“Hah
Iyakah?!?!?!?!?!?”
Teriakan itu terdengar jelas dari toilet. Ah nampaknya
perempuan manis itu masih saja mempertahankan kebiasaan joroknya—membawa ponsel
saat ke Toilet. Suara berat dari ujung telepon ternyata mampu membuat perempuan
itu teriak hingga hampir jatuh tersungkur dalam closet. Tangisnya kemudian tumpah.
Ah perempuan macam apa yang mengeluarkan airmata di dalam Toilet? Tidak habis
pikir.
***
Perempuan dalam penggalan cerita diatas adalah aku.
Tentu teriakan yang kuhasilkan didalam Toilet bukan tanpa alasan. Masih
tergambar jelas, bagaimana vibes saat itu. Hari dimana menjadi penentu apakah
aku bertahan di Depok untuk meneruskan Les Gratisku, atau kemudian hengkang
dari tempat les lebih dini untuk mempersiapkan berkas yang diinginkn. Ya, saat
itu untuk pertama kalinya aku merantau lebih dulu dibandingkan teman-teman yang
lain untuk keperluan Les Gratis Persiapan SBMPTN karena aku berhasil menjadi
salah satu yang lolos dalam seleksi peserta Les Gratis.
Benar, hari itu adalah hari dimana SNMPTN diumumkan.
“Koran mana
yang harus ayah baca untuk bisa melihat nama-nama yang dinyatakan lolos?” suara sebrang telepon itu memulai pembicaraan dengan
antusias.
“Ah Ayah, ini
sudah bukan lagi jamannya. Pengumuman dapat dilihat via website. Akan
kukirimkan beberapa link yang dapat diakses beserta username dan password untuk
dapat kau akses”
“Oh okey”
Lalu segera saja kukirimkan link, lengkap dengan
username dan password padanya. Namun tak lama, handphone ku kembali bordering. Lagi-lagi, namanya terlihat jelas
pada layar telepon.
“Mbak, berapa
tanggal lahirmu? Disini dimintakan itu”
Kali ini aku tertawa, bagaimana mungkin ayah lupa hari
dimana ia untuk pertama kalinya dinyatakan sebagai ayah? Ah tak apa, perkara
lupa bagi orangtua adalah hal yang biasa, bukan?. Tanpa basa-basi ku sebutkan
tanggal lahirku. Lalu akupun mencoba
masuk dalam web untuk segera mengetahui hasil, walau selalu gagal dibuatnya.
Hingga pada akhirnya kumemilih untuk menunaikan sholat sunnah Dhuha, sembari
menunggu web dapat diakses. Ah iya, kuakui tingkat religiusku meningkat drastic
pasca Ujian Nasional, alasanku simple, agar diberikan kemudahan dalam proses
masuk Perguruan Tinggi. Entahlah termasuk baik atau buruk, namun ini
berlangsung cukup lama, hingga aku mulai cukup terbiasa.
Ah nampaknya kerisauanku akan hasil berdampak pada
pencernaan. Tiba-tiba saja aku ingin ke Toilet. Panggilan alam ini benar-benar
tak tau waktu. Seolah telah menjadi kebiasaan kala itu, handphone pun tak luput
dari genggaman saat aku memasuki toilet. Menjijikan? Jelas. Siapa yang bilang
tidak?!
Lagi-lagi dering pada telepon-ku memecah keheningan. Nama
yang tertera pun masih sama. Kali ini kumatikan kran air, paling tidak agar
tidak diketahui bahwa aku sedang di Toilet atau amarah khas-nya terdengar dari
ujung telepon sana.
“Mbak, Ini
warna hijau! Kamu lolos!”
“Hah
Iyakahh?!?!?” Teriakan darinya benar-benar
membuatku girang hingga hampir saja terjerembab dalam closet.
“Ilmu Hukum –
Universitas Indonesia, mbak”
Alhamdulillah. Entah kurefleks saja mengucap
hamdallah, walau kuketahui sedang berada di Toilet. Kali ini, aku benar-benar
kehabisan kata untuk kembali merespon. Aku hanya menangis mengetahui kenyataan
yang nampak satu jalan dengan mimpi besar, mimpi utamaku – melanjutkan di
Universitas Indonesia. Tak lama setelah itu, segera saja kuhubungi kakak pengajar
dan mengabarkan demikian, serta bergegas membereskan barang bawaan untuk segera
pulang dan mempersiapkan berkas yang dibutuhkan. Alhamdulillah, aku tidak sendiri.
Aku bersama satu orang temanku yang kala itu diterima di Universitas Gajah Mada
segera membeli tiket untuk pulang keesokan harinya.
***
Hari berlalu, kini aku telah sudah
menyandang sebagai mahasiswi Universitas yang menyandang nama Negara. Ini berjalan
tidak mudah. Untuk pertama kalinya, aku merasakan tidak menjadi diriku. Aku
menjadi pemurung - seorang diri – susah mendapat teman – hingga dinyatakan
Depresi Ringan oleh Psikolog. Keinginan untuk hengkang dari Dunia yang fana
yang beberapa kali kucoba lakukan membuatku memutuskan diri mencoba pelayanan
Korseling di Klinik Makara. Aku menangis sejadi-jadinya kala diminta bercerita.
Hingga kemudian, aku menjadi Pelanggan yang diharuskan rutin untuk melaporkan
progress dengan tak lupa diberikan tugas.
Ah mungkin, kau kini sedang mengernyitkan dahi.
Mengatakan bahwa aku telah berlebihan dalam
mengepresikan perasaan.
Mari duduk bersama, akan kuceritakan hal detail yang
menjadi pemicu yang tidak bisa kusebutkan disini.
Mengetahui
hal demikian yang terjadi pada diriku, menjadikanku teringat pada pernyataan
salah seorang teman. Ia berkata “setiap
orang punya batu krikil mereka masing-masing. Mungkin saat ini, aku sedang
melewati batu krikil karena tak satupun Universitas mau menerimaku walau
nilaiku telah cukup bagus”. Ah iya mungin benar, aku memang diberi jalanan
mulus saat proses masuk Universitas, namun aku diberikan jalanan berkerikil
dalam menjalani sebagai mahasiswa. Kita, hanya berbeda penempatan batu kerikil.
Aku kemudian berpikir, terlampau dalam kesedihan dan keterpurukan tentu bukan
hal baik. Aku kembali bangkit, walau perlahan dan tertatih.
Ah nampaknya, dorongan dalam diriku meningkat saja.
Aku, perlahan menjadi diriku. Semua berjalan biasa hingga kumerasa aku tidak
benar-benar menjadi diriku. Aku, telah kehilangannya, walau hanya sebagian.
Yang paling kusadari, aku benar-benar tidak lagi menemukan semangat juang membara
pada diriku. Aku mengenal bagaimana diriku, perempuan dengan semangat membara
dalam menggapai sesuatu. Perempuan dengan keinginan menjadi panutan sebagai
anak pertama. Namun semua tak pernah kutemui lagi, entah hilang kemana.
***
“Aku
kehilangan diriku”
Ujarku, pada salah seorang teman yang sudah kuanggap
saudara.
“Kenapa kau
berkata demikian?”
“Entahlah, aku
kehilangan semangatku dalam memperjuangkan goals-ku. Dulu, aku benar-benar
memiliki daya juang yang tiada kira, bahkan sampai rela merantau lebih dulu
untuk mengejar mimpiku”
“Hm.. kalau
boleh tau, apa goals-mu selama ini?”
“Sejauh ini
ya?... hm…sebentar kuingat-ingat.. Oh ya! menjadi mahasiswi hukum Universitas
Indonesia” ucapku, setelah cukup lama
memutar otak mencari jawaban. Ternyata, aku benar-benar tidak mengetahui betul
akan goals-ku.
“Bukankah saat
ini sudah kau gapai?”
Ah iya! Baru kusadari mimpi yang selama ini kujadikan
patokan dalam bertindak telah sudah kugapai. Lantas, apa masalahnya?. Aku
benar-benar bergelut dengan pikiranku sendiri hingga tak memberikan tanggapan
padanya. Namun nampaknya, ia jauh lebih lihai dalam menafsirkan rasa, pun telah
tau sudah bagaimana aku dibuat terpenganga dan terdasar hanya oleh satu kalimat
pendek yang terlontar dari mulutnya.
“Tak ada yang
salah dari perasaan kehilangan dirimu sendiri, kau tau apa yang salah?”
“Apa?”. Kataku, secepat kilat.
“Yang salah
adalah kamu yang terlalu pendek menaruh target. Bila kau tahu bahwa target
adalah pemicu untuk kamu berbuat, buatlah target setinggi mungkin! Jadikan
masuk Universitas Indonesia sebagai salah satu tools, sebagai anak tangga untuk
mencapai puncak, jangan jadikan sebagai puncak. Kau, telah salah sejak awal.”
Mataku terbelalak. Ah kemana saja kau selama ini
hingga tak menyadari. Memang benar bagaimana adanya, aku yang kini memang tidak
menaruh target besar yang aku usahakan sekuat tenaga untuk kucapai. Ternyata
benar, bermimpi setinggi mungkin sangatlah diperlukan, terutama bagi aku yang
menjadikan goals terbesar untukku bertindak. Ah iya, kini baru kumengerti.
***
Kutatap dinding tak bertuan pada kamar kos-ku. Menatap
entah apa itu. Kulontarkan pertanyaan-pertanyaan singkat pada diriku sendiri,
mencoba mengenal lebih jauh diriku sendiri yang telah lama sudah tak
kupedulikan keadaannya. Hingga pada akhirnya, aku menemukan goals terbesarku!
Ku tuliskan itu besar-besar pada setiap sudut ruangan sebagai pengingat atas
diriku.
Ah nampaknya, perasaan itu masih belum hilang
sepenuhnya. Rasa kehilangan atas diriku masih saja menyelimuti.
Hingga pada akhirnya, aku tersadar.
Mimpi besarku mungkin kini telah kutemukan.
Namun tidak dengan semangat juang khas ku.
Ia, kini telah tertinggal jauh.
Melayang bersama separuh jiwa yang entah menghilang
kemana.
***
Kubagikan ini untukmu, semoga kau dapat belajar dari
kisahku, sebelum kau kehilangan dirimu, dengan tanpa mengerti kemana ia pergi. Lalu
kau, seolah menjadi asing yang terasingkan. Kini, kumintakan doa padamu, agar
antara aku – mimpiku – dan semangat juangku kembali bersama dalam sebuah
ikatan.