Aku menatapmu yang kala itu ada di depanku.
Menatapi kata demi kata yang keluar dari mulut kamu kala melakukan adu argumen
dengan salah seorang teman.
Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih
pandai berargumen secara riil, bukan hanya lewat chat sebagaimana beberapa
waktu lalu dilakukan bersamaku.
Aku tersenyum. Mengetahui nampaknya ilmu
pengetahuanmu telah lebih banyak. Tontonanmu kala itu kian memberikan dampak
atas diri kamu.
Aku tersenyum. Nampaknya kamu telah lebih
jago dalam menjelaskan. Tak lagi susah dimengerti bagi sebagian orang, termasuk
oleh aku. Nampaknya pula, kamu sudah tidak lagi canggung dalam berdebat secara
face to face. Keren!
Aku tersenyum. Kala substansi pernyataan kamu
menjadi liar. Aku tersenyum karena aku mengetahui betul; itulah dirimu!
Seseorang dengan pemikiran liar yang perlu diimbangi.
Suatu ketika, teman lawan debatmu ini
bertanya persoalan agama. Sesekali ia mengatakan dirinya memiliki pemikiran
liar atas itu. Sepersekian detik setelah ia mengatakan, kamu menatapku.
“belum tahu aku seliar apa ya”
katamu, sesekali memaikan alis dan tak lupa
senyum khasmu.
Lagi-lagi, aku tersenyum; pertanda
meng-iyakan. Aku tersenyum karena telah seolah menjadi orang yang paling
mengertimu malam itu—walau mungkin nampaknya tidak demikian adanya.
Malam itu, aku penuh dengan senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar