Selasa, 22 September 2015

Cerpen 5Cm (dikutip dari film)



5CM
Karya Hasri Imroatul Izza



Langit malam tengah tersenyum. Bintang bulan pun ikut serta menyambut dengan senang hati. Aku tak luput menghentikan senyum di saat seperti ini, saat bersama membunuh waktu dengan orang-orang tersayang. Orang-orang itu sahabat. Aku sepertiberada dalam lingkaran bunga-bunga warna bermekaran. Terasa sangat nyaman. Mereka selalu ada, bahkan sampai 10tahun ini. Genta, Arial, Zafran dan Ian, merekalah pahlawanku. Aku Riani, sosok tercantik diantara mereka. kita berbeda, namun perbedaan itulah kita bisa bersama hingga 10tahun ini. Malam ini seperti biasa kita berkumpul dipelantaran rumah Arial yang memang sudah dijadikan basecame untuk kita. Selalu aja ada topik pembicaraan dalam kebersamaan kita. Jika pada akhirnya tak ada topik pembacarraan ketahuilah tertawa tanpa sebabpun sangatlah menyenangkan.

Perut selalu terisi, senyum pun selalu terukir dari mulut kita malam hari ini sebelum Genta akhirnya mengeluarkan suara.
“aku ngerasa kita gini-gini aja”
“aku masih inget pas ian bilang kalau dia gak punya temen lagi selain  kita berlima. Bener gak si?”
“mungkin ada baiknya kita nggak usah ketemuan dulu”

Aku menengadahkan kepalaku. Menatap genta dengan tatapan ‘nggak mau’. Yah aku jadi orang yang paling tidak menginginkan keputusan Genta. Hingga tak terasa butiran air turun tanpa perintah pada pipiku. Mereka menenangkanku layaknya princes, meskipun pada akhirnya kitapun sepakat untuk tidak bertemu untuk sekita 3bulanan.
“kita ketemu lagi tanggal 14 Agustus. Pokoknya nanti aku bikin reminder untuk tanggal 14Agustus dihandphone, tanggal 7 agustus aku kasih tau planningnya lewat sms dimana kita kita bakal ketemuan. Aku yakin rencana kali ini nggak akan kita lupain”
Kalimat itu keluar sebagai penutup kebersamaan terakhir malam ini sebelum kita memutuskan untuk tidak bertemu dan tidak berkomunikasi. Aku masih belum yakin apakah aku bisa melewati tantangan dari genta. Tapi aku yakin Genta telah menyiapkan rencana besar dipertemuan kita nanti.

Hari pun berlalu, hujan telah turun menemani dinginnya malam. Seakan mengerti akan perasaanku malam ini. Ku tengok bingkai yang senantiasa berdiri disudut meja kerjaku. Terpampang jelas foto kita berlima dengan senyum bahagia. Rindu kian memuncak membuatku ingin menghabiskan hari dengan cepat.

Kupandangi laptop 7 Agustus jam 09.00 pagi, Genta mengirim SMS kepada 4 temannya. Selamat pagi semuanya gw kangeeeen bgt sm kalian semua, sumpah! Tgl 14 agt nanti qta ktm di stasiun kereta api senen jam 2 siang. Trus kl ada acara dr 14 – 20 Agustus lo batilin dulu yaa. Please... ini yg hrs dibw kl gak ada minjem ya. Kan ada wkt seminggu: Carrier. Bajuanget yg bnyk.senter dan batere. Makanan dan snack buat 4 hari.... kacamata item.betadine,obat.sendal sepatu.kl bs mulai hari ini olahraga kecil kecilan, apalagi buat Ian.gitu aja ya.sampai ktm distasiun senen jam 2. Genta yg lg kangen.

14 Agustus. Satu lebih tiga puluh lima menit. Siang itu daerah Senen panas sekali. Di stasiun Senen, Genta dengan bawaannya yang superbanyak, menikmati makan siang di salah satu restoran Padang di situ. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh Genta dengan carriernya yang gede, baju oranye menyala, celana pendek, dan kacamata eighties ala Erik Estrada di film CHIPs-membuat Zafran terlihat nyentrik. Sosok Ian dan Riani penuh senyum berlari kecil memasuki Restoran Padang. Arial datang dengan membawa adiknya, Dinda.

Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam plus barang bawaan yang mirip rombongan pecinta alam pun menuju ke kereta yang siap berangkat. Kereta ekonomi MATARMAJA yang entah sudah berapa tahun melayani trayek Malang-Jakarta pulang pergi ini tampak begitu tua dan kumuh, dengan kaca-kaca yang sudah pecah. Setelah membereskan barang bawaan, mereka duduk berenam, berhadap-hadapan. Riani dan Dinda duduk berhadapan di pojok dekat jendela. Genta di sebelah Riani berhadapan dengan Arial, dan Zafran di sebalh Arial berhadapan dengan Ian. Lima menit kemudian kereta pun mulai bergerak meninggalkan Stasiun Senen. Kereta bergerak perlahan dengan sesekali mengeluarkan angin dari sambungan gerbongnya.

Ian lalu lancar bercerita tentang jumpalitannya selama dua bulan. Ia yang pantang menyerah, dua kali penolakan kuisionernya, menakjubkannnya Sukonto Legowo, Mas Fajar, keriputnya tangan Papa-Mama, sidangnya, pokonya semua Ian ceritakan. Arial mulai bercerita tentang Indy, wanita yang telah merebut hatinya, Indy yang tampangnya biasa aja tapi enak dilihat dan nggak bikin bosen. Indy yang selalu mengisi hari-hari Arial selama ini.

