Minggu, 22 Desember 2019

Malam Itu, Aku Penuh dengan Senyuman.

Aku menatapmu yang kala itu ada di depanku. Menatapi kata demi kata yang keluar dari mulut kamu kala melakukan adu argumen dengan salah seorang teman.

Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih pandai berargumen secara riil, bukan hanya lewat chat sebagaimana beberapa waktu lalu dilakukan bersamaku.

Aku tersenyum. Mengetahui nampaknya ilmu pengetahuanmu telah lebih banyak. Tontonanmu kala itu kian memberikan dampak atas diri kamu.

Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih jago dalam menjelaskan. Tak lagi susah dimengerti bagi sebagian orang, termasuk oleh aku. Nampaknya pula, kamu sudah tidak lagi canggung dalam berdebat secara face to face. Keren!

Aku tersenyum. Kala substansi pernyataan kamu menjadi liar. Aku tersenyum karena aku mengetahui betul; itulah dirimu! Seseorang dengan pemikiran liar yang perlu diimbangi.

Suatu ketika, teman lawan debatmu ini bertanya persoalan agama. Sesekali ia mengatakan dirinya memiliki pemikiran liar atas itu. Sepersekian detik setelah ia mengatakan, kamu menatapku.

“belum tahu aku seliar apa ya” 
katamu, sesekali memaikan alis dan tak lupa senyum khasmu.

Lagi-lagi, aku tersenyum; pertanda meng-iyakan. Aku tersenyum karena telah seolah menjadi orang yang paling mengertimu malam itu—walau mungkin nampaknya tidak demikian adanya.

Malam itu, aku penuh dengan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar