat saat seperti itu. Saat dimana aku dapat tersenyum tanpa memikirkan penyakitku , saat dimana aku dapat kembali merawat rambut panjangku, saat dimana aku bisa bermain dengan Diana tanpa memikirkan penyakitku, juga saat dimana aku bisa menjalankan harihariku dengan penuh keceriaan.
Aku rindu saat saat itu Tuhan, kenapa begitu cepat kebahagiaan itu berakhir? Aku mengusap air mataku. Aku tak boleh terusterusan seperti ini. Aku harus kuat. Dinda wanita Strong! Aku mengambil buku diary, dan kutuliskan beberapa kalimat yang bisa jadi menjadi coretan akhirku.


*****
Hari ini, tepat 7hari setelah vonis itu dijatuhkan. Yang berarti, hari ini pula hari dimana aku terakhir merasakan indahnya hari. Aku ingin menghabiskan waktuku untuk memandangi, menikmati indahnya langit beserta isinya. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersama dengan orang orang tersayangku. Aku inginmereka berada didekatku saat aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan aku ingin membuat mereka tersenyum dihari terakhirku.
Rafi melangkahkan kaki ke arah kelas ku, lalu kemudian menghampiri aku. Rafi menghampiriku dengan maksud untuk berpamitan dan memintaku untuk mendoakannya karna hari ini juga ia akan mengikuti LCC di SMA 99 Bandung. Aku memegang erat tanganya. Aku tak ingin ia pergi. aku ingin dia ada disisiku saat ini. Menemani sisasisa waktuku.
Aku menggenggam erat tangan rafi. Tak ingin ia meninggalkanku. Aku tau saat ini aku memang egois. Tapi, salahkah aku egois dihari terakhir ku ini? Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktu ku dengan mereka. Hanya itu. Aku masih menggenggam erat lengan Rafi.

“jangan pergi Rafi! Aku moho:(L selama ini aku tak meminta apapun darimu. Sekarang aku hanya ingin kamu jangan pergi, aku mohon kabulkan permintaanku ini, aku mohon :'(” Aku memohon agar Rafi tidak pergi. namun diluar dugaan, Rafi membentakku.
“DINDA! Kamu ini apa-apaan sih? Hari ini aku harus lomba. Bukankah kemarin kemarin kamu begitu mendudukungku mengikuti LCC ini? Tapi kenapa sekarang kau malah melarangku pergi?”

Aku menangis. Baru pertama kali Rafi membentakku. “Memang, saat itu aku begitu mendukungmu mengikuti lomba ini. Tapi kenapa pelaksaan lombanya harus sekarang?disisa waktuku? Taukah kamu, ini adalah hari terakhirku. dan aku Cuma ingin mengahabiskan umurku dengan kalian. Bagaimana jika saat kau pulang nanti aku sudah tak lagi bernafas? Aku Cuma ingin kamu menemani sisa sisa hidupku . aku hanya ingin itu” . aku hanya dapat mengatakan itu dalam hati.

“aku takut aku tak bisa melihatmu lagi” ucapku dengan terisak. Rafi merasa bersalah. Ia memegang erat bahuku. Menatap mataku lekat-lekat
“tenanglah sayang, aku janji aku akan baik baik aja. Aku janji selesai lomba nanti aku segera kesini membawa medali untukmu. Aku janji dinda.. sekarang, izinkan aku pergi yaJ
Mau tak mau, aku pun melepas genggaman tanganku dari tangan Rafi. Begitu berat aku melepaskannya. Aku sangat takut jika aku tak bisa melihatnya terakhir kali. Setelah kepergian Rafi, aku masih menangis. Diana sahabatku lah yang setia menemaniku, memelukku dengan penuh sayang. Namun sesaat , kepalaku pusing. Dan perlahan semua hitam dan.. aku terjatuh dalam pelukan diana.

