Selasa, 14 Januari 2014

Don't Be Let Go ! LastPart



Don't Be Let Go !

Part 2 LastPart.

Sesampainya dirumah, aku langsung menuju kamarku. Aku memandangi diri sejenak didepan cermin. Lalu kemudian aku tersenyum. 
Aku senang~ hari yang menyenangkan menurutku. Dimana seorang Rafi mengantarkanku pulang. Ah. .aku harus menuangkan ini dalam coretan diary’ku. Aku membuka tas ku berniat mengambil diary tersayangku yang rasanya tadi pagi aku bawa kesekolah. Namun..Tidak ada! Aku mencari lagi pada meja belajar, kolong tempat tidur, bahkan dalam lemari pun aku cari. Namun nihil. Diary ku tak kunjung ketemu.

Aku segera mengambil ponselku. Mencari sebuah nama dalam daftarkontakku. Lalu mengetikan beberapa kalimat lalu segera ku tekan tombol send. Tak lama, ada 1pesan masuk di ponselku. Balasan Dari seseorang yang aku sms tadi yang tak lain diana. Aku menanyakan perihal Diary ku . namun sama hal nya. Diana tak melihat Diary ku dimana.
Aku semakin tak tenang. Fikiranku kemana-mana. Bagaimana jika Diaryku berada ditangan orang yang jail lalu menyebarkannya kesemua orang?bagaimana jika diaryku sekarang berada ditangan orang yang tak suka denganku? Bagaimana jika nanti saat disekolah mading penuh dengan kertas kertas dari diaryku? Dan bagaimana pula jika Rafi mengetahui hal ini? Mau ditaruh dimana mukaku? Ah.aku benar benar tak tenang. Namun, aku bertekad mencari diaryku ini sepulang sekolah besok. Terlalu lelah memikirkan ini, akupun perlahan tertidur.

Keesokan harinya sepulang sekolah, aku meminta di temani diana buat nyari Diary ku. Aku berharap jika Diaryku tertinggal dikellas dan tak ada seorangpun yang melihatnya. Aku terlalu takut jika ternyata ada seseorang yang membaca diaryku. Bahkan terlebih jika yang menemukan Diaryku orang yang selalu aku tulis dalam diary yang tak lain Rafi. Aku takut itu terjadi.
Aku dan Diana berpencar mencari Diaryku diruang kelas. Diana mencari pada deretan kanan, sedang aku mencari pada deretan kiri.

“gimana na?” tanyaku

“nggada din, kamu yakin kemarin kamu bawa kesekolah? Kamu lupa naruh mungkin din..”

“engga na, aku yakin banget aku bawa diary itu kemarin. AaaaL

“kalian kok belum pulang?” tanya seseorang
Aku segera melirik sumber suara. Berdiri seseorang yang masih terjaga ke’Cool-anya. Orang itulah – Rafi–

“oh ini, dinda lagi nyari..” ucap Diana yang segera kupotong

“Diana!!!!! “ segera kupotong omongan Diana sebelum ia keceplosan mengatakan yang sebenarnya.

“oh ini raf, aku Cuma lagi nyari buku yang kemarin ketinggalan” dustaku

“kamu nyari ini?” Aku kaget!Rafi?  dia datang tiba tiba dan dia membawa..buku diaryku! Aku shock! Bagaimana mungkin diaryku berada ditangan dia?bagaimana mungkin ?aku hanya berharap Rafi belum bahkan tidak membacanya . karna kalau ia membacanya?ia mengetahuinya?matilah sudah kau dindaaaaaa !!

“lho.. kok bisa dikamu Raf?” tanya diana penasaran

“iya, kemarin pas kamu nyuruh aku buat ngambilin tas Dinda, aku ngga sengaja nemu ini dilaci meja kalian, aku bawa aja deh”

“belum kamu baca kan?” tanyaku . Rafi diam untuk beberapa saat. Aku berharap, ia mengatakan belum. Iya aku harap ia mengatakan apa yang aku inginkan.

“belum kok”

“huh, syukurlah~”  Aku lega mendengar ucapan rafi .

“belum 2kali maksdnya:D” sambung Rafi kembali

“HAHH?!!!”  aku shock! Aku kaget!aku malu! Mau ditaruh dimana mukaku ini? Aku hanya bisa melongo. Membuka mulutku lebarlebar. Aku tak menyangka apa yang aku takutkan semalam ternyata terjadi. Aku sungguh tak menyangka. Bagaimana aku tidak shock? Dalam diary itu, banyak sekali coretan coretanku tentang Dirinya , banyak pula puisi yang sengaja ia buat hanya untuknya, juga fotofoto colongannya yang aku simpan dalam tiap lembar diary. Dirinya yang tak lain –Rafi–  namun orang yang aku tuliskan dalam diary membacanya
Rafi menyodorkan tangannya dengan maksud untuk mengembalikan bukuku ini.  Namun aku? Aku belum bisa bergeming sedikitpun dari posisiku sekarang. Masih dalam mata melebar dan mulut yang agak menganga.

“tak usah seperti itu, aku udah tau semuanya”  ucap Rafi membangunkanku dari ketidaksadaran itu. Aku diam, aku masih diam .

“kenapa kau tak pernah bilang padaku?kenapa kau memilih memendam semua?dalam diary itu, tertulis bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat pertama kali bertemu, yang tak lain saat kau membuat aku tak lagi benci akan hujan 3tahun yng lalu. Bagaimana mungkin aku mengetahui bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat itu jika saat ‘kejadian’ itupun kamu begitu cuek, begitu tak banyak bicara? Tenyata memang benar. Wanita memang begitu ahli dalam masalah menyembunyikan perasaanya.. seperti kamu sekarang ini, dindaa”

Aku masih terdiam, mendengarkan, mencerna semua kata demi kata yang keluar dari mulut Rafi. Ingin rasanya aku mengatakan “aku yang pandai menyembunyikan perasaan atau memang kamu yang tak pernah peduli? Aku takut jika aku mengatakan ini semua, kamu akan pergi meninggalkanku. Aku takut itu terjadi rafi..!”  namun apa daya, mulutku sampai sekarang terasa sangat kaku untuk digerakkan. Akupun lebih memilih untuk diam dan mendengarkan semua apa yang dikatakan Rafi.

“kau tahu dinda..”

“aku juga menyimpan rasa padamu semenjak kejadian beberapa tahun silam” ucap Rafi meneruskan omongannya yang sempat menggantung tadi.

“hanya kamu yang berhasil membuat aku tak lagi benci air hujan dinda, hanya kamu yang bisa menyadarkanku betapa Indahnya Hujan, hanya kamu yang berhasil menyadarkanku  betapa nyamannya Hujan . hanya kamu dinda..itu yang membuatku jatuh cinta padamu”

“Tapi saat itu kau begitu pandai menyembunyikan semua perasaanmu. Aku tahu aku pengecut din, aku takut jika aku mengatakan perasaanku padamu, kau akan pergi jauh meninggalkanku. Aku takut itu terjadi dinda..”

Oh Tuhan! Bagaimana mungkin?itulah kalimat yang ingin aku katakan paadanya saat ini. Namun kenapa malah dia juga mengatakanya? Apa yang terjadi Tuhan? Mimpikah ini? Tuhan! jangan Bangunkan aku sekarang jika memang ini semua mimpi. Aku tak ingin jika aku bangun harus menerima suatu kenyataan yang berbanding terbalik dengan ini semua.

