Don't Be Let Go !
Part 2 LastPart.
Sesampainya dirumah, aku langsung menuju kamarku. Aku
memandangi diri sejenak didepan cermin. Lalu kemudian aku tersenyum.
Aku
senang~ hari yang menyenangkan menurutku. Dimana seorang Rafi mengantarkanku
pulang. Ah. .aku harus menuangkan ini dalam coretan diary’ku. Aku membuka tas
ku berniat mengambil diary tersayangku yang rasanya tadi pagi aku bawa
kesekolah. Namun..Tidak ada! Aku mencari lagi pada meja belajar, kolong tempat
tidur, bahkan dalam lemari pun aku cari. Namun nihil. Diary ku tak kunjung
ketemu.
Aku segera mengambil ponselku. Mencari sebuah nama dalam
daftarkontakku. Lalu mengetikan beberapa kalimat lalu segera ku tekan tombol send. Tak lama, ada 1pesan masuk di
ponselku. Balasan Dari seseorang yang aku sms tadi yang tak lain diana. Aku
menanyakan perihal Diary ku . namun sama hal nya. Diana tak melihat Diary ku
dimana.
Aku semakin tak tenang. Fikiranku kemana-mana. Bagaimana
jika Diaryku berada ditangan orang yang jail lalu menyebarkannya kesemua
orang?bagaimana jika diaryku sekarang berada ditangan orang yang tak suka
denganku? Bagaimana jika nanti saat disekolah mading penuh dengan kertas kertas
dari diaryku? Dan bagaimana pula jika Rafi mengetahui hal ini? Mau ditaruh
dimana mukaku? Ah.aku benar benar tak tenang. Namun, aku bertekad mencari
diaryku ini sepulang sekolah besok. Terlalu lelah memikirkan ini, akupun
perlahan tertidur.
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku meminta di temani
diana buat nyari Diary ku. Aku berharap jika Diaryku tertinggal dikellas dan
tak ada seorangpun yang melihatnya. Aku terlalu takut jika ternyata ada
seseorang yang membaca diaryku. Bahkan terlebih jika yang menemukan Diaryku
orang yang selalu aku tulis dalam diary yang tak lain Rafi. Aku takut itu
terjadi.
Aku dan Diana berpencar mencari Diaryku diruang kelas. Diana
mencari pada deretan kanan, sedang aku mencari pada deretan kiri.
“gimana na?” tanyaku
“nggada din, kamu yakin kemarin kamu bawa kesekolah? Kamu lupa
naruh mungkin din..”
“engga na, aku yakin banget aku bawa diary itu kemarin. AaaaL”
“kalian kok belum pulang?” tanya seseorang
Aku segera melirik sumber suara. Berdiri seseorang yang
masih terjaga ke’Cool-anya. Orang itulah – Rafi–
“oh ini, dinda lagi nyari..” ucap Diana yang segera kupotong
“Diana!!!!! “ segera kupotong omongan Diana sebelum ia
keceplosan mengatakan yang sebenarnya.
“oh ini raf, aku Cuma lagi nyari buku yang kemarin
ketinggalan” dustaku
“kamu nyari ini?” Aku kaget!Rafi? dia datang tiba tiba dan dia membawa..buku
diaryku! Aku shock! Bagaimana mungkin diaryku berada ditangan dia?bagaimana
mungkin ?aku hanya berharap Rafi belum bahkan tidak membacanya . karna kalau ia
membacanya?ia mengetahuinya?matilah sudah kau dindaaaaaa !!
“lho.. kok bisa dikamu Raf?” tanya diana penasaran
“iya, kemarin pas kamu nyuruh aku buat ngambilin tas Dinda,
aku ngga sengaja nemu ini dilaci meja kalian, aku bawa aja deh”
“belum kamu baca kan?” tanyaku . Rafi diam untuk beberapa
saat. Aku berharap, ia mengatakan belum. Iya aku harap ia mengatakan apa yang
aku inginkan.
“belum kok”
“huh, syukurlah~” Aku
lega mendengar ucapan rafi .
“belum 2kali maksdnya:D” sambung Rafi kembali
“HAHH?!!!” aku shock!