Setengah malam telah lewat. Kereta tua yang tak kenal lelah itu mulai menyapa kota-kota di Jawa Tengah, melaju cepat di atas tanah Jawa di malam hari. Jalan desa dan jalan kota-kota tua yang damai dan sepi. Setengan tiga malam di Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Genta, Riani, Zafran, dan Dinda turun dari kereta, menginjakkan kaki di ubin putih yang mulai kekuningan di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Mereka berjalan ke toilet stasiun yang ada di antara para pedagan yang masih mencari rezeki di malam yang terasa lain di hati mereka berempat.

Mereka berempat segera berjalan masuk ke kereta. Perlahan tapi pasti, kereta mulai berjalan meninggalkan Stasiun Lempuyangan. Kereta mulai melaju cepat melewati hutan jati antara Madiun dan Nganjuk. Keenam anak manusia ini pun sudah dari kantuknya, mulai bercanda lagi di kereta. Pagi di luar sangat cerah seakan berdatangan menyambut rombongan yang jauh dari rumah ini.

Pukul setengah tiga lebih mereka tiba di Stasiun Malang. Matahari sore yang sudah enggan mengeluarkan panasnya datang menyambut. Sebelum meninggalkan kereta, sekali lagi mereka pandangi kereta yang terdiam lelah setelah berlari seharian penuh; kereta yang dalam diamnya telah banyak bercerita tentang beragam manusia. Di stasiun Malang, rombongan pecinta alam itu menarik perhatian banyak orang. Rasa  pegal-pegal belum hilang benar dari badan mereka sehingga mereka putuskan untuk duduk sebentar di bangku stasiun yang panjang-meluruskan kaki dan menghilangkan penat.

Matahari sore masih tersisa sedikit, menembus pepohonan di jalan desa kecil. Sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan jip-jip menunggu pendaku yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas carrier besar. Penampilan mereka mirip semua karena memang mempunyai tujuan yang sama: MAHAMERU.

Mereka mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Perjalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan punggung Mahameru.Dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan mereka.

Pukul 02.00 malam, dingin di atas tiga ribu meter. Rombongan itu berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu tertegun melihat Mahameru dalam gelap malam. Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana-mana. Jalur pendakian terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan cahaya senter para pendaki mulai mendaki Mahameru.

Matahari pagi tujuh belas Agustus pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa badan dingin mereka. Keenam anak manusia itu seperti melayang saat menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Waktu seperti terhenti, dataran luas berpasir itu seperti sebuah papan besar menjulang indah di ketinggian menggapai langit, di sekeliling mereka tampak langit biru­-sebiru-birunya-dengan sinar matahari yang begitu dekat. Awan putih berkumpul melingkar di bawah mereka di mana-mana, asap putih tebal yang membubung di depan mereka sekarang terlihat jelas sekali kepulannya. Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Di depan barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.

”…Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung  mengambang di depan kamu. Dan…sehabis itu
yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalar  lebih  jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat  lebih
banyak dari biasanya, mata yang akan menatap  lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering
melihat ke atas. Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras
dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdoa…percaya pada 5 centimeter di depan kening kamu” 
kata Zafran dengan penuh yakin.


Sepuluh tahun kemudian, Minggu pagi di secret garden. Keluarga besar itu berkumpul di bungalow secret garden. Riani dan Dinda memejamkan matanya. Sekarang mereka menjadi seorang ibu. Bungalow secret garden hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di hati anak manusia. Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain.

Sabtu, 12 September 2015

Cerpen Kewirausahaan 'Antara Asa dan Reaita'



Antara Asa Dan Realita
Karya Hasri Imroatul Izza

Ketika bintang  mulai menampakan diri, aku masih tak bergeming dari tempatku. Masih dalam posisi yang sama, menatap lurus tanpa fokus. Hanya secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan. Lagi-lagi, aku memikirkan akan seperti apa masa depan aku dan adik-adiku kelak. Tepat tahun ini aku mulai masuk jenjang masa putih abu-abu, dan dengan bersamaan pula adik keduaku pun memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Perbedaan umur yang terpaut 3tahun membuat ibu yang saat ini berstatus single parent semakin gelisah . Ya, tepat 5tahun lalu ibu melahirkan anak ketiga yang memang memiliki keterbelakangan mental. Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi. Semenjak itu hanya ibulah yang kami punya. Ibu membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu. Ingin rasanya aku tak melanjutkan sekolah dan membantu ibu. Namun selalu ditolak mentah-mentah olehnya.

Hingga suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku. Dari pantulan cermin itu, terlihat aku untuk pertama kalinya sedang mengenakan seragam putih abu-abu. Segera aku berniat menunjukannya pada ibu, namun seketika niatku terurung tatkala melihat ibu yang berulang kali mengusap keringat sembari menyiapkan jajanan kecil yang selama ini dijadikan barang untuk menunjang hidup kami. Tersirat raut pilu penuh derita dari wajah keriputnya. Kulangkah kan kaki ku menuju ibu..
“ibu, aku tak ingin melanjutkan sekolah lagi, aku ingin membantu ibu saja”
“kamu harus sekolah nak, ibu tidak mau kamu menjadi seperti ibu kelak, kamu harus sukses nantinya”
Aku kemudian memeluk ibuku dengan erat dan tak sengaja air mata jatuh dari dalam mataku. Segera aku usap airmata itu.
“bu, bagaimana kalau Rani bantu ibu jajakan dagangan disekolah? Pasti teman-teman disekolah baru Rani suka. Jajan buatan ibu kan enak”