“saat kamu menelfonku malam-malam.. aku tahu bahwa saat itu yang menelfonku kamu dinda. Aku telah  lama menyimpan nomormu sebelum kamu mengetahui nomorku. Namun aku berusaha berpurapura seperti ibarat aku benarbenar tak mengetahui nomormu”

“Tahukah kamu dinda, bukan hanya kamu yang selama ini mencintai dalam diam. Aku pun!  Bukan hanya kamu yang selalu memerhatikan tapi tak diabaikan. Aku juga!setiap hari sedang hujan, aku tahu kamu selalu berada dibalik jendela kamarmu , menikmati indahnya hujan. maka dari itu,setiaphujanlah aku selalu kerumah kaamu, berdiam dibalik pohon mangga depan rumahmu . Aku memandangi raut wajah kamu saat kamu sedang menikmati betapa indahnya hujan. aku memerhatikanmu dan kamu tak pernah tau itu!”
Sekujur tubuhku bergetar hebat mendengar pengakuan Rafi ini. Bagaimana bisa?dia juga merasakan apa yang aku rasa? Perlahan, benih air menetes dari kelopak mataku. Aku menangis.

“Dinda.. will you be mine?”
Aku shock. Aku kaget. Mataku melebar kembali. Lebih lebar dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Seorang rafi , orang yang aku sayang 3tahun ini sekarang sedang bertekuk lututdidepanku menggengggam tanganku dan mengatakan kata itu. Perlahan, aku anggukan kepalaku . ia memeluku. Aku terisak dalam dada bidangnya~


Tak terasa, 2 bulan sudah hubunganku dengan  Rafi terjalin. Aku senang~ tak lupa bersyukur paada Tuhan Yang maha Esa. Namun, semakin kesini aku 3x lebih sering pinsan dari sebelumnya. Dan perlahan, aku rasakan rambutku merontok sedikit demi sedikit. Aku teriak. Aku histeris. Mamah langsung membawaku ke rumah sakit.

Aku menangis. Menangis mendengar apa yang dokter katakan padaku tentang penyakitku. Aku shock mendengar ucapan dokter yang mengatakan bahwa aku menderita Tumor Otak stadium akhir. Terlebih saat dokter mengatakan bahwa aku telah divonis menderita penyakit ini 6bulan lalu. Aku kaget, enam bulan yg lalu? Bukankah itu telah lama? Namun kenapa aku justru malah tak pernah mengetahuinya? Aku teriak memanggil mamahku. Menanyakan apa yang terjadi sebenarnya, menyanyakan apa yang selama ini mamah sembunyikan dariku. Mamah menangis.

“maafin mamah sayang, mamah salah, mamah sengaja menyembunyikan ini semua. Mamah ngelakuin ini semua demi kamu , mamah tak mau jika kamu harus memikirkan penyakitmu” mamah memelukku. Mamah tak salah, ia berniat baik melakukan ini semua dan aku tak berhak marah pada mamah. Inilah takdirku.
Tak lama, seorang dokter memasuki ruangan ku. Mamah menanyakan perihal penyakitku, namun sang dokter hanya menggeleng dan menjawab “maafkan saya bu, saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tumor pada diri anak ibu telah ganas. Jika kita mengangkat tumor itu, itu sangat membahayakan putri ibu”

“lalu bagaimana dengan hidup putri saya dok? Masih bisa dibantu dengan obat yang kemarin kan?”

“obat yang mana maah?” tanyaku penasaran

“obat yang selalu kamu bawa sekolah itu obat penunjang hidup kamu sayang, maaf mamah harus membohongimu”
Aku terdiam~ jadi selama ini, obat itu obat Tumor ? kenapa aku begitu tak mengerti? Seharusnya aku tau bahwa darah rendah tak perlu meminum obat setiap saat. Namun kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Kenapa aku begitu bodoh ?ini semakin rumit.

“obat itu hanya bisa digunakan maksimal 6bulan.dan ibu telah menggunakan obatitu selama 6bulan.” Jelas dokter

“jadi, apa yang harus aku lakukan dok? Sembuhkan anak saya dok saya mohon”

“kita berdoa pada yang kuasa aja bu”
Aku menahan semuanya. Tubuhku bergetar hebat. Benih benih air telah menumpuk pada kelopak mataku. Dan sesaat, benih benih air ini pun terjun membasahi pipiku

“waktu saya tinggal berapa hari dok?” ucapku dengan sisa sisa suaraku

“waktu saya tingga berapa hari dok?!!” aku ulang pertanyaanku yang belum mendapat jawaban dari dokter

“kurang lebih 7hari” ucap dokter menundukan kepalanya
Aku teriak. Aku histeris. Aku mengeluarkan semua airmataku. Aku memeluk mamah. Aku terisak dalam dekapan mamah. Aku masih belum bisa menerima ini semua. Bagaimana tidak? Baru 2bulan lalu aku merasa senang karna rafi membalas cintaku . namun kenapa sekarang malah aku divonis tingal 7hari masa hidupku? Hidup begitu tak adil menurutku.
Perlahan, tangisku mulai mereda. Aku mulai tenang.  Aku tahu Allah punya rencana yang baik dibalik ini. Dan inilah takdirku, Takdir tetaplah Takdir. Aku menyuruh mamah berjanji agar tidak memberitahu ini terhadap Diana maupun Rafi. Aku memang bertekad untuk menghadapi ini sendiri. Aku tak ingin membuat mereka khawatir terhadapku. Bukan karna aku jahat aku tak memberitahu perihal ini kepada mereka. Tapi justru karna aku sayang mereka. Aku tak ingin mereka terbebani hanya karna masalah penyakitku. .

 Semenjak pemvonisan itu, aku menjalani hari hari dengan semangat seperti biasa. Aku tak ingin membuat sahabatku Diana dan kekasihku Rafi  curiga tentang apa yang terjadi denganku. Namun, semenjak kejadian pemvonisan itu, aku jauh lebih sering menghabiskan waktuku dirumah. Aku lebih senang menghabiskan sisa hidupku untuk membbantu mamah dan menuliskan coretan-coretan pada diaryku selagi aku tak bisa lagi membuat coretan coretan lagi.

Aku memandangi diri didepan cermin, memandangi beberapa helai rambut yang masih tersisa pada rambutku. Kepalaku telah tak berambut lagi. Hanya tersisa beberapa helai saja. Aku memandangi foto yang tertempel didinding kamarku, foto diriku bersama diana. Dalam foto itu, aku tersenyum ceria diatas sepeda kesayanganku mengenakan baju pink pembelian almarhum ayah, dengan rambut lurus terurai . kulihat pula foto yang sengaja kutaruh pada meja belajarku. Foto dimana Rafi sedang merangkulku penuh cinta. Dan dalam foto itu aku tersenyum , senyuman yang tanpa beban.  airmata ku perlahan jatuh. Aku rindu saat saat seperti itu. Saat dimana aku dapat tersenyum tanpa memikirkan penyakitku , saat dimana aku dapat kembali merawat rambut panjangku,
saat dimana aku bisa bermain dengan Diana tanpa memikirkan penyakitku, juga saat dimana aku bisa menjalankan harihariku dengan penuh keceriaan.

Aku rindu saat saat itu Tuhan, kenapa begitu cepat kebahagiaan itu berakhir? Aku mengusap air mataku. Aku tak boleh terusterusan seperti ini. Aku harus kuat. Dinda wanita Strong! Aku mengambil buku diary, dan kutuliskan beberapa kalimat yang bisa jadi menjadi coretan akhirku.

*****
Hari ini, tepat 7hari setelah vonis itu dijatuhkan. Yang berarti, hari ini pula hari dimana aku terakhir merasakan indahnya hari. Aku ingin menghabiskan waktuku untuk memandangi, menikmati indahnya langit beserta isinya. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersama dengan orang orang tersayangku. Aku inginmereka berada didekatku saat aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan aku ingin membuat mereka tersenyum dihari terakhirku.
Rafi melangkahkan kaki ke arah kelas ku, lalu kemudian menghampiri aku. Rafi menghampiriku dengan maksud untuk berpamitan dan memintaku untuk mendoakannya karna hari ini juga ia akan mengikuti LCC di SMA 99 Bandung. Aku memegang erat tanganya. Aku tak ingin ia pergi. aku ingin dia ada disisiku saat ini.

“jangan pergi”

“aku ngga kemana-mana kok sayang, aku Cuma mau lomba . sepulang sekolah aku langsung kesini kok:)

“aku mohon jangan pergi raf, aku mohon”

“aku harus lomba dinda, aku janji bakal kesini sepulang lomba”

“jangan pergi plis aku mohon, aku ingin kamu tetap disini”

“bagaimana dengan lombaku? Aku begitu menantikan lomba ini din. Kamu jangan egois seperti ini”

“selama ini aku ngga pernah minta apapun dari kamu, sekarang aku Cuma minta kamu jangan pergi raf, aku Cuma minta kamu disini.”

“bagi siswa yang akan mengikuti  LCC, harap segera kumpul di aula sekolah. Terimakasih”  terdengar pengumuman yang memerintahkan para pengikut lomba termasuk Rafi berkumpul. Aku mendengar pengumuman itu, aku juga tau Rafi akan mengikuti lomba, namun aku belum kunjung melepaskan tangan Rafi. Aku tau saat ini memang egois. Tapi aku ingin Rafi ada disini saat ini. Aku ingin dia menemaniku disisa sisa hidupku. Aku hanya ingin itu.
“dinda, kamu nggaboleh gitu. Kamu jangan egois, kasian Rafi.. dia begitu menanti nanti saat saat lomba seperti ini. Biarkan dia pergi din..” ucap Diana yang akhirnya ikut membuka suaranya
“engga! Aku nggamau kamu pergi, aku mohon tetap disini raf. Aku mohonn” ucapku dengan mata berkacakaca

“DINDA! Kamu ini apa-apaan sih? Hari ini aku harus lomba. Bukankah kemarin kemarin kamu begitu mendudukungku mengikuti LCC ini? Tapi kenapa sekarang kau malah melarangku pergi?”

Aku menangis. Baru pertama kali Rafi membentakku. “Memang, saat itu aku begitu mendukungmu mengikuti lomba ini. Tapi kenapa pelaksaan lombanya harus sekarang?disisa waktuku? Taukah kamu, ini adalah hari terakhirku. dan aku Cuma ingin mengahabiskan umurku dengan kalian. Bagaimana jika saat kau pulang nanti aku sudah tak lagi bernafas? Aku Cuma ingin kamu menemani sisa sisa hidupku . aku hanya ingin itu” . aku hanya dapat mengatakan itu dalam hati.

“aku takut aku tak bisa melihatmu lagi” ucapku dengan terisak. Rafi merasa bersalah. Ia memegang erat bahuku. Menatap mataku lekat-lekat

“tenanglah sayang, aku janji aku akan baik baik aja. Aku janji selesai lomba nanti aku segera kesini membawa medali untukmu. Aku janji dinda.. sekarang, izinkan aku pergi yaJ
Mau tak mau, aku pun melepas genggaman tanganku dari tangan Rafi. Begitu berat aku melepaskannya. Aku sangat takut jika aku tak bisa melihatnya terakhir kali. Setelah kepergian Rafi, aku masih menangis. Diana sahabatku lah yang setia menemaniku, memelukku dengan penuh sayang. 

Namun sesaat , kepalaku pusing. Dan perlahan semua hitam dan.. aku terjatuh dalam pelukan diana.
Diana panik, ia memerintah anak-anak yang lain memopongku ke rumah sakit. Aku memasuki UGD. Tubuhku dihubungkan oleh selang-selang dokter. Aku terdiam kaku. Sementara sang dokter sedang berusaha menyelamatkanku. Diluar ruang UGD, ada Diana juga mamah yang telah diberitahu oleh diana sebelumnya. Mereka menangisiku. Berdoa kepada sang kuasa demi keselamatanku.
Aku sedang bergelut dengan penyakitku. Aku tak tahu apakah aku masih akan diberi kesempatan untuk hidup atau memang Tuhan ingin menemuiku. Monitor medis yang terhubung dengan tubuhku telah membentuk sebuah garis lurus. Dokter panik, mereka segera mengambil alat pemancing detak jantung untuk memancing detak jantungku agar kembali berdetak. Sudah 5kali dokter berusaha. 

Namun naas. Aku masih tetap diam.  Tak bergeming sedikitpun. Dokter pun mulai menyerah dan artinya.. Tuhan memang benar benar ingin bertemu denganku.
Dokter keluar Ruangan dan segera memberitahu apa yang terjadi terhadapku. Dokter memberitahu ini dengan wajah menunduk. Ia merasa bersalah karena tak dapat menyelamatkanku. Namun sekali lagi, takdir tetaplah takdir. Orang-orang terdekatku menangis histeris mendengar apa yang dikatakan dokter. Terlebih lagi dengan mamah . mamah langsung down begitu mendengar bahwa aku –anak semata wayangnya– telah tiada. Ingin sekali aku bangun dan mengusap air mata mereka. Namun apa daya, alam kita telah berbeda.

Ditempat lain, Rafi melangkahkan kakinya kearah sekolah menenteng medali yang ia kalungkan pada leher.  Disepanjang koridor, ia merasakan nuansa duka pada orang2. Namun, ia tak memikirkannya. Yang ia fikirkan saat ini hanya satu. “DINDA” . ia mempercepat langkahnya memasuki kelasku –dinda–. Sesampai dikelas , rafi tak mendapatiku. Yang ia dapati hanya orang orang sedang terisak. Ia pun penasaran, ia menanyakan dimana dinda. Namun sayang~ tak ada jawaban apapun dari mereka. Sesaat, ponsel rafi berdering. 1massage dari Diana “Cepet ke Rumah Sakit Harapan skrg jg Raf! Gausah tanya dulu.nanti aku jelasin” seperti itu isi dari pesan yang dikirimkan diana. Tanpa babibu , ia segera mengambil motornya dan segera menuju keRumah Sakit.
Sesampainya dirumah sakit Ia melihat sosok Diana beserta guru2 di UGD. Rafi melihat mereka sedang terisak. Rafi mendekati Diana  dan mencoba menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Diana tak menjawab, ia justru malah mengajak rafi memasuki ruang UGD.
Disana, Rafi melihat aku. Melihatku dengan keadaan yang telah dingin kaku.Melihatku dengan keadaan tak memiliki sehelai rambutpun. Melihatku dengan keadaan yang telah tak bernyawa. Tubuh rafi bergetar hebat, dan perlahan Air bening menetes dari kelopak matanya. Rafi menangis, ia tak menyangka bahwa tubuh kaku yang sekarang berada dihadapannya itu tubuhku.

“Dindaa...inikah kamu? Bangun din! Nggausah bercanda ah. Nggalucu. Liat nih aku bawa medali, aku menang lomba din..”

“dindaa.. bangunnn!!”

“dinda udah pergi Raf” ucap sahabatku diana

“pergi?HAHA kenapa kamu pergi? kenapa secepat ini? lihat din, lihat! Aku bawa medali buat kamu! Aku menang din.. aku menang. Ini yang kamu kasih ?ini hadiah kamu?yang aku ingin itu ucapan selamat dari kamu din, bukan tubuh kaku kamu kayak gini! Aku nggabutuh! Bangun dindaa bangunnnL

“Raf, tenang raf, tenang .. ikhlasin dinda raf, biarkan dinda tenang” ucap Diana sahabatku

“apa yang terjadi dengan Dinda na? Perasaan waktu aku mau lomba dia baik-baik saja, tapi kenapa sekarang?aaaah!!”

“ada sesuatu yang dinda sembunyiin dari kita semua. Kamu baca aja ini . aku nemuin itu di tas dinda” Diana menyerahkan sesuatu pada Rafi yang tak lain adlah buku Diaryku. Rafi coba membuka pada bagian paling akhr. Dimana coretan itu aku tulis tadi pagi saat akan berangkat sekolah.

“Dear diary,
 7hari yang lalu, aku divonis dokter menderita Tumor Otak ganas. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menderita penykit mematikan seperti ini. Seiring berjalannya waktu, rambutku sedikit demi sedikit rontok . Dan akhirnya.. seperti ini. Seperti yang terjadi saat ini. Aku telah tak memiliki rambut sehelaipun. Namun tak apa, beruntung aku mengenakan jilbab kesekolah~ dengan begitu, aku bisa menyembunyikan ini dengan tenang. Menyembunyikan dari semua orang termasuk Diana dan Rafi. Maaf na, Raf, aku terpaksa menyembunyikan ini dari kalian. Aku melakukan ini bukan karna aku jaht. Namun karna aku tak mau kalian menjadi terbebani dengan penyakitku ini. Aku tak ingin kamu juga merasakan apa yang aku rasa. Biar aku sendiri saja yang menghadapi ini. Karna inilah takdirku.
Telah 7hari sudah aku divonis untuk hidup. Dan artinya, hari ini hari dimana aku untuk terakhir kalinya menikmati udara . Diana sahabatku, Rafi kekasihku dan Mamah malaikatku. Aku tak ingin meninggalkan kalian secepat ini. Aku ingin terlebih dahulu membuat kalian bahagia.. aku ingin hari ini, hari terakhirku aku dapat  menghabiskan waktuku dengan kalian. Orang-orang tercintaku. Aku ingin mereka berada didekatku saat aku menghembuskan nafasku untuk yang terakhir kalinya.
Tuhan, aku mohon dihari terakhirku ini aku bisa membuat orang-orang tercintaku bahagia
Tuhan, aku mohon jangan kau beri penyakit sepertiku pada orang-orang tersayangku
Tuhan, aku mohon jagalah orang-orang tersayangku dari segala malabahaya
Tuhan, tolong sampaikan pada mereka bahwa aku selalu menyayanginya.
Diana, Rafi.. mungkin setelah ini aku tak bisa lagi menemani hariharimu, tak bisa bersenda gurau dengamu, tak bisa lagi menghapus air matamu, namun percayalah.. aku akan selalu menyayangimu dimanapun aku berada. Terimakasih telah mau mengenalku J
Salam sayang.Dinda Anatasya”

Rafi menangis, kali ini lebih terisak dari sebelumnya. Aku melihat mereka. Aku melihat diana Rafi menangis. Aku melihat mereka, namun mereka tak melihatku. rasanya ingin sekali aku menghapus airmatanya . namun apa daya, itu tak mampu kulalukan. Alam kita telah berbeda.

Hari ini juga prosesi pemakamanku dilaksanakan. Setelah dimandikan,   Tubuhku dibungkus oleh selembar kain putih.  Yang kemudian disholati.
Setelah disholati, aku segera dibawa dengan menggunakan keranda kearah Rumah Abadiku –Tempat Pemakaman Umum– Tubuhku dimasukan secara perlahan kearah lubang yang telah disiapkan.  Kemudian ditutup lagi oleh gundukan tanah. Tak sedikit orang menangis saat tubuhku mulai ditutup oleh gundukan tanah. Aku pun tak menyangka, bahwa ternyata orang yang menyayangiku begitu banyak.

Aku melihat mamah menangis dengan sisi kanan Rafi, dan sisi kirinya Diana. Mereka menangisiku. Menangisi kepergianku.
Setelah sang ustad membacakan doa terakhir untukku, bergantian orang meninggalkanku. Tinggal tersisa Diana dan Rafi. Mereka masih berada digundukan tanahku. Mereka menangis. Mereka masih ingin berada disini. Ditempat ini, tempat keabadianku~

Aku melihat mereka, melihat bahwa mereka menangisiku. Ingin sekali aku menghampiri dan menghapus air mata mereka. Namun aku tak bisa~
“jangan menangis sayang, saat ini kalian memang tak lagi bisa bersamaku. Tak bisa menikmati hari bersama. Tak bisa bersendera gurau bersama. Tak bisa lagi menikmati hujan bersama. Tapi percayalah, aku selalu ada disini. Di relung hati terdalam:)

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar