Aku hanya ingin bercerita atas hari ini. Entahlah, atas apa-apa saja yang telah terjadi dihari ini, aku hanya ingin mengucapkan syukur yang tiada kira.
Beberapa waktu lalu, mungkin aku masih pada pemikiran dimana nikmat adalah melulu soal nafsu, rezeki adalah melulu soal materi. Tidak salah, memang benar begitu. Namun ada hal yang lebih berharga dari itu—ialah berada dilingkungan yang baik. Memiliki teman yang baik, yang selalu menuntun kearah yang benar, atau setidak-tidaknya tidak menjerumuskan kita pada hal yang tidak dibenarkan merupakan anugerah terindah yang telah diberikan Allah kepadaku, juga kepada mereka yang merasakan sepertiku.
Hari ini, aku bertemu dengan teman yang baru aku kenali satu bulan lalu. Meski tidak semuanya, namun keberadaan mereka dalam hidupku kembali mengingatkanku akan rasa syukur. Mereka yang baik, mereka yang tak pernah lelah mendengar celotehan tidak pentingku, atau bahkan rela menghabiskan waktu 2 jam perjalanan dikereta dan rela menghabiskan kurang lebih 8 jam bersama tentu merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Apalagi mengingat 8 jam tersebut kita lakukan dengan bertingkah konyol. Namun setidaknya, aku bisa menjadi diriku sendiri.
Hari ini pula, salah satu teman berjuang satu asramaku berhasil mengemban gelar baru—None Buku Jakarta Timur. Ia yang notabene berasal dari luar Jawa begitu membuktikan bahwa siapapun bisa melesat dimanapun ia berpijak asal bekal mentalnya telah siap, tenaganya telah terkuras hingga lelahnya menjadi lilllah.
Akan kuceritakan sedikit tentangnya. Aku, saksi perjuanganya yang tiada mudah tersebut menaruh bangga yang tak terkira. Ia adalah sosok yang lebih kuat dari apa yang terlihat. Karirnya cemerlang, pedenya luar biasa. Namun siapa sangka ia memiliki permasalahan keluarga yang mungkin akupun ragu apakah kuat menghadapinya atau tidak. Belum lagi, celotehan mereka yang tidak menyukainya begitu membisingkan telinga.
Namun kau tau? Ia hanya tersenyum. Sesekali menyeka airmata kala bercerita. Sedang aku? tugasku hanya memeluk. Mengingat ia membutuhkan sandaran lebih dari apapun. Dengan segala hal yang membentang, juga celotehan para pembeci yang tak henti menjatuhkan, ia berhasil menebas. Hingga membuat mereka kemudian terbungkam.
Ah andai saja tadi berada disana, sudah kupeluk erat ia dan susah kulepaskan. Namun, meski tak berada langsung disana, nampaknya doa memang selalu sampai pada tempatnya. Bukankah begitu?
Tak hanya itu, sepulang dari margo, aku menemukan satu buah coklat dengan kertas tanpa nama bertuliskan “Terimakasih Izza telah tidak menyerah sampai saat ini. Teruslah berjuang bersama yuk? Jangan takut. Kan ada Allah.”
Mungkin bagi sebagian orang, itu merupakan secarik kertas tanpa arti. Namun tidak bagiku. Aku sangat menyukai segala macam apresiasi. Siapa sangka secarik kertas dapat membuat senyumku terukir tiada kira?
Padahal mungkin apabila difikir ulang, untuk apa ia berterimakasih atas aku yang telah tanpa menyerah dalam hal apapun? Yang mungkin apabila aku terpaksa menyerahpun, bukankah tetap bukan menjadi ranahnya? Namun disitulah letak dimana aku menyebutkan lingkungan yang baik. Ia tak ingin kemudian melesat sendiri. Ia ingin aku dan teman-teman membersamai. Ah coba, mana lagi yang lebih manis dari ini?
Kemudian, lagi-lagi yang hanya mampu aku lakukan adalah bersyukur. Atas segala hal yang telah ditakdirkan baik untukku. Juga beberapa hal yang menurutku buruk—meski pada akhirnya mengarahkan pula pada kebaikan.
Ah sudah-sudah.
Aku hanya berucap demikian.
Ceritaku sudah habis.
Kau boleh tidak lagi membaca tulisan ini kembali.
Namun, terimakasih bagi yang telah menyempatkan membaca.
Cerita ini ditulis di catatan smartphone pada 24 Agustus 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar