Aku,
mencintaimu.
Kamu adalah
sosok yang tak lebih tampan dari kebanyakan orang.
Kamu pun
tak lebih dari sosok biasa yang penuh ambisi besar dalam setiap langkah
kecilnya
Mengenai kamu,
Caramu memperlakukanku
pun tak lebih pantas untuk kuanggap baik.
Caramu
mencinta, apalagi.
Namun segala
hal yang tersimpan dalam diri kamu, begitu menyorot mata.
Segala hal
yang tak terlihat oleh siapapun, begitu memikat untukku.
Seakan membawa
ku untuk selalu ingin mengenalmu lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Walau pada
dasarnya,
Aku,
Sangat mengenalmu.
Aku memang
begitu, selalu begitu.
Selalu mampu
melihat sisi yang tak satupun dilihat oleh siapapun.
Kamu menyakitiku
sebegitunya,
Dan aku,
tetap dalam pendirianku,
Untuk terus
mencintai kamu setulus yang aku mampu.
Aku, memang
begitu, sekeras kepala itu.
Ribuan kali
teman baikku melarang
Ratusan kali
hati menjerit memintaku untuk berhenti menyakitinya
Puluhan kali
orang tuaku memintaku untuk berhenti
Namun cukup
1x untukku membuat mereka bungkam
Cukup saja
kusebut namamu.
Kamu,
memang begitu.
Selalu menjadi
alasan dibalik sikap egoisku.
Kian hari,
paksaan mereka untuk memintaku berhenti semakin hebat
Namun seiring
itu pula, banteng hati seakan menebal otomatis
Seolah melindungimu,
untuk selalu berada didalamnya.
Bukankah
dari situ, dapat terlihat bahwa dengan terus mencintamu, aku harus berkorban?
Logika
selalu bergumam tanpa henti tanpa lelah
Bertanya pada
sosok dalam pantulan cermin mengenai kebodohan hati kecilnya
“Bukankah,
kesalahan yang telah ia perbuat sudah amat besar?”
“Bukankah,
kesalahan dia telah tidak mampu kamu beri maaf?”
“Lantas,
mengapa kamu selalu batu?”
“Seolah
dengan tanpa malu, menjilat ludah yang telah kamu keluarkan dengan jijik kala itu”
Tak sedikit
pertanyaan menghujam untukku.
Aku diam
seperkian detik.
Lantas menggeleng
perlahan.
Air mata tak
lupa menampakan diri tanpa perintah.
Bibir
lantas kian membuka suara
“Kamu tak
akan mengerti” kataku.
“Kesalahanya
memang besar, namun rasaku, jauh lebih
besar”
Kataku,
kemudian tersernyum getir.
Merasakan
betapa pedihnya menjadi sosokku.
Yang memiliki
dua rasa berkebalikan
Namun sama
hebatnya.
Yah, aku sangat
membencimu,
Pun begitu, aku begitu mencintamu.
Pun begitu, aku begitu mencintamu.
Aku sedari
tadi mengatakan bahwa aku tetaplah pada pendirianku
Untuk selalu
mencinta sosokmu
Untuk selalu
teguh pada keegoisanku
Namun
dilain hal,
Akupun tetap
pada pendirianku yang lain.
Untuk kemudian
melepasmu dengan paksa
Seolah lupa
akan segala rasa
Ah, aku
memang mencintaimu.
Namun
mencinta bukanlah menjadi penghalang untukku menepati janji pada diri sendiri
Aku telah
berjanji untuk melepasmu kala kamu berulah
Dan,
Sekaranglah
waktunya.
Bagaimana?
Aku sangat
hebat bukan,
Telah sanggup
mencinta dan melepas dalam waktu yang sama?
Depok, 2
April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar