Sabtu, 04 April 2020

Jiwa Yang Tertinggal




“Hah Iyakah?!?!?!?!?!?”

Teriakan itu terdengar jelas dari toilet. Ah nampaknya perempuan manis itu masih saja mempertahankan kebiasaan joroknya—membawa ponsel saat ke Toilet. Suara berat dari ujung telepon ternyata mampu membuat perempuan itu teriak hingga hampir jatuh tersungkur dalam closet. Tangisnya kemudian tumpah. Ah perempuan macam apa yang mengeluarkan airmata di dalam Toilet? Tidak habis pikir.

***
Perempuan dalam penggalan cerita diatas adalah aku. Tentu teriakan yang kuhasilkan didalam Toilet bukan tanpa alasan. Masih tergambar jelas, bagaimana vibes saat itu. Hari dimana menjadi penentu apakah aku bertahan di Depok untuk meneruskan Les Gratisku, atau kemudian hengkang dari tempat les lebih dini untuk mempersiapkan berkas yang diinginkn. Ya, saat itu untuk pertama kalinya aku merantau lebih dulu dibandingkan teman-teman yang lain untuk keperluan Les Gratis Persiapan SBMPTN karena aku berhasil menjadi salah satu yang lolos dalam seleksi peserta Les Gratis.
Benar, hari itu adalah hari dimana SNMPTN diumumkan.

“Koran mana yang harus ayah baca untuk bisa melihat nama-nama yang dinyatakan lolos?” suara sebrang telepon itu memulai pembicaraan dengan antusias.

“Ah Ayah, ini sudah bukan lagi jamannya. Pengumuman dapat dilihat via website. Akan kukirimkan beberapa link yang dapat diakses beserta username dan password untuk dapat kau akses”

“Oh okey”
Lalu segera saja kukirimkan link, lengkap dengan username dan password padanya. Namun tak lama, handphone ku kembali bordering. Lagi-lagi, namanya terlihat jelas pada layar telepon.

“Mbak, berapa tanggal lahirmu? Disini dimintakan itu”
Kali ini aku tertawa, bagaimana mungkin ayah lupa hari dimana ia untuk pertama kalinya dinyatakan sebagai ayah? Ah tak apa, perkara lupa bagi orangtua adalah hal yang biasa, bukan?. Tanpa basa-basi ku sebutkan tanggal lahirku.  Lalu akupun mencoba masuk dalam web untuk segera mengetahui hasil, walau selalu gagal dibuatnya. Hingga pada akhirnya kumemilih untuk menunaikan sholat sunnah Dhuha, sembari menunggu web dapat diakses. Ah iya, kuakui tingkat religiusku meningkat drastic pasca Ujian Nasional, alasanku simple, agar diberikan kemudahan dalam proses masuk Perguruan Tinggi. Entahlah termasuk baik atau buruk, namun ini berlangsung cukup lama, hingga aku mulai cukup terbiasa.

Ah nampaknya kerisauanku akan hasil berdampak pada pencernaan. Tiba-tiba saja aku ingin ke Toilet. Panggilan alam ini benar-benar tak tau waktu. Seolah telah menjadi kebiasaan kala itu, handphone pun tak luput dari genggaman saat aku memasuki toilet. Menjijikan? Jelas. Siapa yang bilang tidak?!

Lagi-lagi dering pada telepon-ku memecah keheningan. Nama yang tertera pun masih sama. Kali ini kumatikan kran air, paling tidak agar tidak diketahui bahwa aku sedang di Toilet atau amarah khas-nya terdengar dari ujung telepon sana.

“Mbak, Ini warna hijau! Kamu lolos!”

“Hah Iyakahh?!?!?” Teriakan darinya benar-benar membuatku girang hingga hampir saja terjerembab dalam closet.

“Ilmu Hukum – Universitas Indonesia, mbak”
Alhamdulillah. Entah kurefleks saja mengucap hamdallah, walau kuketahui sedang berada di Toilet. Kali ini, aku benar-benar kehabisan kata untuk kembali merespon. Aku hanya menangis mengetahui kenyataan yang nampak satu jalan dengan mimpi besar, mimpi utamaku – melanjutkan di Universitas Indonesia. Tak lama setelah itu, segera saja kuhubungi kakak pengajar dan mengabarkan demikian, serta bergegas membereskan barang bawaan untuk segera pulang dan mempersiapkan berkas yang dibutuhkan. Alhamdulillah, aku tidak sendiri. Aku bersama satu orang temanku yang kala itu diterima di Universitas Gajah Mada segera membeli tiket untuk pulang keesokan harinya.

***
Hari berlalu, kini aku telah sudah menyandang sebagai mahasiswi Universitas yang menyandang nama Negara. Ini berjalan tidak mudah. Untuk pertama kalinya, aku merasakan tidak menjadi diriku. Aku menjadi pemurung - seorang diri – susah mendapat teman – hingga dinyatakan Depresi Ringan oleh Psikolog. Keinginan untuk hengkang dari Dunia yang fana yang beberapa kali kucoba lakukan membuatku memutuskan diri mencoba pelayanan Korseling di Klinik Makara. Aku menangis sejadi-jadinya kala diminta bercerita. Hingga kemudian, aku menjadi Pelanggan yang diharuskan rutin untuk melaporkan progress dengan tak lupa diberikan tugas.

Ah mungkin, kau kini sedang mengernyitkan dahi.
Mengatakan bahwa aku telah berlebihan dalam mengepresikan perasaan.
Mari duduk bersama, akan kuceritakan hal detail yang menjadi pemicu yang tidak bisa kusebutkan disini.

                Mengetahui hal demikian yang terjadi pada diriku, menjadikanku teringat pada pernyataan salah seorang teman. Ia berkata “setiap orang punya batu krikil mereka masing-masing. Mungkin saat ini, aku sedang melewati batu krikil karena tak satupun Universitas mau menerimaku walau nilaiku telah cukup bagus”. Ah iya mungin benar, aku memang diberi jalanan mulus saat proses masuk Universitas, namun aku diberikan jalanan berkerikil dalam menjalani sebagai mahasiswa. Kita, hanya berbeda penempatan batu kerikil. Aku kemudian berpikir, terlampau dalam kesedihan dan keterpurukan tentu bukan hal baik. Aku kembali bangkit, walau perlahan dan tertatih.

Ah nampaknya, dorongan dalam diriku meningkat saja. Aku, perlahan menjadi diriku. Semua berjalan biasa hingga kumerasa aku tidak benar-benar menjadi diriku. Aku, telah kehilangannya, walau hanya sebagian. Yang paling kusadari, aku benar-benar tidak lagi menemukan semangat juang membara pada diriku. Aku mengenal bagaimana diriku, perempuan dengan semangat membara dalam menggapai sesuatu. Perempuan dengan keinginan menjadi panutan sebagai anak pertama. Namun semua tak pernah kutemui lagi, entah hilang kemana.

***
“Aku kehilangan diriku”
Ujarku, pada salah seorang teman yang sudah kuanggap saudara.

“Kenapa kau berkata demikian?”

“Entahlah, aku kehilangan semangatku dalam memperjuangkan goals-ku. Dulu, aku benar-benar memiliki daya juang yang tiada kira, bahkan sampai rela merantau lebih dulu untuk mengejar mimpiku”

“Hm.. kalau boleh tau, apa goals-mu selama ini?”

“Sejauh ini ya?... hm…sebentar kuingat-ingat.. Oh ya! menjadi mahasiswi hukum Universitas Indonesia” ucapku, setelah cukup lama memutar otak mencari jawaban. Ternyata, aku benar-benar tidak mengetahui betul akan goals-ku.

“Bukankah saat ini sudah kau gapai?”
Ah iya! Baru kusadari mimpi yang selama ini kujadikan patokan dalam bertindak telah sudah kugapai. Lantas, apa masalahnya?. Aku benar-benar bergelut dengan pikiranku sendiri hingga tak memberikan tanggapan padanya. Namun nampaknya, ia jauh lebih lihai dalam menafsirkan rasa, pun telah tau sudah bagaimana aku dibuat terpenganga dan terdasar hanya oleh satu kalimat pendek yang terlontar dari mulutnya.

“Tak ada yang salah dari perasaan kehilangan dirimu sendiri, kau tau apa yang salah?”

“Apa?”. Kataku, secepat kilat.

“Yang salah adalah kamu yang terlalu pendek menaruh target. Bila kau tahu bahwa target adalah pemicu untuk kamu berbuat, buatlah target setinggi mungkin! Jadikan masuk Universitas Indonesia sebagai salah satu tools, sebagai anak tangga untuk mencapai puncak, jangan jadikan sebagai puncak. Kau, telah salah sejak awal.”

Mataku terbelalak. Ah kemana saja kau selama ini hingga tak menyadari. Memang benar bagaimana adanya, aku yang kini memang tidak menaruh target besar yang aku usahakan sekuat tenaga untuk kucapai. Ternyata benar, bermimpi setinggi mungkin sangatlah diperlukan, terutama bagi aku yang menjadikan goals terbesar untukku bertindak. Ah iya, kini baru kumengerti.

***
Kutatap dinding tak bertuan pada kamar kos-ku. Menatap entah apa itu. Kulontarkan pertanyaan-pertanyaan singkat pada diriku sendiri, mencoba mengenal lebih jauh diriku sendiri yang telah lama sudah tak kupedulikan keadaannya. Hingga pada akhirnya, aku menemukan goals terbesarku! Ku tuliskan itu besar-besar pada setiap sudut ruangan sebagai pengingat atas diriku.

Ah nampaknya, perasaan itu masih belum hilang sepenuhnya. Rasa kehilangan atas diriku masih saja menyelimuti.
Hingga pada akhirnya, aku tersadar.
Mimpi besarku mungkin kini telah kutemukan.
Namun tidak dengan semangat juang khas ku.
Ia, kini telah tertinggal jauh.
Melayang bersama separuh jiwa yang entah menghilang kemana.

***
Kubagikan ini untukmu, semoga kau dapat belajar dari kisahku, sebelum kau kehilangan dirimu, dengan tanpa mengerti kemana ia pergi. Lalu kau, seolah menjadi asing yang terasingkan. Kini, kumintakan doa padamu, agar antara aku – mimpiku – dan semangat juangku kembali bersama dalam sebuah ikatan.

Jumat, 03 April 2020

Bisakah Kau Ceritakan Padaku Rasanya?



Malam lalu, tak sengaja ku gerakan tanganku pada layar hp
Mengisi kekosongan waktu dengan merebahkan diri dengan melihat beberapa postingan nampaknya sedikit membuat penatku hilang secara perlahan
Kugerakkan jariku keatas perlahan hingga tak terasa telah satu jam sudah aku menyusuri dunia itu. Dunia tak bertuan namun penuh candu.

“Okey, cukup sudah scrolling instagram malam ini”
Kataku, seraya mencoba menekan tombol kunci layar sebelum mataku lebih dulu melihat suatu postingan..

“Ah apa ini?”
Segera saja kuberi toleransi pada diriku untuk membuka satu postingan yang mampu mencuri perhatian mataku.

Tanda sadar, kedua bibirku tertarik.
Postingan berisi penggalam kisah cinta yang mendalam dengan durasi cukup lama nampaknya telah mampu menjadi penutup malam yang entah dapat kusebut apa perpadanan malam kali ini.
Aku tersenyum—getir.
Rasa sesak memenuhi rongga dadaku seolah sedang menunggu giliran untuk tumpah.

Baru kusadari,
Menjadi pihak yang paling mencinta rasa-rasanya telah menjadi peran andalanku dalam menjalin hubungan.
Bukankah, seharusnya ini menjadi hal biasa?
Namun, nampaknya tidak demikian.
Aku, belum mampu terbiasa.
Beribu kali sudah aku menengadahkan tangan,
Berdoa pada Semesta untuk memberikanku peran yang lain
Namun, kelihaianku dalam memerankan peran mungkin telah sudah membuat Semesta kagum hingga tak kunjung memberikanku peran yang lain.

Tak apa,
Ah atau paling tidak, kutanyakan padamu saja, hei sang pemeran yang lain.
Bisakah kauceritakan padaku bagaimana rasanya?
Rasa menjadi pihak yang paling dicinta dalam suatu jalinan
Yang tanpa perlu menguras energi dengan mencinta lebih banyak
Namun merasakan cinta yang teramat
Berceritalah! akan kudengar dengan seksama.
Karena aku ingin turut merasakan,
Walau hanya melalui ceritamu..


Minggu, 22 Desember 2019

Aku Telah Lebih Dulu


Aku bersedih karena kamu telah membuat teman dekatku menyukaimu. 

Kata salah seorag teman diantara kita, Ia berhasil kau buat cinta karena balasan-balasan chatmu yang cukup panjang dan intens.

Ia tidak mengetahui bahwa antara aku dan kamupun begitu. Chat dengan intens didampingi obrolan panjang yang tidak tahu apa itu. Kau lantas menatapku seraya berkata “jangan”. Aku mengerti, itu kodemu untuk memperingatkan aku untuk tidak jatuh hati denganmu karena beberapa waktu terakhir kita sangat intens.

Jelas saja kukatakan tidak. 
Karena memang aku tidak jatuh hati karena ke-intens-an kita. Namun lebih dulu dari itu.


'hanya teman'


“bisa ketemu sebentar? aku melakukan hal bodoh”
“tapi aku sedang menemani teman”
“sebentar saja”
“ok”

Katamu, yang kemudian menemuiku. Meski karena persoalan yang tidak bisa dibicarakan via chat yang menjadi alasanmu menemuiku, aku tetap senang. Karenanya, antara aku dan kamu kembali bertatap muka. Menceritakan masalah, hingga menanyakan pendapat pribadi atas suatu hal, yang nampak tak ada habisnya.

Hingga pada akhirnya obrolan kita berhenti saat waktu menunjukan pukul 19.00 dan mengharuskan kita berpindah tempat menemui teman-teman yang lain di suatu tempat yang lain.

-------------------
“coba cari lagi”
“udah, nihil”
“ayok ke ruangan. kita cari disana”
katamu, kala mengetahui cerobohnya aku yang meninggalkan kunci motor sesukanya. 

Kita kemudian memasuki ruangan dimana aku meninggalkannya. Hanya berdua. Kau mencari arah sana, sedang aku sebaliknya. Cukup lama mencari, namun hasilnya tetap saja nihil. 

“ayok kita grab aja”
kataku yang pada akhirnya memutuskan plan B untuk menuju tempat dimana kami akan tuju.
“car atau bike?”
“car boleh”
“ayok ke FT dulu. antar aku ambil uang”
“pakai apa?”
“jalan. deket kok. ayok”
Katamu, yang kemudian berjalan mendahuluiku. Sedang aku, hanya berusaha mengikuti juga menyeimbangkan langkahmu.

Kita menyusuri Fakultas tempatmu menimba ilmu dengan ditemani gemerlap lampu-lampu taman yang masih menyala. Untuk kali pertama, aku menyusuri Fakultas Teknik. Menyusuri berbagai macam departemen dan sesekali aku bertanya mengenai tempat yang dilalui, dan kamu dengan sabar menjawab walau sesekali terlihat ketus.