Aku kaget!aku malu! Mau ditaruh dimana mukaku ini? Aku hanya bisa melongo.
Membuka mulutku lebarlebar. Aku tak menyangka apa yang aku takutkan semalam
ternyata terjadi. Aku sungguh tak menyangka. Bagaimana aku tidak shock? Dalam diary
itu, banyak sekali coretan coretanku tentang Dirinya , banyak pula puisi yang
sengaja ia buat hanya untuknya, juga fotofoto colongannya yang aku simpan dalam
tiap lembar diary. Dirinya yang tak lain –Rafi–
namun orang yang aku tuliskan dalam diary membacanya
Rafi menyodorkan tangannya dengan maksud untuk mengembalikan
bukuku ini. Namun aku? Aku belum bisa
bergeming sedikitpun dari posisiku sekarang. Masih dalam mata melebar dan mulut
yang agak menganga.
“tak usah seperti itu, aku udah tau semuanya” ucap Rafi membangunkanku dari ketidaksadaran
itu. Aku diam, aku masih diam .
“kenapa kau tak pernah bilang padaku?kenapa kau memilih
memendam semua?dalam diary itu, tertulis bahwa kamu menyimpan rasa padaku saat
pertama kali bertemu, yang tak lain saat kau membuat aku tak lagi benci akan
hujan 3tahun yng lalu. Bagaimana mungkin aku mengetahui bahwa kamu menyimpan
rasa padaku saat itu jika saat ‘kejadian’ itupun kamu begitu cuek, begitu tak
banyak bicara? Tenyata memang benar. Wanita memang begitu ahli dalam masalah
menyembunyikan perasaanya.. seperti kamu sekarang ini, dindaa”
Aku masih terdiam, mendengarkan, mencerna semua kata demi
kata yang keluar dari mulut Rafi. Ingin rasanya aku mengatakan “aku yang pandai menyembunyikan perasaan
atau memang kamu yang tak pernah peduli? Aku takut jika aku mengatakan ini
semua, kamu akan pergi meninggalkanku. Aku takut itu terjadi rafi..!” namun apa daya, mulutku sampai sekarang terasa
sangat kaku untuk digerakkan. Akupun lebih memilih untuk diam dan mendengarkan
semua apa yang dikatakan Rafi.
“kau tahu dinda..”
“aku juga menyimpan rasa padamu semenjak kejadian beberapa
tahun silam” ucap Rafi meneruskan omongannya yang sempat menggantung tadi.
“hanya kamu yang berhasil membuat aku tak lagi benci air
hujan dinda, hanya kamu yang bisa menyadarkanku betapa Indahnya Hujan, hanya
kamu yang berhasil menyadarkanku betapa
nyamannya Hujan . hanya kamu dinda..itu yang membuatku jatuh cinta padamu”
“Tapi saat itu kau begitu pandai menyembunyikan semua
perasaanmu. Aku tahu aku pengecut din, aku takut jika aku mengatakan perasaanku
padamu, kau akan pergi jauh meninggalkanku. Aku takut itu terjadi dinda..”
Oh Tuhan! Bagaimana mungkin?itulah kalimat yang ingin aku
katakan paadanya saat ini. Namun kenapa malah dia juga mengatakanya? Apa yang
terjadi Tuhan? Mimpikah ini? Tuhan! jangan Bangunkan aku sekarang jika memang
ini semua mimpi. Aku tak ingin jika aku bangun harus menerima suatu kenyataan
yang berbanding terbalik dengan ini semua.
“saat kamu menelfonku malam-malam.. aku tahu bahwa saat itu
yang menelfonku kamu dinda. Aku telah
lama menyimpan nomormu sebelum kamu mengetahui nomorku. Namun aku
berusaha berpurapura seperti ibarat aku benarbenar tak mengetahui nomormu”
“Tahukah kamu dinda, bukan hanya kamu yang selama ini
mencintai dalam diam. Aku pun! Bukan
hanya kamu yang selalu memerhatikan tapi tak diabaikan. Aku juga!setiap hari
sedang hujan, aku tahu kamu selalu berada dibalik jendela kamarmu , menikmati
indahnya hujan. maka dari itu,setiaphujanlah aku selalu kerumah kaamu, berdiam
dibalik pohon mangga depan rumahmu . Aku memandangi raut wajah kamu saat kamu
sedang menikmati betapa indahnya hujan. aku memerhatikanmu dan kamu tak pernah
tau itu!”
Sekujur tubuhku bergetar hebat mendengar pengakuan Rafi ini.
Bagaimana bisa?dia juga merasakan apa yang aku rasa? Perlahan, benih air
menetes dari kelopak mataku. Aku menangis.
“Dinda.. will you be mine?”
Aku shock. Aku kaget. Mataku
melebar kembali. Lebih lebar dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Seorang rafi ,
orang yang aku sayang 3tahun ini sekarang sedang bertekuk lututdidepanku
menggengggam tanganku dan mengatakan kata itu. Perlahan, aku anggukan kepalaku
. ia memeluku. Aku terisak dalam dada bidangnya~
Tak terasa, 2 bulan sudah hubunganku dengan Rafi terjalin. Aku senang~ tak lupa bersyukur
paada Tuhan Yang maha Esa. Namun, semakin kesini aku 3x lebih sering pinsan
dari sebelumnya. Dan perlahan, aku rasakan rambutku merontok sedikit demi
sedikit. Aku teriak. Aku histeris. Mamah langsung membawaku ke rumah sakit.
Aku menangis. Menangis mendengar apa yang dokter katakan
padaku tentang penyakitku. Aku shock mendengar ucapan dokter yang mengatakan
bahwa aku menderita Tumor Otak stadium akhir. Terlebih saat dokter mengatakan
bahwa aku telah divonis menderita penyakit ini 6bulan lalu. Aku kaget, enam
bulan yg lalu? Bukankah itu telah lama? Namun kenapa aku justru malah tak
pernah mengetahuinya? Aku teriak memanggil mamahku. Menanyakan apa yang terjadi
sebenarnya, menyanyakan apa yang selama ini mamah sembunyikan dariku. Mamah
menangis.
“maafin mamah sayang, mamah salah, mamah sengaja
menyembunyikan ini semua. Mamah ngelakuin ini semua demi kamu , mamah tak mau
jika kamu harus memikirkan penyakitmu” mamah memelukku. Mamah tak salah, ia
berniat baik melakukan ini semua dan aku tak berhak marah pada mamah. Inilah
takdirku.
Tak lama, seorang dokter memasuki ruangan ku. Mamah
menanyakan perihal penyakitku, namun sang dokter hanya menggeleng dan menjawab
“maafkan saya bu, saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tumor pada diri
anak ibu telah ganas. Jika kita mengangkat tumor itu, itu sangat membahayakan putri
ibu”
“lalu bagaimana dengan hidup putri saya dok? Masih bisa
dibantu dengan obat yang kemarin kan?”
“obat yang mana maah?” tanyaku penasaran
“obat yang selalu kamu bawa sekolah itu obat penunjang hidup
kamu sayang, maaf mamah harus membohongimu”
Aku terdiam~ jadi selama ini, obat itu obat Tumor ? kenapa
aku begitu tak mengerti? Seharusnya aku tau bahwa darah rendah tak perlu
meminum obat setiap saat. Namun kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Kenapa
aku begitu bodoh ?ini semakin rumit.
“obat itu hanya bisa digunakan maksimal 6bulan.dan ibu telah
menggunakan obatitu selama 6bulan.” Jelas dokter
“jadi, apa yang harus aku lakukan dok? Sembuhkan anak saya
dok saya mohon”
“kita berdoa pada yang kuasa aja bu”
Aku menahan semuanya. Tubuhku bergetar hebat. Benih benih
air telah menumpuk pada kelopak mataku. Dan sesaat, benih benih air ini pun
terjun membasahi pipiku
“waktu saya tinggal berapa hari dok?” ucapku dengan sisa
sisa suaraku
“waktu saya tingga berapa hari dok?!!” aku ulang
pertanyaanku yang belum mendapat jawaban dari dokter
“kurang lebih 7hari” ucap dokter menundukan kepalanya
Aku teriak. Aku histeris. Aku mengeluarkan semua airmataku.
Aku memeluk mamah. Aku terisak dalam dekapan mamah. Aku masih belum bisa
menerima ini semua. Bagaimana tidak? Baru 2bulan lalu aku merasa senang karna
rafi membalas cintaku . namun kenapa sekarang malah aku divonis tingal 7hari
masa hidupku? Hidup begitu tak adil menurutku.
Perlahan, tangisku mulai mereda. Aku mulai tenang. Aku tahu Allah punya rencana yang baik dibalik
ini. Dan inilah takdirku, Takdir tetaplah Takdir. Aku menyuruh mamah berjanji
agar tidak memberitahu ini terhadap Diana maupun Rafi. Aku memang bertekad
untuk menghadapi ini sendiri. Aku tak ingin membuat mereka khawatir terhadapku.
Bukan karna aku jahat aku tak memberitahu perihal ini kepada mereka. Tapi
justru karna aku sayang mereka. Aku tak ingin mereka terbebani hanya karna
masalah penyakitku. .
Semenjak pemvonisan
itu, aku menjalani hari hari dengan semangat seperti biasa. Aku tak ingin
membuat sahabatku Diana dan kekasihku Rafi
curiga tentang apa yang terjadi denganku. Namun, semenjak kejadian
pemvonisan itu, aku jauh lebih sering menghabiskan waktuku dirumah. Aku lebih
senang menghabiskan sisa hidupku untuk membbantu mamah dan menuliskan coretan-coretan
pada diaryku selagi aku tak bisa lagi membuat coretan coretan lagi.
Aku memandangi diri didepan cermin, memandangi beberapa
helai rambut yang masih tersisa pada rambutku. Kepalaku telah tak berambut
lagi. Hanya tersisa beberapa helai saja. Aku memandangi foto yang tertempel
didinding kamarku, foto diriku bersama diana. Dalam foto itu, aku tersenyum
ceria diatas sepeda kesayanganku mengenakan baju pink pembelian almarhum ayah,
dengan rambut lurus terurai . kulihat pula foto yang sengaja kutaruh pada meja
belajarku. Foto dimana Rafi sedang merangkulku penuh cinta. Dan dalam foto itu
aku tersenyum , senyuman yang tanpa beban. airmata ku perlahan jatuh. Aku rindu saat saat
seperti itu. Saat dimana aku dapat tersenyum tanpa memikirkan penyakitku , saat
dimana aku dapat kembali merawat rambut panjangku,
saat dimana aku bisa bermain dengan Diana tanpa memikirkan
penyakitku, juga saat dimana aku bisa menjalankan harihariku dengan penuh
keceriaan.
Aku rindu saat saat itu Tuhan, kenapa begitu cepat kebahagiaan
itu berakhir? Aku mengusap air mataku. Aku tak boleh terusterusan seperti ini.
Aku harus kuat. Dinda wanita Strong! Aku mengambil buku diary, dan kutuliskan
beberapa kalimat yang bisa jadi menjadi coretan akhirku.
*****
Hari ini, tepat 7hari setelah vonis itu dijatuhkan. Yang
berarti, hari ini pula hari dimana aku terakhir merasakan indahnya hari. Aku
ingin menghabiskan waktuku untuk memandangi, menikmati indahnya langit beserta
isinya. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersama dengan orang orang
tersayangku. Aku inginmereka berada didekatku saat aku menghembuskan nafas
terakhirku. Dan aku ingin membuat mereka tersenyum dihari terakhirku.
Rafi melangkahkan kaki ke arah kelas ku, lalu kemudian
menghampiri aku. Rafi menghampiriku dengan maksud untuk berpamitan dan
memintaku untuk mendoakannya karna hari ini juga ia akan mengikuti LCC di SMA
99 Bandung. Aku memegang erat tanganya. Aku tak ingin ia pergi. aku ingin dia
ada disisiku saat ini.
“jangan pergi”
“aku ngga kemana-mana kok sayang, aku Cuma mau lomba .
sepulang sekolah aku langsung kesini kok:)”
“aku mohon jangan pergi raf, aku mohon”
“aku harus lomba dinda, aku janji bakal kesini sepulang
lomba”
“jangan pergi plis aku mohon, aku ingin kamu tetap disini”
“bagaimana dengan lombaku? Aku begitu menantikan lomba ini
din. Kamu jangan egois seperti ini”
“selama ini aku ngga pernah minta apapun dari kamu, sekarang
aku Cuma minta kamu jangan pergi raf, aku Cuma minta kamu disini.”
“bagi siswa yang akan mengikuti LCC, harap segera kumpul di aula sekolah.
Terimakasih” terdengar pengumuman yang
memerintahkan para pengikut lomba termasuk Rafi berkumpul. Aku mendengar
pengumuman itu, aku juga tau Rafi akan mengikuti lomba, namun aku belum kunjung
melepaskan tangan Rafi. Aku tau saat ini memang egois. Tapi aku ingin Rafi ada
disini saat ini. Aku ingin dia menemaniku disisa sisa hidupku. Aku hanya ingin
itu.
“dinda, kamu nggaboleh gitu. Kamu jangan egois, kasian
Rafi.. dia begitu menanti nanti saat saat lomba seperti ini. Biarkan dia pergi
din..” ucap Diana yang akhirnya ikut membuka suaranya
“engga! Aku nggamau kamu pergi, aku mohon tetap disini raf.
Aku mohonn” ucapku dengan mata berkacakaca
“DINDA! Kamu ini apa-apaan sih? Hari ini aku harus lomba.
Bukankah kemarin kemarin kamu begitu mendudukungku mengikuti LCC ini? Tapi
kenapa sekarang kau malah melarangku pergi?”
Aku menangis. Baru pertama kali Rafi membentakku. “Memang, saat itu aku begitu mendukungmu
mengikuti lomba ini. Tapi kenapa pelaksaan lombanya harus sekarang?disisa
waktuku? Taukah kamu, ini adalah hari terakhirku. dan aku Cuma ingin
mengahabiskan umurku dengan kalian. Bagaimana jika saat kau pulang nanti aku
sudah tak lagi bernafas? Aku Cuma ingin kamu menemani sisa sisa hidupku . aku
hanya ingin itu” . aku hanya dapat mengatakan itu dalam hati.
“aku takut aku tak bisa melihatmu lagi” ucapku dengan
terisak. Rafi merasa bersalah. Ia memegang erat bahuku. Menatap mataku
lekat-lekat
“tenanglah sayang, aku janji aku akan baik baik aja. Aku
janji selesai lomba nanti aku segera kesini membawa medali untukmu. Aku janji
dinda.. sekarang, izinkan aku pergi yaJ”
Mau tak mau, aku pun melepas genggaman tanganku dari tangan
Rafi. Begitu berat aku melepaskannya. Aku sangat takut jika aku tak bisa
melihatnya terakhir kali. Setelah kepergian Rafi, aku masih menangis. Diana
sahabatku lah yang setia menemaniku, memelukku dengan penuh sayang.
Namun
sesaat , kepalaku pusing. Dan perlahan semua hitam dan.. aku terjatuh dalam
pelukan diana.
Diana panik, ia memerintah anak-anak yang lain memopongku ke
rumah sakit. Aku memasuki UGD. Tubuhku dihubungkan oleh selang-selang dokter.
Aku terdiam kaku. Sementara sang dokter sedang berusaha menyelamatkanku. Diluar
ruang UGD, ada Diana juga mamah yang telah diberitahu oleh diana sebelumnya.
Mereka menangisiku. Berdoa kepada sang kuasa demi keselamatanku.
Aku sedang bergelut dengan penyakitku. Aku tak tahu apakah
aku masih akan diberi kesempatan untuk hidup atau memang Tuhan ingin menemuiku.
Monitor medis yang terhubung dengan tubuhku telah membentuk sebuah garis lurus.
Dokter panik, mereka segera mengambil alat pemancing detak jantung untuk
memancing detak jantungku agar kembali berdetak. Sudah 5kali dokter berusaha.
Namun naas. Aku masih tetap diam. Tak
bergeming sedikitpun. Dokter pun mulai menyerah dan artinya.. Tuhan memang benar
benar ingin bertemu denganku.
Dokter keluar Ruangan dan segera memberitahu apa yang
terjadi terhadapku. Dokter memberitahu ini dengan wajah menunduk. Ia merasa
bersalah karena tak dapat menyelamatkanku. Namun sekali lagi, takdir tetaplah
takdir. Orang-orang terdekatku menangis histeris mendengar apa yang dikatakan
dokter. Terlebih lagi dengan mamah . mamah langsung down begitu mendengar bahwa
aku –anak semata wayangnya– telah tiada. Ingin sekali aku bangun dan mengusap
air mata mereka. Namun apa daya, alam kita telah berbeda.
Ditempat lain, Rafi melangkahkan kakinya kearah sekolah
menenteng medali yang ia kalungkan pada leher. Disepanjang koridor, ia merasakan nuansa duka
pada orang2. Namun, ia tak memikirkannya. Yang ia fikirkan saat ini hanya satu.
“DINDA” . ia mempercepat langkahnya memasuki kelasku –dinda–. Sesampai dikelas
, rafi tak mendapatiku. Yang ia dapati hanya orang orang sedang terisak. Ia pun
penasaran, ia menanyakan dimana dinda. Namun sayang~ tak ada jawaban apapun
dari mereka. Sesaat, ponsel rafi berdering. 1massage dari Diana “Cepet ke Rumah Sakit Harapan skrg jg Raf!
Gausah tanya dulu.nanti aku jelasin” seperti itu isi dari pesan yang
dikirimkan diana. Tanpa babibu , ia segera mengambil motornya dan segera menuju
keRumah Sakit.
Sesampainya dirumah sakit Ia melihat sosok Diana beserta
guru2 di UGD. Rafi melihat mereka sedang terisak. Rafi mendekati Diana dan mencoba menanyakan apa yang terjadi
sebenarnya. Diana tak menjawab, ia justru malah mengajak rafi memasuki ruang
UGD.
Disana, Rafi melihat aku. Melihatku dengan keadaan yang
telah dingin kaku.Melihatku dengan keadaan tak memiliki sehelai rambutpun.
Melihatku dengan keadaan yang telah tak bernyawa. Tubuh rafi bergetar hebat,
dan perlahan Air bening menetes dari kelopak matanya. Rafi menangis, ia tak
menyangka bahwa tubuh kaku yang sekarang berada dihadapannya itu tubuhku.
“Dindaa...inikah kamu? Bangun din! Nggausah bercanda ah.
Nggalucu. Liat nih aku bawa medali, aku menang lomba din..”
“dindaa.. bangunnn!!”
“dinda udah pergi Raf” ucap sahabatku diana
“pergi?HAHA kenapa kamu pergi? kenapa secepat ini? lihat
din, lihat! Aku bawa medali buat kamu! Aku menang din.. aku menang. Ini yang
kamu kasih ?ini hadiah kamu?yang aku ingin itu ucapan selamat dari kamu din,
bukan tubuh kaku kamu kayak gini! Aku nggabutuh! Bangun dindaa bangunnnL”
“Raf, tenang raf, tenang .. ikhlasin dinda raf, biarkan
dinda tenang” ucap Diana sahabatku
“apa yang terjadi dengan Dinda na? Perasaan waktu aku mau
lomba dia baik-baik saja, tapi kenapa sekarang?aaaah!!”
“ada sesuatu yang dinda sembunyiin dari kita semua. Kamu
baca aja ini . aku nemuin itu di tas dinda” Diana menyerahkan sesuatu pada Rafi
yang tak lain adlah buku Diaryku. Rafi coba membuka pada bagian paling akhr.
Dimana coretan itu aku tulis tadi pagi saat akan berangkat sekolah.
“Dear diary,
7hari yang lalu, aku
divonis dokter menderita Tumor Otak ganas. Aku tak pernah menyangka bahwa aku
akan menderita penykit mematikan seperti ini. Seiring berjalannya waktu,
rambutku sedikit demi sedikit rontok . Dan akhirnya.. seperti ini. Seperti yang
terjadi saat ini. Aku telah tak memiliki rambut sehelaipun. Namun tak apa,
beruntung aku mengenakan jilbab kesekolah~ dengan begitu, aku bisa
menyembunyikan ini dengan tenang. Menyembunyikan dari semua orang termasuk
Diana dan Rafi. Maaf na, Raf, aku terpaksa menyembunyikan ini dari kalian. Aku
melakukan ini bukan karna aku jaht. Namun karna aku tak mau kalian menjadi
terbebani dengan penyakitku ini. Aku tak ingin kamu juga merasakan apa yang aku
rasa. Biar aku sendiri saja yang menghadapi ini. Karna inilah takdirku.
Telah 7hari sudah aku divonis untuk hidup. Dan artinya, hari
ini hari dimana aku untuk terakhir kalinya menikmati udara . Diana sahabatku,
Rafi kekasihku dan Mamah malaikatku. Aku tak ingin meninggalkan kalian secepat
ini. Aku ingin terlebih dahulu membuat kalian bahagia.. aku ingin hari ini,
hari terakhirku aku dapat menghabiskan
waktuku dengan kalian. Orang-orang tercintaku. Aku ingin mereka berada
didekatku saat aku menghembuskan nafasku untuk yang terakhir kalinya.
Tuhan, aku mohon dihari terakhirku ini aku bisa membuat
orang-orang tercintaku bahagia
Tuhan, aku mohon jangan kau beri penyakit sepertiku pada
orang-orang tersayangku
Tuhan, aku mohon jagalah orang-orang tersayangku dari segala
malabahaya
Tuhan, tolong sampaikan pada mereka bahwa aku selalu
menyayanginya.
Diana, Rafi.. mungkin setelah ini aku tak bisa lagi menemani
hariharimu, tak bisa bersenda gurau dengamu, tak bisa lagi menghapus air
matamu, namun percayalah.. aku akan selalu menyayangimu dimanapun aku berada.
Terimakasih telah mau mengenalku J
Salam sayang.Dinda Anatasya”
Rafi menangis, kali ini lebih terisak dari sebelumnya. Aku
melihat mereka. Aku melihat diana Rafi menangis. Aku melihat mereka, namun
mereka tak melihatku. rasanya ingin sekali aku menghapus airmatanya . namun apa
daya, itu tak mampu kulalukan. Alam kita telah berbeda.
Hari ini juga prosesi pemakamanku dilaksanakan. Setelah
dimandikan, Tubuhku dibungkus oleh
selembar kain putih. Yang kemudian
disholati.
Setelah disholati, aku segera dibawa dengan menggunakan
keranda kearah Rumah Abadiku –Tempat Pemakaman Umum– Tubuhku dimasukan secara
perlahan kearah lubang yang telah disiapkan.
Kemudian ditutup lagi oleh gundukan tanah. Tak sedikit orang menangis
saat tubuhku mulai ditutup oleh gundukan tanah. Aku pun tak menyangka, bahwa
ternyata orang yang menyayangiku begitu banyak.
Aku melihat mamah menangis dengan sisi kanan Rafi, dan sisi
kirinya Diana. Mereka menangisiku. Menangisi kepergianku.
Setelah sang ustad membacakan doa terakhir untukku,
bergantian orang meninggalkanku. Tinggal tersisa Diana dan Rafi. Mereka masih
berada digundukan tanahku. Mereka menangis. Mereka masih ingin berada disini.
Ditempat ini, tempat keabadianku~
Aku melihat mereka, melihat bahwa mereka menangisiku. Ingin
sekali aku menghampiri dan menghapus air mata mereka. Namun aku tak bisa~
“jangan menangis sayang, saat ini kalian memang tak lagi bisa
bersamaku. Tak bisa menikmati hari bersama. Tak bisa bersendera gurau bersama.
Tak bisa lagi menikmati hujan bersama. Tapi percayalah, aku selalu ada disini.
Di relung hati terdalam:)”
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar