Memasuki tahun 2019 mengartikan bahwa telah duapuluh tahun sudah aku dilahirkan. Lebih-lebih, bulan lahirku yang berada diawal tahun lebih megingatkan pula bahwa diriku telah semakin dewasa saja.
Berbeda dengan kebanyakan teman-temanku yang nampak bahagia diusia kepala duanya karena mengartikan kedewasaan, aku justru tidak menyukai itu. Ah mungkin tidak siap akan itu jauh lebih tepat.
Usia duapuluh tahun tentu merupakan usia gerbang awal kita tak lagi disebut ‘anak belasan tahun’. Seiring dengan itu pula, aku menganggap bahwa semakin bertambah usia, bebanku semakin berat saja. Entahlah aku hanya berdoa pundakku ini masih senantiasa kuat untuk menopang, karena tak tau lagi juga akan menopang kepada siapa bila bahuku sendiri tak dapat menampung.
Memasuki angka kepala dua, aku merasa semua perencanaan yang telah aku buat kala masih berusia belasan tahun itu seakan samar dengan tanpa diminta. Arah tujuan hidupku semakin hilang arah, semakin tak lagi optimis akan diriku sendiri. Terlebih dalam menentukan pilihan, aku betul-betul dibuat bingung setengh mati. Entah apa yang terjadi, namun aku menerka-nerka bahwa aku sedang berada di fase ‘quarter life crisis’.
Menurut sepengatahuanku, quarter life crisis merupakan gejala kehilangan dan kekhawatiran akan arah hidup dan masa depan yang timbul pada manusia yang berusia 20an. Merasa semakin dewasa, tanpa sadar kita membuat sesuatu menjadi sebuah keharusan-keharusan yang harus dimiliki oleh diri kita, sehingga terkesan memaksa diri. Seperti paradigma bahwa usia 20 harus dapat menjadi acuan, harus dapat diandalkan, bahkan hingga paradigma bahwa usia 20an haruslah menjadi pribadi dewasa seutuhnya. Ah padahal kan, kompetensi masing-masing orang akan hal tersebut berbeda bukan?
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebutpun menyerangku akhir-akhir ini. Entah karena apa, aku kehilangan sosokku yang penuh optimis dan keyakinan. Tiba-tiba saja aku merindukan sosokku yang dapat menjawab dengan yakin akan mimpinya dan menghiraukan celotehan orang. Bukan sosok yang nampak ragu dalam menjawab akan mimpinya seperti saat ini. Tentu hal demikin pun terjadi bukan tanpa akibat. Namun karena segala bentuk kekhawatiran—seperti khawatir apakah aku mampu, apakah aku telah memilih pilihan yang tepat dan sebagainya—yang entah datang darimana tiba-tiba menyeruak dan menyatu pada diriku. Aku begitu takut melakukan pilihan yang salah, yang pada akhirnya justru akan mengecewakan orangtua—dua orang yang menjadi alasanku untuk bertahan.
Semakin bertambahnya usia, semakin banyak pula fokus tujuanya, semakin bercabang saja arah otakku. Dimana aku harus mulai memikirkan karier, sekolah lanjutan, tabungan, hingga permasalahan jodoh. Permasalahan yang terakhir ini pun menjadi fokus kekhawatiran untukku sendiri. Hal demikian terjadi karena hilangnya selera untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis siapapun (juga sesama jenis ofcourse). Entah apakah ini dirasakan oleh mereka yang lain, aku merasa bahwa ini bukanlah fokus utamaku diusia yang baru menginjak kepala dua ini. Masih ada banyak sekali hal yang perlu diselesaikan dan menjadi prioritas utama.
Ah namun meskipun bukan menjadi fokus utama, perasaan ingin menjalin hubungan tentu pasti ada—meski hanya perasaan sesaat yang timbul ditengah penatnya dunia per-dua puluh tahunan ini.
Masih mengenai jodoh, aku yang baru saja tanpa sengaja menonton video Beautifull in White ini nampaknya kembali khawatir dan tanpa sadar meneteskan air mata. Perasaan khawatir ini timbul tanpa diperintah seperti biasanya. Pikiranku tiba-tiba dipenuhi akan pertanyaan absurd semacam:
‘dengan siapa ya aku akan menikah?’
‘menikah artinya terlepas dari tanggung orangtua juga, apakah aku siap?’
‘apakah aku bisa bahagia dalam pernikahanku kelak?’
‘apakah pernikahanku kelak dihujam tawa yang teramat atau tangis yang teramat?’
Takut.
khawatir.
Padahal sudah ada yang mengaturnya. Kita hanya mampu berdoa dan sesekali mengusahakan, bukan? Namun nampaknya sangat munafik apabila aku mengatakan hanya berserah dan tanpa berusaha. Tentu kekhawatiranku itu berdampak pada tekadku untuk mengusahakn diri agar lebih baik dan lebih baik lagi. Karena, jodoh adalah cerminan dari diri kita bukan? Ok. aku akan menjadi sebagaimana aku ingin mendapatkan jodoh seperti itu.
Nampaknya sudah sangat panjang juga aku berceloteh. Dan nampaknya semakin melebar saja, ya? Maaf maaf. Emang suka keasikan sendiri orangnya. Terimakasih telah membaca sesuatu yang tidak penting ini!