Kami menunggui grab yang telah dipesan di Halte. Lucu, kita menunggu berdamping, namun dengan jarak yang jauh. Hingga pada akhirnya yang kita tunggu datang.

“dari Fakultas mana kak?” kata driver, membuka pembicaraan.
“saya Hukum, dia Teknik, Pak” kataku.
“saya dulu Teknik juga, ternyata jodoh saya anak FKM, ketemu di Stasiun. Kalau kalian ketemu  dimana?”

aku dan kamu saling memandang. Sampai kemudian aku dengan cepat menjawab

“ah kami hanya teman, Pak”
“oh teman, maaf-maaf. Saya kira bukan sebatas teman”

Aku dan kamu sama-sama terdiam.
Aku diam mengaminkan, sedang kamu entah melamun apa.

Malam Itu, Aku Penuh dengan Senyuman.

Aku menatapmu yang kala itu ada di depanku. Menatapi kata demi kata yang keluar dari mulut kamu kala melakukan adu argumen dengan salah seorang teman.

Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih pandai berargumen secara riil, bukan hanya lewat chat sebagaimana beberapa waktu lalu dilakukan bersamaku.

Aku tersenyum. Mengetahui nampaknya ilmu pengetahuanmu telah lebih banyak. Tontonanmu kala itu kian memberikan dampak atas diri kamu.

Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih jago dalam menjelaskan. Tak lagi susah dimengerti bagi sebagian orang, termasuk oleh aku. Nampaknya pula, kamu sudah tidak lagi canggung dalam berdebat secara face to face. Keren!

Aku tersenyum. Kala substansi pernyataan kamu menjadi liar. Aku tersenyum karena aku mengetahui betul; itulah dirimu! Seseorang dengan pemikiran liar yang perlu diimbangi.

Suatu ketika, teman lawan debatmu ini bertanya persoalan agama. Sesekali ia mengatakan dirinya memiliki pemikiran liar atas itu. Sepersekian detik setelah ia mengatakan, kamu menatapku.

“belum tahu aku seliar apa ya” 
katamu, sesekali memaikan alis dan tak lupa senyum khasmu.

Lagi-lagi, aku tersenyum; pertanda meng-iyakan. Aku tersenyum karena telah seolah menjadi orang yang paling mengertimu malam itu—walau mungkin nampaknya tidak demikian adanya.

Malam itu, aku penuh dengan senyuman.

Jumat, 13 Desember 2019

Tuan, maukah kau datang berkunjung?



Sebelum mengenalmu, jatuh cinta tidak pernah semenyebalkan ini.
Terkadang, aku benar-benar dibuat bingung bukan main dengan apa yang disebut dengan cinta.
Datang tanpa permisi, lalu dengan seenak hati membuat resah.
Tanpa berdiskusi lebih lanjut dengan sipemilik hati, namun dengan sesuakanya menaruh hati
Ketika sudah dibuat jatuh cinta, aku yang dibuat kelabakan menderita.

Akan kuperkenalkanmu pada seseorang, yang entah karena apa berhasil membuatku gila.
Aku telah mengenalnya selama satu tahun
Namun rasanya, rasa ini baru saja tumbuh beberapa bulan kebelakang
Ia adalah sosok yang tidak sama dengan teman-temannya
Ia adalah sosok yang tumbuh dengan dedikasi tinggi dalam dirinya
Sosok penuh dengan inovasi juga ambisi
Dan baru kukenal lebih jauh ia memiliki pemikiran liar yang ingin sekali kugalih lebih jauh

Untuk kali pertama, jatuh cinta benar-benar membuatku kelabakan
Memikirkannya dengan tiba-tiba benar-benar membuatku resah
Ingin rasanya kuhempas saja rasa ini jauh-jauh
Lalu kembali aku berdamai dengan diriku
Menikmati masa yang tak tahu akan berakhir kapan
Namun, tak kukira melepaskan dari pikiran saja tak semudah perkiraan