Aku mengatakan itu dengan raut antusias yang menghiasi wajah manisku. Awalnya, ibu menolaknya karena sekolah ku ini merupakan sekolah elite di kotaku. Aku pun tak menyangka dapat masuk kesekolah yang berkebalikan dengan kehidupanku ini. Namun ini bukanlah kemauanku tapi berkat beasiswa yang aku terima. Hingga kemudian rasa antusiasku ini akhirnya dapat meluluhkan hati ibu. Dan mulai hari ini aku membawa sebagian jajanan itu untuk aku tawarkan di sekolah nanti.
“Yo ayo dibeli jajanan kecil buatan ibuku, enak lho coba deh murah lagi”
Hari pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka. Namun aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang sebenarnya salah memasuki tempat. Tetapi aku masih bersyukur masih ada orang yang berbaik hati membeli jajanan kecil buatan ibuku bahkan mau jadi temanku.
Hingga tak terasa sudah berhari-hari aku melakoni pekerjaan ini. Pekerjaan yang hanya aku lakukan ketika bel istirahat berbunyi. Aku melakukannya dengan senang hati. Sebenarnya rasa malu seringkali menghantuiku namun malu itu terasa lenyap begitu saja ketika raut pilu ibu terputar di otakku. Aku bersyukur karna Allah memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis.

Hari ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini menggangguku tiba-tiba muncul, ya sekarang aku mengetahui dialah Dimas cs. Ia menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak jajananku. Aku memberontak namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi meninggalkanku begitu saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Aku menangis sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali melanjutkan perjalanan ke sekoah.

Sepulang sekolah segera ku mencari ibu,berniat meminta maaf karena telah merusak jajan buatannya. Namun kulihat ibu sedang menangis disebelah Shinta adiku yang memilii keterbelakangan mental. Kudatanginya hingga aku tau bahwa adiku ini demam tinggi. Aku menangis. Baru tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat Shinta demam tinggi. Aku lihat dagangan ibu diluar pun masih utuh, kita tak punya uang sama sekali untuk biaya pengobatan adiku. Aku memeluk ibu, mencoba tenang akan musibah yang bertubi-tubi ini.
Semenjak itu, kami semua bekerja lebih giat agar segera dapat uang untuk pengobatan Shinta. Selama ini shinta hanya diberi obat alakadarnya, adiku yang kedua yang meracikan obat herbal hasil cariannya di hutan setiap sore. Sedang ibu, kini bekerja siang malam. Ketika pagi hingga sore menjual jajanan kecil buatannya, dan ketika malam datang ibu menjadi tukang cuci tetangga. Hasil yang tak seberapa namun setidaknya cukup untuk makan serta untuk berobat shinta seadanya. Selain ibu aku pun bekerja lebih giat lagi. Setiap pulang sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana. Suara ku yang bisa dibilang merdu membuat aku mendapatkan uang lebih banyak. Aku melakukan ini tanpa sepengatahuan ibuku. Sepulangnya aku menyerahkan semua uang pada ibu dan mengatakan aku telah belajar kelompok .Sungguh aku terpaksa berbohong seperti ini.

Keesokan harinya aku membawa dagangan lebih banyak dari biasanya. Aku ingin membantu ibu lebih banyak lagi. Namun lagi-lagi Dimas menggangguku. Ia mulai memporak-porandakan daganganku. Wajah pilu ibu dan adiku shinta tiba-tiba datang dalam otaku dan membuatku berontak keras seketika
“kalian itu apa-apaan sih? Aku salah apa sama kalian sampai kalian jahat sama aku? Pernah aku nglukain kalian nyakitin kalian? Selama ini aku diam aja karna aku yakin kalian bakal berubah. Tapi aku salah kalian malah makin menjadi-jadi. Aku memang orang miskin yang bahkan seharusnya ngga pantas disini. Kalau aku emang punya salah sama kalian aku minta maaf. Dan kalau kamu benci aku, pukul aku! Jangan rusak daganganku! Karna aku butuh ini untuk biaya pengobatan adiku!”
Aku menangis seraya memunguti jajanan yang sudah separuh terhempas dilantai lalu segera pergi meninggalkan mereka. aku tau pasti mereka teramat kaget melihat reaksiku yang seperti itu namun aku tak peduli, karna ini memang demi adiku, demi keluargaku. Dalam hati ku berkata aku benci mereka.

Setelah menyalami ibu, seperti biasa aku membawa tas kuningku lalu mulai melangkahkan kaki. Namun kali ini, bukanlah sekolah tujuan ku akan tetapi sebuah warteg dijalan Hanoman lah tujuanku. Segera aku titipkan daganganku untuk dijual disana lalu bergegas berganti baju dan segera mengamen. Semenjak ulah Dimas cs kemarin, aku berniat untuk tidak bersekolah dan memilih merauk uang di jalan Hanoman, aku hanya takut jajanan yang seharusnya dapat menghasilkan uang justru malah sia-sia tak berhasil karena ulah Dimas. Telah satu minggu sudah aku melakoni sandiwara ini. Ya Allah apa yang aku perbuat, aku sudah membohongi ibu selama ini.. tapi Demi Allah aku melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku. Dalam hati ku menangis, ibu maafkan Rina

Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil bekerjaku seharian ini. Tak lupa juga dengan mengenakan seragam putih abu-abu yang aku kenakan saat aku pergi tadi pagi. Segera kudatangi ibu dan menyerahkan uang hasil kerjaku.
“ibu tidak butuh uang dari cara yang tidak benar”  aku kaget bukan main ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut ibu ku.
“ibu..”
“kemana saja kamu satu minggu ini tidak sekolah? Ibu mendapat surat peringatan dari sekolah bahwa kamu tidak sekolah tanpa keterangan satu minggu ini. sejak kapan kamu pandai berbohong? Ibu tidak pernah mengajari kamu berbohong.”
“ibuu Rina minta maaf bu, Rina terpaksa melakukan ini karna Rina ingin bantu ibu lebih banyak. Rina Cuma ingin Shinta mendapat peengobatan yang layak. Rina minta maaf bu..” aku menangis tersedu yang kemudian tersungkur di depan ibu
“membantu itu tidak dengan cara yang salah. Untuk apasih kita punya berjuta-juta uang tapi didapat dari cara yang salah? Kejujuran itu kunci kehidupan. Tapi kamu merusaknya. Ibu kecewa Rina”
Sekarang aku dapat melihat bulir-bulir air mulai jatuh dari dalam mata sayu nya.. dada ku semakin sakit melihat orang yang paling aku sayang menangis karena sikapku. Segera ku peluk kakinya dan menangis tenggelam disana.
“Rina minta maaf bu.. Rina janji Rina nggak bakal ngulang ini lagi, Rina nggak bakal ngecewain ibu lagi.. demi Allah bu.. pegang janji Rina”
Ibu membangunkanku dari kakinya, lalu kemudian memeluku dengan erat. Aku kian menangis dalam pelukannya. Kata maaf tak hentinya terucap dari bibirku..
“iyaa nak nggapapaa tak usah menangis lagi.. jangan diulangin yaa.. ibu nggak mau anak ibu jadi pembohong seperti itu”
“iyaa bu Rina janji nggak akan ngecewain ibu kedua kalinya”

Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya. Aku beraktivitas seperti biasa lagi berangkat sekolah dengan menenteng tas kuningku. Namun kali inilangkahku  kembali ke tempatku menimba ilmu sekaligus berniaga, ya itulah sekolahku. Aku menjalani hari ini dengan ceria tanpa ada pengganggu yang memporak-porandakan jajananku lagi. Seharian ini aku tak bertemu dengan Dimas cs, entah kemana mereka aku sama sekali tak peduli. 

Langit sudah mulai menghitam seakan mengajakku untuk segera pulang. Aku melangkahkan kakiku dengan ceria, menuju gubuk reyot tempatku selama ini tinggal. Namun tak kudapati siapapun didalamnya. Hanya alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang tersisa. Segera aku datangi rumah tetangga untuk menanyakan keberadaan ibu. Namun betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa ibu dan adiku sedang membawa Shinta ke Rumah Sakit. Senyum tak sengaja tersungging di bibir ku. Dan tanpa basa basi aku segera berlari menuju Rumah Sakit yang telah ditunjuk tetanggaku.
Sesampainya di Rumah Sakit segera aku cari atas nama adiku dan menuju ke ruang yang telah diberi petunjuk resepsionis. Kulihat dari kejauhan wanita tua dengan anak seusia SMP. Ya, itu ibu dan adik keduaku. Aku kemudian menghampirinya dengan langkah tak santai.
“ibu, uang kita sudah cukup untuk biaya berobat Shinta ya bu? Allhamdulillah”
“bukan ibu yang membawa Shinta kesini, tapi teman-teman kamu”
Keningku seketika berkerut mendengar ucapan ibu “Teman-temanku?”
“iyaa.. itu mereka dibelakang kamu”

Segera aku menoleh kearah yang ditunjuk ibu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Dimas cs lah yang ibu maksud. Aku masih menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin mereka melakukannya? Atau ibu yang sedang membohongiku? Tapi ibu tak mungkin berbohong kepadaku. Kulihat langkah mereka kian mendekat kearahku. Lalu kulihat pula salah satu diantara mereka mulai mencoba mengeluarkan suara, dia Dimas.
“ini sebagai permintaan maaf kita Rin. Kamu tak usah memikirkan biaya karena semua sudah menjadi tangung jawabku. Aku sadar ggak seharusnya aku ngejahatin kamu yang tak bersalah sama sekali. Sebenarnya dari awal aku tertarik sama kamu. Dan inilah yang menjadikan alasan aku untuk terus mengerjai kamu. Hanya karna aku ingin selalu menjadi sosok yang selalu kamu fikirkan. Tapi cara aku salah. Ini justru menyiksa kamu, sangat menyiksa. Aku dan teman-temanku minta maaf.. aku harap kamu bisa memaafkan kami dan mau bersahabat dengan kami”

Darahku seketika terasa membeku. Aku terpaku. Tak mampu mengatakan apapun, aku telah dibuatnya mati gaya. Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
“Rina anak baik, ia pasti akan memaafkan kalian kok. Iya kan nak?”
Ibu yang sepertinya menyadari sikapku mencoba mengisi keheningan diantara kita. Aku yang masih dalam proses pembiasaan diri pun hanya bisa menganggukan kepala, dengan arti aku meng-iya kan apa yang telah ibu bicarakan.
Mulai saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya. Dan mereka senantiasa membantuku menjajakan daganganku ke sekitar sekolah. Sekarang aku mengerti , keberubahan akan terjadi pada siapapun dan kapanpun waktunya. Dan setiap musibah pasti ada hikmah yang dapat diambil Mulai sekarang aku selalu berhati-hati dalam bertindak dan selalu jujur dalam berucap.









Unsur intrinsik
1.      Tema                           : Perjuangan membantu perekonomian keluarga
2.      Penokohan/watak        :
a.       Aku
-          Suka membantu (dramatik) Hingga kemudian rasa antusiasku ini akhirnya dapat meluluhkan hati ibu. Dan mulai hari ini aku membawa sebagian jajanan itu untuk aku tawarkan di sekolah nanti
-          Sabar (dramatik) : Bahkan ada segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka
-          Giat Bekerja (analitik) : Selain ibu aku pun bekerja lebih giat lagi. Setiap pulang sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana. Suara ku yang bisa dibilang merdu membuat aku mendapatkan uang lebih banyak.
-          Menghalalkan segala cara (dramatik) :  Setiap pulang sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana. Suara ku yang bisa dibilang merdu membuat aku mendapatkan uang lebih banyak. Aku melakukan ini tanpa sepengatahuan ibuku. Sepulangnya aku menyerahkan semua uang pada ibu dan mengatakan aku telah belajar kelompok .Sungguh aku terpaksa berbohong seperti ini.
-          Dapat belajar dari peristiwa (dramatik) : Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya. Aku beraktivitas seperti biasa lagi berangkat sekolah dengan menenteng tas kuningku.
b.      Ibu
-          Pekerja Keras (dramatik): Sedang ibu, kini bekerja siang malam. Ketika pagi hingga sore menjual jajanan kecil buatannya, dan ketika malam datang ibu menjadi tukang cuci tetangga. Hasil yang tak seberapa namun setidaknya cukup untuk makan serta untuk berobat shinta seadanya.keriputnya
-          Sabar (dramatik) : Ya, tepat 5tahun lalu ibu melahirkan anak ketiga yang memang memiliki keterbelakangan mental. Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi. Semenjak itu hanya ibulah yang kami punya. Ibu membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu
c.       Dimas
-          Pengganggu (analitik): Hari ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini menggangguku tibatiba muncul, ya sekarang aku mengetahui dialah Dimas cs.
-          Baik hati dan dapat mengakui kesalahan (dramatik dengan tingkah laku): ini sebagai permintaan maaf kita Rin. Kamu tak usah memikirkan biaya karena semua sudah menjadi tangung jawabku.
d.      Adik Kedua
-          Tekun : Adiku yang kedua yang meracikan obat herbal hasil cariannya di hutan setiap sore
.
3.      Alur
Alur maju (Progresif)



Tahapan Alur:
a.       Pendahuluan :
Ketika senja mulai menampakan diri, aku masih tak bergeming dari tempatku. Masih dalam posisi yang sama, menatap lurus tanpa fokus. Hanya secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan. Lagi-lagi, aku memikirkan akan seperti apa masa depan aku dan adik-adiku kelak. Tepat tahun ini aku mulai masuk jenjang masa putih abu-abu, dan dengan bersamaan pula adik keduaku pun memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Perbedaan umur yang terpaut 3tahun membuat ibu yang saat ini berstatus single parent semakin gelisah . Ibu membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu. Ingin rasanya aku tak melanjutkan sekolah dan membantu ibu. Namun selalu ditolak mentah-mentah olehnya.
Hingga suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku. Dari pantulan cermin itu, terlihat aku untuk pertama kalinya sedang mengenakan seragam putih abu-abu. Segera aku berniat menunjukannya pada ibu, namun seketika niatku terurung tatkala melihat ibu yang berulang kali mengusap keringat sembari menyiapkan jajanan kecil yang selama ini dijadikan barang untuk menunjang hidup kami. Tersirat raut pilu penuh derita dari wajah keriputnya.
b.      Komplikasi/Penanjakan :
Hari pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka. Namun aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang sebenarnya salah memasuki tempat. Tetapi aku masih bersyukur masih ada orang yang berbaik hati membeli jajanan kecil buatan ibuku bahkan mau jadi temanku.

c.       Konflik
-          Hari ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini menggangguku tibatiba muncul, ya sekarang aku mengetahui dialah Dimas cs. Ia menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak daganganku. Aku memberontak namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi meninggalkanku begitu saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Ia melakukan itu hampir setiap hari
-          Baru tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat Shinta demam tinggi. Aku lihat dagangan ibu diluar pun masih utuh, kita tak punya uang sama sekali untuk biaya pengobatan adiku. Aku memeluk ibu, mencoba tenang akan musibah yang bertubi-tubi ini.
-          Telah satu minggu sudah aku melakoni sandiwara ini. Ya Allah apa yang aku perbuat, aku sudah membohongi ibu selama ini.. tapi Demi Allah aku melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku. Dalam hati ku menangis, ibu maafkan Rina
-          Ibu pada akhirnya mengetahui kebohonganku karena mendapat surat peringatan dari pihak sekolah. Ibu sengat kecewa padaku karena aku telah tega membohonginya dan diriku sendiri.

d.      Peleraian
-          Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya

-          Mulai saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya. Dan mereka senantiasa membantuku menjajakan daganganku ke sekitar sekolah. Sekarang aku mengerti , keberubahan akan terjadi pada siapapun dan kapanpun waktunya. Dan setiap musibah pasti ada hikm ah yang dapat diambil Mulai sekarang aku selalu berhati-hati dalam bertindak dan selalu jujur dalam berucap.


4.      Setting/Latar
a.       Tempat:
-          Kamar : Hingga suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku
-          Jalanan : Aku menangis sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali melanjutkan perjalanan ke sekoah.
-          Jalan Hanoman : Setiap pulang sekolah aku langsung menuju perempatan jalan Hanoman untuk mengamen disana
-          Gubuk Reyot : Aku melangkahkan kakiku dengan ceria, menuju gubuk reyot tempatku selama ini tinggal
-          Sekolah : Namun kali inilangkahku  kembali ke tempatku menimba ilmu sekaligus berniaga, ya itulah sekolahku
-          Rumah Sakit: Sesampainya di Rumah Sakit segera aku cari atas nama adiku dan menuju ke ruang yang telah diberi petunjuk resepsionis.
b.      Waktu
-          Malam : Ketika bintang mulai menampakan diri, aku masih tak bergeming dari tempatku
-          Sore Hari : Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil bekerjaku seharian ini.
c.       Suasana
-          Sedih : Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi. Semenjak itu hanya ibulah yang kami punya. Ibu membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu
“Aku memberontak namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi meninggalkanku begitu saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Aku menangis sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali melanjutkan perjalanan ke sekoah.”
“Aku menangis tersedu yang kemudian tersungkur di depan ibu”
“Aku menangis. Baru tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat Shinta demam tinggi”
-          Bahagia
“Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil bekerjaku seharian ini.”
“Aku bersyukur karna Allah memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis”

5.      Sudut Pandang
Sudut pandang orang pertama : “Hingga suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku”




6.      Amanat
“Jangan terpaksa menghalalkan cara yang salah walau dalam keadaan sesulit apapun itu”
“Jujurlah dalam hal sekecil apapun karena jujur adalah kunci kesuksesan”
“Membantu kecil dengan cara yang halal akan jauh lebih baik daripada dalam skala besar namun dengan kesalahan besar pula”

7.      Gaya Bahasa
a.       Personifikasi : “. Dalam hati ku berkata aku benci mereka”
b.      Hiperbola : “Segera ku peluk kakinya dan menangis tenggelam disana
“Darahku seketika terasa membeku. Aku terpaku. Tak mampu mengatakan apapun, aku telah dibuatnya mati gaya. Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
Unsur Ekstrinsik
Tidak ada Latar belakang dan Biografi Pengarang.
Nilai-nilai Sastra :
a.       Agama : “Aku bersyukur karna Allah memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis”
b.      Sosial : “ini sebagai permintaan maaf kita Rin. Kamu tak usah memikirkan biaya karena semua sudah menjadi tangung jawabku.”
c.       Moral : “membantu itu tidak dengan cara yang salah. Untuk apasih kita punya berjuta-juta uang tapi didapat dari cara yang salah? Kejujuran itu kunci kehidupan. Tapi kamu merusaknya”






















Struktur Kebahasaan Cerpen
1.    Abstrak
Aku hanya tinggal bersama ibuku dan kedua adiku setelah ayahku memilih pergi meninggalkan kami ketika ibu melahirkan anak ketiga yang memiliki keterbelakangan mental. Semenjak itu, hanya ibulah yang membesarkan kami dengan berjualan jajanan kecil buatanya.
Sebenarnya aku tak ingin melanjutkan sekolah karena ingin membantu ibu, namun ibu selalu menolaknya dan menyuruhku untuk tetap bersekolah. Akupun kemudian melakoni keduanya, bersekolah sembari berjualan. Tak jarang aku mendapat cemoohan dari teman-temanku. Ya wajar karna sekolahku sekolah elite dan aku pun dapat disini karena beasiswaku.
Suatu hari aku bertemu dengan segerombolan lelaki yang memang sering menggangguku. Bahkan seringkali ia dengan sengaja menjatuhkan jajanan jualanku. Lambat laun aku mengenalnya, dialah Dimas cs. Aku hanya bisa bersabar ketika ia mulai melakukan aksinya.
Saati ini adiku terkena demam tinggi. Ibuku semakin bingung. Ia kemudian bekerja siang malam. Akupun berniat membantu ibu lebih giat lagi. Hingga suatu hari aku berbohong dan selalu menyempatkan diri setiap pulang sekolah untuk mengamen di perempatan hanoman. Aku terpaksa melakukan ini. Itu aku lakukan berulang-ulang. Hingga suatu ketika dimas cs kembali berulah. Ia memporak-porandakan jajananku. Kali ini aku tak lagi sabar. Aku berontak. Sampai keesokan harinya aku memilih untuk tak sekolah dan menitipkan jajananku diwarteg. Sedangkan aku berlari menuju perempatan untuk kembali mengamen.
Tak kusangka, seminggu sudah aku melakoni ini. Hingga pada suatu hari ibu mengetahui kebohonganku itu kecewa besar terhadapku. Aku hanya sanggup menyesal. Dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Hari-hari kulewati dengan biasa, ketika aku pulang sekolah aku tak mendapati siapapun dalam rumah. Akupun bertanya pada tetangga kemana ibu dan adiku sekarang. Mereka mengatakan jika ibu sedang membawa adik bungsuku berobat di Rumah sakit. Tak sabar aku segera kesana dan menemui ibu untuk mengungkapkan kebahagiaanku karena dapat membawa adik berobat. Namun ibu mengatakan jika yang membawa adik kesini ialah Dimas cs. Aku terkejut bukan main. Lebih terkejut ketika mendengar pengakuan Dimas yang mengatakan jika ia tertarik denganku sejak awal pertemuan kita. Dan melakukan semuanya semata-mata ingin menjadi sosok yang senantiasa aku fikirkan. Aku tak menghiraukan pengakuanya karna aku tak ingin mengenal cinta dahulu. Dan akhirnya kita pun bersahabat dan Dimas kini tak lagi mengganggu, tetapi membantuku.

2.    Orientasi
a.       Ketika bintang  mulai menampakan diri, aku masih tak bergeming dari tempatku. Masih dalam posisi yang sama, menatap lurus tanpa fokus. Hanya secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan. Lagi-lagi, aku memikirkan akan seperti apa masa depan aku dan adik-adiku kelak.
b.      Hari pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka
c.       Hingga tak terasa sudah berhari-hari aku melakoni pekerjaan ini. Pekerjaan yang hanya aku lakukan ketika bel istirahat berbunyi. Aku melakukannya dengan senang hati. Sebenarnya rasa malu seringkali menghantuiku namun malu itu terasa lenyap begitu saja ketika raut pilu ibu terputar di otakku. Aku bersyukur karna Allah memberiku kemudahan sehingga daganganku laris manis.
d.      Langit sudah mulai menghitam seakan mengajakku untuk segera pulang. Aku melangkahkan kakiku dengan ceria, menuju gubuk reyot tempatku selama ini tinggal. Namun tak kudapati siapapun didalamnya. Hanya alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang tersisa. Segera aku datangi rumah tetangga untuk menanyakan keberadaan ibu. Namun betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa ibu dan adiku sedang membawa Shinta ke Rumah Sakit.

3.      Komplikasi
Semenjak ayah pergi meninggalkan kami, hanya ibulah harapan kami. Ingin rasanya aku berhenti sekolah untuk membantu ibu berjualan. Namun ibu menolak mentah-mentah dan pada akhirnya aku memutuskan untuk sekolah sembari berjualan. Ketika berjualan disekolah, aku mendapat tatapan yang tak mengenakan dan cemoohan dari temanku. Maklum saja sekolahku sekolah favorit. Selama menjajakan dagangan, tak jarang aku mendapat gangguan dari segerombolan lelaki yang kuketahui Dimas cs. Ia sering menggangguku bahkan menghancurkan daganganku.

4.    Evaluasi
Dimas cs semakin sering menggangguku hingga menjatuhkan daganganku sampai akhirnya tak dapat dijual. Aku pasrah saja. Hingga pada suatu hari adiku terkena demam tinggi. Ibu semakin risau bekerja siang malam mengumpulkan uang. Aku pun begitu. Setiap sekolah aku selalu menyempatkan diri ke perempatan hanoman untuk mengamen disana, ketika pulang aku hanya mengatakan usai belajar kelompok.
Dimas kembali menggangguku dan mengacaukan daganganku. Dan mulai saat itu aku memilih tak masuk sekolah dan menitipkan daganganku di warteg sekitar jalan Hanoman, sedang aku mengamen disana. Tak terasa telah seminggu sudah aku membohongi ibu. Dan suatu ketika ibu mengetahui kebohonganku dari surat pernyataan dari sekolah. Ibu sangat marah dan kecewa terhadapku.

5.                         Resolusi
Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak. Tak ingin mengecewakan ibu untuk kedua kalinya. Aku beraktivitas seperti biasa lagi berangkat sekolah dengan menenteng tas kuningku. Namun kali inilangkahku  kembali ke tempatku menimba ilmu sekaligus berniaga, ya itulah sekolahku. Aku menjalani hari ini dengan ceria tanpa ada pengganggu yang memporak-porandakan jajananku lagi. Seharian ini aku tak bertemu dengan Dimas cs, entah kemana mereka aku sama sekali tak peduli.
Suatu hari aku tak menemui ibu dan adik-adiku. Ketika aku bertanya pada tetangga mereka mengatakan jika ibu sedang membawa adiku berobat. Aku langsung menuju rumah sakit. Dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui jika Dimas cs lah dibalik semuanya. Ia yang membiayai biaya perobatan adiku. Aku lebih terkejut ketika mengetahui pernyataan Dimas bahwa dia telah menyukaiku sejak awal pertemuan kami. Dan semua gangguan sengaja ia lakukan untuk menarik perhatianku. Dan pada akhirnya sekarang kita menjadi sahabat dan ia bukan lagi sosok pengganggu melainkan sahabat yang senantiasa membantuku.

6.                         Koda
“Jangan terpaksa menghalalkan cara yang salah walau dalam keadaan sesulit apapun itu”
“Jujurlah dalam hal sekecil apapun karena jujur adalah kunci kesuksesan”
“Membantu kecil dengan cara yang halal akan jauh lebih baik daripada dalam skala besar namun dengan kesalahan besar pula”
KAIDAH KEBAHASAAN

1.      Kosa Kata
a.       single parent          : sebutan untuk orang tua yang hanya satu (entah cerai atau ditinggal meninggal)
b.      tatkala                    : ketika
c.       memporak-porandakan: menghancurkan
d.      arogan                    : berantakan/angkuh

2.      Kata Benda dan Kata Kerja
a.       Kata benda
1)      Aku           : Hari pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan
2)      Ibu                         : Hingga pada suatu hari ibu mengetahui kebohonganku
3)      Dimas        :Dimas cs semakin sering menggangguku hingga menjatuhkan daganganku
4)      Seragam Putih abu-abu : terlihat aku untuk pertama kalinya sedang mengenakan seragam putih abu-abu
5)      Cermin usang         :Hingga suatu hari, aku menatap pantulan cermin usang dikamarku lalu seutas senyum terukir dari bibirku
6)      Alat-alat rumah tangga : Hanya alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang tersisa
7)      Jajanan                  : Ia menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak jajananku.
b.      Kata Kerja
1)      Menatap     : Masih dalam posisi yang sama, menatap lurus tanpa fokus
2)      Membesarkan : Ibu membesarkan kami dengan penuh cinta dan pilu.
3)      Memilih     : Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi
4)      Menoleh    :  Segera aku menoleh kearah yang ditunjuk ibu
5)      Membawa  :  seperti biasa aku membawa tas kuningku itu ..
6)      Melakukan :  Tapi Demi Allah aku melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku.

3.      Makna Denotasi dan Konotasi
a.       Makna Denotasi
-          Namun ini bukanlah kemauanku tapi berkat beasiswa yang aku terima
-          Keesokan harinya aku membawa dagangan lebih banyak dari biasany
-          Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak
-          Mulai saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya.
b.      Makna Konotasi
-          Hanya secercah cahaya keajaiban yang senantiasa aku harapkan
-          Langit sudah mulai menghitam seakan mengajakku untuk segera pulang.
-          Darahku seketika terasa membeku. Aku terpaku
-          . Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.


4.      Gaya Bahasa
a.       Majas Perumpamaan/ Asosiasi
-          sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
b.      Personifikasi
-          Dalam hati ku berkata aku benci mereka”
c.       Hiperbola
-          Segera ku peluk kakinya dan menangis tenggelam disana
-          Darahku seketika terasa membeku.
-          Aku terpaku. Tak mampu mengatakan apapun, aku telah dibuatnya mati gaya. Bukan hanya karena pernyataan perasaannya, tetapi akan sikapnya yang selama ini ia kenal arogan menjadi lembut bagaikan malaikat.
d.      Metonimia
-          Seperti biasa aku membawa tas kuningku lalu mulai melangkahkan kaki

5.      Kalimat yang menjelaskan peristiwa terjadi
-          Segera aku berniat menunjukannya pada ibu, namun seketika niatku terurung tatkala melihat ibu yang berulang kali mengusap keringat sembari menyiapkan jajanan kecil yang selama ini dijadikan barang untuk menunjang hidup kami
-          Sepulang sekolah segera ku mencari ibu,berniat meminta maaf karena telah merusak jajan buatannya.
-          Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil bekerjaku seharian ini.

6.      Konjungsi
a.       Konjungsi Waktu
-          Sepulang sekolah segera ku mencari ibu,berniat meminta maaf karena telah merusak jajan buatannya
-          Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil bekerjaku seharian ini.
-          Setelah menyalami ibu, seperti biasa aku membawa tas kuningku lalu mulai melangkahkan kaki.
-          Sesampainya di Rumah Sakit segera aku cari atas nama adiku dan menuju ke ruang yang telah diberi petunjuk resepsionis
b.      Konjungsi Sebab
-          Demi Allah aku melakukan ini karena himpitan ekonomi yang memaksaku
c.       Konjungsi Akibat
-          Hingga tak terasa sudah berhari-hari aku melakoni pekerjaan ini
-          Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi
d.      Konjungsi Pertentangan
-          Namun ibu mengatakan jika yang membawa adik kesini ialah Dimas cs.
-          Namun ayah tak bisa menerima kenyataan hingga kemudian memilih pergi
-          aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang sebenarnya salah memasuki tempat.
-          Namun ini bukanlah kemauanku tapi berkat beasiswa yang aku terima.




7.      Kata Ulang
a.       Kata ulang asli/utuh
-          Baru tadi pagi aku mendapat musibah dari Dimas dan kawan-kawan, sekarang aku lihat Shinta demam tinggi
-          Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini menggangguku tiba-tiba muncul
-          alat-alat rumah tangga ala kadarnya yang tersisa

b.      Kata ulang berimbuhan
-          Mulai saat itu, aku berteman baik dengan Dimas dan kawan-kawannya

c.       Kata ulang sebagian
-          memporak-porandakan jajananku
-          Aku memeluk ibu, mencoba tenang akan musibah yang bertubi-tubi ini.
-          Tapi aku salah kalian malah makin menjadi-jadi.
-          Semenjak itu, aku selalu berhati-hati dalam bertindak.

8.       Keterangan Waktu
-          “Sore harinya, aku pulang dengan wajah sumringah menenteng segepok uang hasil bekerjaku seharian ini. Tak lupa juga dengan mengenakan seragam putih abu-abu yang aku kenakan saat aku pergi tadi pagi. Segera kudatangi ibu dan menyerahkan uang hasil kerjaku.”
-          “Hari ini seperti biasa aku berangkat sembari menenteng tas kuning berisi jajanan ditangan kananku. Namun langkahku terhenti tatkala segerombolan lelaki yang akhir-akhir ini menggangguku tiba-tiba muncul, ya sekarang aku mengetahui dialah Dimas cs. Ia menjatuhkan tas ku dan menginjak-injak jajananku. Aku memberontak namun apa daya jajananku telah hancur dan mereka pergi meninggalkanku begitu saja dengan jajanan yang berserakan ditanah. Aku menangis sembari memungutinya. Lalu dengan langkah gontai aku kembali melanjutkan perjalanan ke sekoah.
-          “Hari pertama aku jualan disekolah mendapat puluhan sikap tak mengenakan. Bahkan ada segerombolan lelaki yang sengaja menjatuhkan daganganku. Aku tak menghiraukannya. Segera ku pungut jajanan itu lalu pergi meninggalkan mereka. Namun aku tak menyalahkan mereka, mereka tak salah karna memang aku lah yang sebenarnya salah memasuki tempat. Tetapi aku masih bersyukur masih ada orang yang berbaik hati membeli jajanan kecil buatan ibuku bahkan mau jadi temanku”