Diana panik, ia memerintah anak-anak yang lain memopongku ke rumah sakit. Aku memasuki UGD. Tubuhku dihubungkan oleh selang-selang dokter. Aku terdiam kaku. Sementara sang dokter sedang berusaha menyelamatkanku. Diluar ruang UGD, ada Diana juga mamah yang telah diberitahu oleh diana sebelumnya. Mereka menangisiku. Berdoa kepada sang kuasa demi keselamatanku.
Aku sedang bergelut dengan penyakitku. Aku tak tahu apakah aku masih akan diberi kesempatan untuk hidup atau memang Tuhan ingin menemuiku. Monitor medis yang terhubung dengan tubuhku telah membentuk sebuah garis lurus. Dokter panik, mereka segera mengambil alat pemancing detak jantung untuk memancing detak jantungku agar kembali berdetak. Sudah 5kali dokter berusaha. Namun naas. Aku masih tetap diam.  Tak bergeming sedikitpun. Dokter pun mulai menyerah dan artinya.. Tuhan memang benar benar ingin bertemu denganku.


Dokter keluar Ruangan dan segera memberitahu apa yang terjadi terhadapku. Dokter memberitahu ini dengan wajah menunduk. Ia merasa bersalah karena tak dapat menyelamatkanku. Namun sekali lagi, takdir tetaplah takdir. Orang-orang terdekatku menangis histeris mendengar apa yang dikatakan dokter. Terlebih lagi dengan mamah . mamah langsung down begitu mendengar bahwa aku –anak semata wayangnya– telah tiada. Ingin sekali aku bangun dan mengusap air mata mereka. Namun apa daya, alam kita telah berbeda.
Ditempat lain, Rafi melangkahkan kakinya kearah sekolah menenteng medali yang ia kalungkan pada leher.  Disepanjang koridor, ia merasakan nuansa duka pada orang2
.Namun, ia tak memikirkannya. Yang ia fikirkan saat ini hanya satu. “DINDA” . ia mempercepat langkahnya memasuki kelasku-dinda–. Sesampai dikelas , rafi tak mendapatiku. Yang ia dapati hanya orang orang sedang terisak. Ia pun penasaran, ia menanyakan dimana dinda. Namun sayang~ tak ada jawaban apapun dari mereka. Sesaat, ponsel rafi berdering. 1massage dari Diana “Cepet ke Rumah Sakit Harapan skrg jg Raf! Gusah tnya knp. nanti aku jelasin” seperti itu isi dari pesan yang dikirimkan diana. Tanpa babibu , ia segera mengambil motornya dan segera menuju keRumah Sakit.

Sesampainya dirumah sakit Ia melihat sosok Diana beserta guru2 didepan  ruangUGD. Rafi melihat mereka sedang terisak. Rafi mendekati Diana  dan mencoba menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Diana tak menjawab, ia justru malah mengajak rafi memasuki ruang UGD.
Disana, Rafi melihat aku. Melihatku dengan keadaan yang telah dingin kaku.Melihatku dengan keadaan tak memiliki sehelai rambutpun. Melihatku dengan keadaan yang telah tak bernyawa. Tubuh rafi bergetar hebat, dan perlahan Air bening menetes dari kelopak matanya. Rafi menangis, ia tak menyangka bahwa tubuh kaku yang sekarang berada dihadapannya itu tubuhku.

“Dindaa...inikah kamu? Bangun din! Nggausah bercanda ah. Nggalucu. Liat nih aku bawa medali, aku menang lomba din..” ia mengoceh tak karuan. Ia begitu rapuh saat ini

“dindaa.. bangunnn!!”

“dinda udah pergi Raf” ucap sahabatku diana

“pergi?HAHA kenapa kamu pergi? kenapa secepat ini? lihat din, lihat! Aku bawa medali buat kamu! Aku menang din.. aku menang. Ini yang kamu kasih ?ini hadiah kamu?yang aku ingin itu ucapan selamat dari kamu din, bukan tubuh kaku kamu kayak gini! Aku nggabutuh! Bangun dindaa bangunnnL

“Raf, tenang raf, tenang .. ikhlasin dinda raf, biarkan dinda tenang” ucap Diana sahabatku

“apa yang terjadi dengan Dinda na? Perasaan waktu aku mau lomba dia baik-baik saja, tapi kenapa sekarang?aaaah!!”

“ada sesuatu yang dinda sembunyiin dari kita semua. Kamu baca aja ini . aku nemuin itu di tas dinda” Diana menyerahkan sesuatu pada Rafi yang tak lain adlah buku Diaryku. Rafi coba membuka pada bagian paling akhr. Dimana coretan itu aku tulis tadi pagi saat akan berangkat sekolah.

“Dear diary,
 7hari yang lalu, aku divonis dokter menderita Tumor Otak ganas. 
aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menderita penykit mematikan seperti ini. Seiring berjalannya waktu, rambutku sedikit demi sedikit rontok . Dan akhirnya.. seperti ini. Seperti yang terjadi saat ini. Aku telah tak memiliki rambut sehelaipun. Namun tak apa, beruntung aku mengenakan jilbab kesekolah~ dengan begitu, aku bisa menyembunyikan ini dengan tenang. Menyembunyikan dari semua orang termasuk Diana dan Rafi. Maaf na, Raf, aku terpaksa menyembunyikan ini dari kalian. Aku melakukan ini bukan karna aku jaht. Namun karna aku tak mau kalian menjadi terbebani dengan penyakitku ini. Aku tak ingin kamu juga merasakan apa yang aku rasa. Biar aku sendiri saja yang menghadapi ini. Karna inilah takdirku.

Telah 7hari sudah aku divonis untuk hidup. Dan artinya, hari ini hari dimana aku untuk terakhir kalinya menikmati udara . Diana sahabatku, Rafi kekasihku dan Mamah malaikatku. 
Aku tak ingin meninggalkan kalian secepat ini. Aku ingin terlebih dahulu membuat kalian bahagia.. aku ingin hari ini, hari terakhirku aku dapat  menghabiskan waktuku dengan kalian. Orang-orang tercintaku. 
Aku ingin mereka berada didekatku saat aku menghembuskan nafasku untuk yang terakhir kalinya. Diana, Rafi.. mungkin setelah ini aku tak bisa lagi menemani hariharimu, tak bisa bersenda gurau dengamu, tak bisa lagi menghapus air matamu, namun percayalah.. aku akan selalu menyayangimu dimanapun aku berada. Terimakasih telah mau mengenalku :)

Salam sayang.
Adinda Anatasya”

Rafi menangis, kali ini lebih terisak dari sebelumnya. Aku melihat mereka. Aku melihat diana Rafi menangis. Aku melihat mereka, namun mereka tak melihatku. rasanya ingin sekali aku menghapus airmatanya . namun apa daya, itu tak mampu kulalukan. Alam kita telah berbeda.


Hari ini juga prosesi pemakamanku dilaksanakan. Setelah dimandikan,   Tubuhku dibungkus oleh selembar kain putih.  Yang kemudian disholati. Setelah disholati, aku segera dibawa dengan menggunakan keranda kearah Rumah Abadiku –Tempat Pemakaman Umum–  Tubuhku dimasukan secara perlahan kearah lubang yang telah disiapkan.  Kemudian ditutup lagi oleh gundukan tanah. Tak sedikit orang menangis saat tubuhku mulai ditutup oleh gundukan tanah. Aku pun tak menyangka, bahwa ternyata orang yang menyayangiku begitu banyak.

Aku melihat mamah menangis dengan sisi kanan Rafi, dan sisi kirinya Diana. Mereka menangisiku. Menangisi kepergianku.
Setelah sang ustad membacakan doa terakhir untukku, bergantian orang meninggalkanku. Tinggal tersisa Diana dan Rafi. Mereka masih berada digundukan tanahku. Mereka menangis. Mereka masih ingin berada disini. Ditempat ini, tempat keabadianku~
Aku melihat mereka, melihat bahwa mereka menangisiku. Ingin sekali aku menghampiri dan menghapus air mata mereka. Namun aku tak bisa~
“jangan menangis sayang, saat ini kalian memang tak lagi bisa bersamaku. Tak bisa menikmati hari bersama. Tak bisa bersenda gurau bersama. Tak bisa lagi menikmati hujan bersama. Tapi percayalah, aku selalu ada disini. Di relung hati terdalamJ jangan pernah menyesal mengenal aku ya:)