Selasa, 10 September 2019

Jika tak ditakdirkan untuk bersama, mengapa selalu dipertemukan?

Telah habis berapa banyak series sudah bila kisahku denganmu kujadikan novel. Telah seberapa bosan sudah jemariku mengetik sajak demi sajak untuk kamu. Telah berapa banyak sudah kukatakan aku sangat membencimu—walau kata aku mencintaimu selalu lebih unggul.

Telah kutemukan alasan untukku melepas genggam. Telah sudah ketemukan pengganti. Telah sudah kutemukan cara untukku melupa. Apalagi melepas harap, aku sudah lebih jago!

Namun tak satupun kutemukan pengganti atas nasihat klasik yang mampu membuatku menurut. Nampaknya, kau memang ahli dalam hal ini. Hingga belum mampu kutemui pengganti ini atas dirimu.

Meski bagai memiliki magnet berbeda kutub, aku dan kamu masihlah memiliki rentang.

....namun tidak bertahan lama.

Hingga akhirnya aku dan kamu kembali dipertemukan dalam ruang waktu yang tiada pernah mampu kutebak. Bukan salahmu, mutlak salahku. Namun hati selalu memiliki pembenaran dalam bersikap. Begitu pun denganmu yang menuruti hati untuk tetap menyambut baik kehadiranku.

....semua nampak seperti biasa hingga aku lupa kita pernah berjarak sedemikian jauh.

Sebuah pertanyaan muncul dibenakku.
“mengapa selalu dipertemukan bila tidak ditakdirkan?”

Aku meringis. Lagi-lagi meratap diri yang tidak ada habis-habisnya menaruh kagum, pada ia yang sering membuat tangis, apalagi membuat teriris, sudah ahlinya. Aku tak mengerti bagaimana dari sisimu, aku terlalu naif mengartikan. Terlalu memaksa bahwa perlakuanmu lebih daripada sebagaimana kita sering dikenal. 

Ah, bodoh. 
Rasa-rasanya aku mulai mengigau. Baru saja kemarin kukatakan bahwa aku tak lagi memprioritaskan asmara.

...
namun, bukankah sedari tadi aku membicarakan masa depan, bukan asmara?

Depok, 10 September 2019

Jumat, 06 September 2019

kepala dua

Memasuki tahun 2019 mengartikan bahwa telah duapuluh tahun sudah aku dilahirkan. Lebih-lebih, bulan lahirku yang berada diawal tahun lebih megingatkan pula bahwa diriku telah semakin dewasa saja.

Berbeda dengan kebanyakan teman-temanku yang nampak bahagia diusia kepala duanya karena mengartikan kedewasaan, aku justru tidak menyukai itu. Ah mungkin tidak siap akan itu jauh lebih tepat. 

Usia duapuluh tahun tentu merupakan usia gerbang awal kita tak lagi disebut ‘anak belasan tahun’. Seiring dengan itu pula, aku menganggap bahwa semakin bertambah usia, bebanku semakin berat saja. Entahlah aku hanya berdoa pundakku ini masih senantiasa kuat untuk menopang, karena tak tau lagi juga akan menopang kepada siapa bila bahuku sendiri tak dapat menampung.

Memasuki angka kepala dua, aku merasa semua perencanaan yang telah aku buat kala masih berusia belasan tahun itu seakan samar dengan tanpa diminta. Arah tujuan hidupku semakin hilang arah, semakin tak lagi optimis akan diriku sendiri. Terlebih dalam menentukan pilihan, aku betul-betul dibuat bingung setengh mati. Entah apa yang terjadi, namun aku menerka-nerka bahwa aku sedang berada di fase ‘quarter life crisis’. 

Menurut sepengatahuanku, quarter life crisis merupakan gejala kehilangan dan kekhawatiran akan arah hidup dan masa depan yang timbul pada manusia yang berusia 20an. Merasa semakin dewasa, tanpa sadar kita membuat sesuatu menjadi sebuah keharusan-keharusan yang harus dimiliki oleh diri kita, sehingga terkesan memaksa diri. Seperti paradigma bahwa usia 20 harus dapat menjadi acuan, harus dapat diandalkan, bahkan hingga paradigma bahwa usia 20an haruslah menjadi pribadi dewasa seutuhnya. Ah padahal kan, kompetensi masing-masing orang akan hal tersebut berbeda bukan?

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebutpun menyerangku akhir-akhir ini. Entah karena apa, aku kehilangan sosokku yang penuh optimis dan keyakinan. Tiba-tiba saja aku merindukan sosokku yang dapat menjawab dengan yakin akan mimpinya dan menghiraukan celotehan orang. Bukan sosok yang nampak ragu dalam menjawab akan mimpinya seperti saat ini. Tentu hal demikin pun terjadi bukan tanpa akibat. Namun karena segala bentuk kekhawatiran—seperti khawatir apakah aku mampu, apakah aku telah memilih pilihan yang tepat dan sebagainya—yang entah datang darimana tiba-tiba menyeruak dan menyatu pada diriku. Aku begitu takut melakukan pilihan yang salah, yang pada akhirnya justru akan mengecewakan orangtua—dua orang yang menjadi alasanku untuk bertahan.

Semakin bertambahnya usia, semakin banyak pula fokus tujuanya, semakin bercabang saja arah otakku. Dimana aku harus mulai memikirkan karier, sekolah lanjutan, tabungan, hingga permasalahan jodoh. Permasalahan yang terakhir ini pun menjadi fokus kekhawatiran untukku sendiri. Hal demikian terjadi karena hilangnya selera untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis siapapun (juga sesama jenis ofcourse). Entah apakah ini dirasakan oleh mereka yang lain, aku merasa bahwa ini bukanlah fokus utamaku diusia yang baru menginjak kepala dua ini. Masih ada banyak sekali hal yang perlu diselesaikan dan menjadi prioritas utama.

Ah namun meskipun bukan menjadi fokus utama, perasaan ingin menjalin hubungan tentu pasti ada—meski hanya perasaan sesaat yang timbul ditengah penatnya dunia per-dua puluh tahunan ini. 

Masih mengenai jodoh, aku yang baru saja tanpa sengaja menonton video Beautifull in White ini nampaknya kembali khawatir dan tanpa sadar meneteskan air mata. Perasaan khawatir ini timbul tanpa diperintah seperti biasanya. Pikiranku tiba-tiba dipenuhi akan pertanyaan absurd semacam:

dengan siapa ya aku akan menikah?’

‘menikah artinya terlepas dari tanggung orangtua juga, apakah aku siap?’

‘apakah aku bisa bahagia dalam pernikahanku kelak?’

‘apakah pernikahanku kelak dihujam tawa yang teramat atau tangis yang teramat?’

Takut.
khawatir.
Padahal sudah ada yang mengaturnya. Kita hanya mampu berdoa dan sesekali mengusahakan, bukan? Namun nampaknya sangat munafik apabila aku mengatakan hanya berserah dan tanpa berusaha. Tentu kekhawatiranku itu berdampak pada tekadku untuk mengusahakn diri agar lebih baik dan lebih baik lagi. Karena, jodoh adalah cerminan dari diri kita bukan? Ok. aku akan menjadi sebagaimana aku ingin mendapatkan jodoh seperti itu. 


Nampaknya sudah sangat panjang juga aku berceloteh. Dan nampaknya semakin melebar saja, ya? Maaf maaf. Emang suka keasikan sendiri orangnya. Terimakasih telah membaca sesuatu yang tidak penting ini!

Selasa, 03 September 2019

Aku Ingin Bercerita

Aku hanya ingin bercerita atas hari ini. Entahlah, atas apa-apa saja yang telah terjadi dihari ini, aku hanya ingin mengucapkan syukur yang tiada kira. 

Beberapa waktu lalu, mungkin aku masih pada pemikiran dimana nikmat adalah melulu soal nafsu, rezeki adalah melulu soal materi. Tidak salah, memang benar begitu. Namun ada hal yang lebih berharga dari itu—ialah berada dilingkungan yang baik. Memiliki teman yang baik, yang selalu menuntun kearah yang benar, atau setidak-tidaknya tidak menjerumuskan kita pada hal yang tidak dibenarkan merupakan anugerah terindah yang telah diberikan Allah kepadaku, juga kepada mereka yang merasakan sepertiku.

Hari ini, aku bertemu dengan teman yang baru aku kenali satu bulan lalu. Meski tidak semuanya, namun keberadaan mereka dalam hidupku kembali mengingatkanku akan rasa syukur. Mereka yang baik, mereka yang tak pernah lelah mendengar celotehan tidak pentingku, atau bahkan rela menghabiskan waktu 2 jam perjalanan dikereta dan rela menghabiskan kurang lebih 8 jam bersama tentu merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Apalagi mengingat 8 jam tersebut kita lakukan dengan bertingkah konyol. Namun setidaknya, aku bisa menjadi diriku sendiri.

Hari ini pula, salah satu teman berjuang satu asramaku berhasil mengemban gelar baru—None Buku Jakarta Timur. Ia yang notabene berasal dari luar Jawa begitu membuktikan bahwa siapapun bisa melesat dimanapun ia berpijak asal bekal mentalnya telah siap, tenaganya telah terkuras hingga lelahnya menjadi lilllah. 

Akan kuceritakan sedikit tentangnya. Aku, saksi perjuanganya yang tiada mudah tersebut menaruh bangga yang tak terkira. Ia adalah sosok yang lebih kuat dari apa yang terlihat. Karirnya cemerlang, pedenya luar biasa. Namun siapa sangka ia memiliki permasalahan keluarga yang mungkin akupun ragu apakah kuat menghadapinya atau tidak. Belum lagi, celotehan mereka yang tidak menyukainya begitu membisingkan telinga. 

Namun kau tau? Ia hanya tersenyum. Sesekali menyeka airmata kala bercerita. Sedang aku? tugasku hanya memeluk. Mengingat ia membutuhkan sandaran lebih dari apapun. Dengan segala hal yang membentang, juga celotehan para pembeci yang tak henti menjatuhkan, ia berhasil menebas. Hingga membuat mereka kemudian terbungkam. 

Ah andai saja tadi berada disana, sudah kupeluk erat ia dan susah kulepaskan. Namun, meski tak berada langsung disana, nampaknya doa memang selalu sampai pada tempatnya. Bukankah begitu? 

Tak hanya itu, sepulang dari margo, aku menemukan satu buah coklat dengan kertas tanpa nama bertuliskan “Terimakasih Izza telah tidak menyerah sampai saat ini. Teruslah berjuang  bersama yuk? Jangan takut. Kan ada Allah.”

Mungkin bagi sebagian orang, itu merupakan secarik kertas tanpa arti. Namun tidak bagiku. Aku sangat menyukai segala macam apresiasi.  Siapa sangka secarik kertas dapat membuat senyumku terukir tiada kira?

Padahal mungkin apabila difikir ulang, untuk apa ia berterimakasih atas aku yang telah tanpa menyerah dalam hal apapun? Yang mungkin apabila aku terpaksa menyerahpun, bukankah tetap bukan menjadi ranahnya?  Namun disitulah letak dimana aku menyebutkan lingkungan yang baik. Ia tak ingin kemudian melesat sendiri. Ia ingin aku dan teman-teman membersamai. Ah coba, mana lagi yang lebih manis dari ini?

Kemudian, lagi-lagi yang hanya mampu aku lakukan adalah bersyukur. Atas segala hal yang telah ditakdirkan baik untukku. Juga beberapa hal yang menurutku buruk—meski pada akhirnya mengarahkan pula pada kebaikan. 

Ah sudah-sudah.
Aku hanya berucap demikian.
Ceritaku sudah habis.
Kau boleh tidak lagi membaca tulisan ini kembali.
Namun, terimakasih bagi yang telah menyempatkan membaca.

Cerita ini ditulis di catatan smartphone pada 24 Agustus 2019.