Kuberitahu, memang tak ada yang salah dari sekedar menaruh rasa
Aku hanya benci ketika aku tidak lagi mampu mengontrol rasa
Seolah memberi perhatian adalah hal yang biasa
Padahal antara aku dan dia tak pernah merajut asa

Aku ingat betul malam tadi
Malam ketika kali pertama antara aku dan dia menjalin obrolan yang tidak biasa—setidaknya menurutku
Aku ingat betul kala untuk pertama kali aku memberanikan diri untuk mengirimkan suatu pesan terkait suatu hal, yang tanpa terduga menjadi sebuah diskusi panjang antara aku dengannya
Untuk saat itu juga, aku semakin dibuat jatuh hati
Ternyata ia adalah sosok yang lebih bijak dari yang aku kira
Ia adalah lelaki dengan pemikiran liar yang seolah memintaku untuk mengulik lebih dalam
Meski hanya berakhir dengan centang biru
Namun rasanya ini justru semakin menggebu

Aku, memang begitu
Sekeras kepala itu
Terlebih perihal rasa yang semu

Tuan, mari kemari
Sesekali berkunjung pada hati yang nampak telah porak-poranda
Telah kusediakan tempat khusus untukmu bertahta
Namun maaf, hatiku terlihat kacau balau
Bolehkah kau kuminta membenahinya?

Tuan, tak apa bila tak ingin menetap
Cukuplah datang berkunjung
Tak akan kugantung segala harap
Sekali lagi Tuan, maukah kau datang berkunjung?

Selasa, 10 September 2019

Jika tak ditakdirkan untuk bersama, mengapa selalu dipertemukan?

Telah habis berapa banyak series sudah bila kisahku denganmu kujadikan novel. Telah seberapa bosan sudah jemariku mengetik sajak demi sajak untuk kamu. Telah berapa banyak sudah kukatakan aku sangat membencimu—walau kata aku mencintaimu selalu lebih unggul.

Telah kutemukan alasan untukku melepas genggam. Telah sudah ketemukan pengganti. Telah sudah kutemukan cara untukku melupa. Apalagi melepas harap, aku sudah lebih jago!

Namun tak satupun kutemukan pengganti atas nasihat klasik yang mampu membuatku menurut. Nampaknya, kau memang ahli dalam hal ini. Hingga belum mampu kutemui pengganti ini atas dirimu.

Meski bagai memiliki magnet berbeda kutub, aku dan kamu masihlah memiliki rentang.

....namun tidak bertahan lama.

Hingga akhirnya aku dan kamu kembali dipertemukan dalam ruang waktu yang tiada pernah mampu kutebak. Bukan salahmu, mutlak salahku. Namun hati selalu memiliki pembenaran dalam bersikap. Begitu pun denganmu yang menuruti hati untuk tetap menyambut baik kehadiranku.

....semua nampak seperti biasa hingga aku lupa kita pernah berjarak sedemikian jauh.

Sebuah pertanyaan muncul dibenakku.
“mengapa selalu dipertemukan bila tidak ditakdirkan?”

Aku meringis. Lagi-lagi meratap diri yang tidak ada habis-habisnya menaruh kagum, pada ia yang sering membuat tangis, apalagi membuat teriris, sudah ahlinya. Aku tak mengerti bagaimana dari sisimu, aku terlalu naif mengartikan. Terlalu memaksa bahwa perlakuanmu lebih daripada sebagaimana kita sering dikenal. 

Ah, bodoh. 
Rasa-rasanya aku mulai mengigau. Baru saja kemarin kukatakan bahwa aku tak lagi memprioritaskan asmara.

...
namun, bukankah sedari tadi aku membicarakan masa depan, bukan asmara?

Depok, 10 September 2019