Minggu, 22 Desember 2019

Aku Telah Lebih Dulu


Aku bersedih karena kamu telah membuat teman dekatku menyukaimu. 

Kata salah seorag teman diantara kita, Ia berhasil kau buat cinta karena balasan-balasan chatmu yang cukup panjang dan intens.

Ia tidak mengetahui bahwa antara aku dan kamupun begitu. Chat dengan intens didampingi obrolan panjang yang tidak tahu apa itu. Kau lantas menatapku seraya berkata “jangan”. Aku mengerti, itu kodemu untuk memperingatkan aku untuk tidak jatuh hati denganmu karena beberapa waktu terakhir kita sangat intens.

Jelas saja kukatakan tidak. 
Karena memang aku tidak jatuh hati karena ke-intens-an kita. Namun lebih dulu dari itu.


'hanya teman'


“bisa ketemu sebentar? aku melakukan hal bodoh”
“tapi aku sedang menemani teman”
“sebentar saja”
“ok”

Katamu, yang kemudian menemuiku. Meski karena persoalan yang tidak bisa dibicarakan via chat yang menjadi alasanmu menemuiku, aku tetap senang. Karenanya, antara aku dan kamu kembali bertatap muka. Menceritakan masalah, hingga menanyakan pendapat pribadi atas suatu hal, yang nampak tak ada habisnya.

Hingga pada akhirnya obrolan kita berhenti saat waktu menunjukan pukul 19.00 dan mengharuskan kita berpindah tempat menemui teman-teman yang lain di suatu tempat yang lain.

-------------------
“coba cari lagi”
“udah, nihil”
“ayok ke ruangan. kita cari disana”
katamu, kala mengetahui cerobohnya aku yang meninggalkan kunci motor sesukanya. 

Kita kemudian memasuki ruangan dimana aku meninggalkannya. Hanya berdua. Kau mencari arah sana, sedang aku sebaliknya. Cukup lama mencari, namun hasilnya tetap saja nihil. 

“ayok kita grab aja”
kataku yang pada akhirnya memutuskan plan B untuk menuju tempat dimana kami akan tuju.
“car atau bike?”
“car boleh”
“ayok ke FT dulu. antar aku ambil uang”
“pakai apa?”
“jalan. deket kok. ayok”
Katamu, yang kemudian berjalan mendahuluiku. Sedang aku, hanya berusaha mengikuti juga menyeimbangkan langkahmu.

Kita menyusuri Fakultas tempatmu menimba ilmu dengan ditemani gemerlap lampu-lampu taman yang masih menyala. Untuk kali pertama, aku menyusuri Fakultas Teknik. Menyusuri berbagai macam departemen dan sesekali aku bertanya mengenai tempat yang dilalui, dan kamu dengan sabar menjawab walau sesekali terlihat ketus.

Kami menunggui grab yang telah dipesan di Halte. Lucu, kita menunggu berdamping, namun dengan jarak yang jauh. Hingga pada akhirnya yang kita tunggu datang.

“dari Fakultas mana kak?” kata driver, membuka pembicaraan.
“saya Hukum, dia Teknik, Pak” kataku.
“saya dulu Teknik juga, ternyata jodoh saya anak FKM, ketemu di Stasiun. Kalau kalian ketemu  dimana?”

aku dan kamu saling memandang. Sampai kemudian aku dengan cepat menjawab

“ah kami hanya teman, Pak”
“oh teman, maaf-maaf. Saya kira bukan sebatas teman”

Aku dan kamu sama-sama terdiam.
Aku diam mengaminkan, sedang kamu entah melamun apa.

Malam Itu, Aku Penuh dengan Senyuman.

Aku menatapmu yang kala itu ada di depanku. Menatapi kata demi kata yang keluar dari mulut kamu kala melakukan adu argumen dengan salah seorang teman.

Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih pandai berargumen secara riil, bukan hanya lewat chat sebagaimana beberapa waktu lalu dilakukan bersamaku.

Aku tersenyum. Mengetahui nampaknya ilmu pengetahuanmu telah lebih banyak. Tontonanmu kala itu kian memberikan dampak atas diri kamu.

Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih jago dalam menjelaskan. Tak lagi susah dimengerti bagi sebagian orang, termasuk oleh aku. Nampaknya pula, kamu sudah tidak lagi canggung dalam berdebat secara face to face. Keren!

Aku tersenyum. Kala substansi pernyataan kamu menjadi liar. Aku tersenyum karena aku mengetahui betul; itulah dirimu! Seseorang dengan pemikiran liar yang perlu diimbangi.

Suatu ketika, teman lawan debatmu ini bertanya persoalan agama. Sesekali ia mengatakan dirinya memiliki pemikiran liar atas itu. Sepersekian detik setelah ia mengatakan, kamu menatapku.

“belum tahu aku seliar apa ya” 
katamu, sesekali memaikan alis dan tak lupa senyum khasmu.

Lagi-lagi, aku tersenyum; pertanda meng-iyakan. Aku tersenyum karena telah seolah menjadi orang yang paling mengertimu malam itu—walau mungkin nampaknya tidak demikian adanya.

Malam itu, aku penuh dengan senyuman.

Jumat, 13 Desember 2019

Tuan, maukah kau datang berkunjung?



Sebelum mengenalmu, jatuh cinta tidak pernah semenyebalkan ini.
Terkadang, aku benar-benar dibuat bingung bukan main dengan apa yang disebut dengan cinta.
Datang tanpa permisi, lalu dengan seenak hati membuat resah.
Tanpa berdiskusi lebih lanjut dengan sipemilik hati, namun dengan sesuakanya menaruh hati
Ketika sudah dibuat jatuh cinta, aku yang dibuat kelabakan menderita.

Akan kuperkenalkanmu pada seseorang, yang entah karena apa berhasil membuatku gila.
Aku telah mengenalnya selama satu tahun
Namun rasanya, rasa ini baru saja tumbuh beberapa bulan kebelakang
Ia adalah sosok yang tidak sama dengan teman-temannya
Ia adalah sosok yang tumbuh dengan dedikasi tinggi dalam dirinya
Sosok penuh dengan inovasi juga ambisi
Dan baru kukenal lebih jauh ia memiliki pemikiran liar yang ingin sekali kugalih lebih jauh

Untuk kali pertama, jatuh cinta benar-benar membuatku kelabakan
Memikirkannya dengan tiba-tiba benar-benar membuatku resah
Ingin rasanya kuhempas saja rasa ini jauh-jauh
Lalu kembali aku berdamai dengan diriku
Menikmati masa yang tak tahu akan berakhir kapan
Namun, tak kukira melepaskan dari pikiran saja tak semudah perkiraan

Kuberitahu, memang tak ada yang salah dari sekedar menaruh rasa
Aku hanya benci ketika aku tidak lagi mampu mengontrol rasa
Seolah memberi perhatian adalah hal yang biasa
Padahal antara aku dan dia tak pernah merajut asa

Aku ingat betul malam tadi
Malam ketika kali pertama antara aku dan dia menjalin obrolan yang tidak biasa—setidaknya menurutku
Aku ingat betul kala untuk pertama kali aku memberanikan diri untuk mengirimkan suatu pesan terkait suatu hal, yang tanpa terduga menjadi sebuah diskusi panjang antara aku dengannya
Untuk saat itu juga, aku semakin dibuat jatuh hati
Ternyata ia adalah sosok yang lebih bijak dari yang aku kira
Ia adalah lelaki dengan pemikiran liar yang seolah memintaku untuk mengulik lebih dalam
Meski hanya berakhir dengan centang biru
Namun rasanya ini justru semakin menggebu

Aku, memang begitu
Sekeras kepala itu
Terlebih perihal rasa yang semu

Tuan, mari kemari
Sesekali berkunjung pada hati yang nampak telah porak-poranda
Telah kusediakan tempat khusus untukmu bertahta
Namun maaf, hatiku terlihat kacau balau
Bolehkah kau kuminta membenahinya?

Tuan, tak apa bila tak ingin menetap
Cukuplah datang berkunjung
Tak akan kugantung segala harap
Sekali lagi Tuan, maukah kau datang berkunjung?